Langkah-langkah Pangeran Karna terhenti di pintu gerbang arena pertandingan. Pandangannya tertuju pada pedang di tangannya. Pedang itu, yang seharusnya memancarkan aura panas seperti bara api, kini terasa dingin, seolah kehilangan nyawanya.Ia mengernyitkan dahi, matanya tajam memeriksa ukiran pada gagang pedang tersebut. Ukiran itu mirip, tetapi tidak sama. Goresannya tidak sekokoh dan serapi yang ia kenali sejak lama. Tubuhnya mulai menegang. "Ini bukan Agni Narakaska," pikirnya, hati-hati agar tak menarik perhatian siapa pun di sekitarnya.Karna mencoba mengayunkan pedang itu pelan. Tidak ada semburan api atau kilatan merah menyala yang biasa terjadi. Aura panas yang biasa membuat musuh gentar kini benar-benar lenyap. Dirinya tahu pedang ini bukan pedang yang telah menjadi bagian dari dirinya selama ini.Namun, ia tetap tenang. Dalam hatinya, ia tahu kebenaran akan segera terungkap. Pedang Agni Narakastra tidak mungkin hilang begitu saja. Pedang itu adalah pusaka yang hanya setia
Pangeran Karna terdiam, matanya terpaku pada pedang apinya yang bersinar dengan kilau merah keemasan. Kata-kata pedang itu masih bergema dalam pikirannya, meresap hingga ke sanubarinya. Lamunan dan gumam hatinya teralihkan karena dari kerumunan orang-orang yang menentang keberadaannya. Seorang kesatria muncul dari tengah kerumunan, tubuhnya dibalut dengan baju hitam, wajahnya tersembunyi dibalik topeng merah. Satu langkah demi satu langkah, ia mendekat, matanya tajam menatap Pangeran Karna."Jadi, inilah Pangeran Karna," kata kesatria itu dengan suara yang tegas dan penuh penghinaan. "Kau yang begitu beruntung mendapatkan pedang ini, dan kini merasa tak terkalahkan. Tapi, ingat, kekuatanmu hanya semu. Di balik semua itu, kau hanya seorang pengecut yang berlindung di balik senjata, bersembunyi dari kenyataan."Pangeran Karna menatapnya dengan tajam, bibirnya terkatup rapat. Kata-kata itu menusuk jantungnya. Dengan ketenangan yang selalu terpelihara Karna bersuara dengan tenang."Kebe
Pangeran Karna berdiri di depan altar kerajaan, tatapannya terfokus pada pedang api Narakastra yang terbungkus dalam kotak penyimpanan yang terbuat dari logam hitam. Pedang itu, dengan sinar api yang melambangkan kekuatannya, adalah simbol kebesaran dan kemuliaan dari Karmapura. Namun, saat ini, semua itu harus ia tinggalkan. Lima tahun—lima tahun penuh penderitaan, penyamaran, dan pengasingan, jauh dari tanah kelahirannya.Dengan hati yang berat, Karna menatap kotak itu, dimana pedangnya tersembunyi, yang sudah lama menjadi sahabat sekaligus penasihatnya dalam berbagai pertempuran. Api yang biasanya menggelegak dan mengamuk kini terperangkap dalam relung kesunyian, seperti menunggu perintah dari sang pemiliknya."Narakastra," Karna berbisik, suara lembutnya penuh dengan kedalaman perasaan. "Aku tahu, ini berat bagimu seperti halnya bagiku. Tetapi perintah ayahku tidak bisa kuingkari. Aku harus meninggalkanmu, meski tak akan ada yang bisa menggantikan kekuatanmu."Pedang itu, yang se
Panglima Panji memimpin serangan dengan kecepatan mematikan. Ia menghancurkan pintu utama benteng dengan pasukannya yang kini sudah bergabung dari luar. Dalam kekacauan itu, Raja Durwasa tetap berada di belakang garis depan, mengamati kehancuran yang perlahan terjadi sesuai rencananya. Di dalam ruang takhta Singawulan, Raja Kridageni dan Patih berdiri dengan pedang terhunus, mencoba memahami situasi yang begitu tiba-tiba. "Bagaimana mereka bisa masuk tanpa kita sadari?" seru Raja Kridageni matanya menaruh kemarahan dan ketidakpercayaan. Patih menjawab dengan napas tersengal. "Mereka menyamar, Baginda. Mereka sudah di antara kita bahkan sebelum serangan ini dimulai. Teknik perang mereka... ini adalah seni bayangan yang belum pernah kita lihat sebelumnya." Raja Kridageni menggeram. "Durwasa! Licik seperti ular! Tapi aku tidak akan menyerahkan kerajaan ini begitu saja!" Di luar ruangan, Patih mengambil alih pasukan memimpin sisa pasukan Singawulan mencoba menghalangi jalan para pr
Tubuh gadis itu terbawa arus deras hingga akhirnya terdampar di tepi Sungai Persik, dekat Desa Pinang Selatan. Di pagi hari, seorang tabib tua yang sedang mencari tanaman obat menemukan gadis itu tergeletak di pinggir sungai, basah kuyup namun masih bernapas.Tabib itu membawanya pulang ke gubuknya, merawat luka-lukanya, dan merawatnya seperti anaknya sendiri. ***Di dalam gubuk kecil di Desa Pinang Selatan, suara aliran sungai terdengar samar di kejauhan. Di atas kasur jerami, seorang gadis remaja berbaring dengan tubuh lemah dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Perlahan, matanya terbuka, namun dunia di sekitarnya terasa asing. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bambu terasa menyakitkan bagi matanya.Gadis itu mencoba bergerak, tapi rasa sakit menyerang tubuhnya. Ia teringat sesuatu—bayangan air terjun, jeritan ibunya, dan wajah dingin Panglima Panji. Dadanya sesak, dan seketika air matanya mengalir deras.Nyai Ruchi, tabib tua dengan rambut memutih yang
Dalam hutan lebat di perbatasan Kerajaan Karmapura, matahari senja mengintip di antara dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seperti makhluk hidup. Pangeran Karna berjalan dengan hati-hati. Ia tahu wilayah ini penuh dengan bahaya, dari binatang buas hingga manusia yang lebih buas. Tiba-tiba, suara teriakan nyaring memecah keheningan. "Tolong! Tolong aku! Aku tidak punya apa-apa lagi! Kalau kalian mau, ambillah jerukku saja!" suara itu berasal dari seorang pria muda yang kurus dengan rambut acak-acakan. Ia dikelilingi oleh sekelompok perampok bersenjata tajam. Karna bersembunyi di balik pohon, memperhatikan pria itu yang tampak lebih bingung daripada takut. Salah satu perampok berteriak, "Diam! Kami tidak butuh jeruk! Serahkan semua barang berhargamu!" Pria itu, yang belakangan diketahui bernama Jayanta, dengan polos merogoh sakunya dan mengeluarkan kulit jeruk. "Ini, kalau kalian tidak mau, mungkin kalian bisa jadikan obat nyamuk?" Namun, sebelum perampok bisa be
Langkah ringan terdengar samar dari arah belakang, diikuti oleh pergerakan bayangan di sudut matanya. Karna tetap tenang, matanya tetap tertuju pada pedang di tangannya, namun otot-ototnya tegang seperti busur yang siap dilepaskan.Tiba-tiba, bayangan gelap melompat keluar dari kegelapan, senjata berkilauan di tangan. Dalam sepersekian detik, Karna melempar tubuhnya ke samping, menghindari serangan mematikan yang diarahkan ke punggungnya. Serangan itu memotong udara dengan desisan tajam, meleset tipis dari sasarannya.Dengan gerakan yang hampir seperti tarian, Karna berguling ke lantai dan meraih pedang sederhana yang tersandar di dinding. Ia berdiri, posturnya kokoh dan penuh kendali, sementara matanya mengunci pada si penyerang."Siapa kau?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh wibawa.Penyerang itu tidak menjawab, hanya menyerang lagi dengan kecepatan mengerikan. Namun Karna tidak terguncang. Gerakannya elegan namun mematikan. Dia menghindar, menangkis, dan menyerang balik dengan
Penyerangan yang tiba- tiba semalam itu, membuat Karna berpikir. Namun, dia tidak tahu apa hubungan ini dengan dirinya atau pedang legendaris Agni Narakastra yang dia simpan dengan hati-hati.Malam itu, Karna memutuskan bahwa dia tidak bisa tinggal di desa lebih lama lagi. Dia harus mencari jawaban, dan satu-satunya petunjuk yang dimilikinya adalah Goa Harayan.***Pagi sebelum dia pergi, kerusuhan yang terjadi semalam terdengar oleh Jayanta.Jayanta duduk di atas dinding batu kecil, memainkan tongkat kayunya sambil bersiul riang. Ketika Karna berjalan keluar rumah dengan pedang tersandang di punggung, Jayanta langsung melompat turun, wajahnya penuh antusias.“Arjunq! Kau akan pergi lagi, bukan? Aku tahu! Aku akan ikut kali ini!” Jayanta berkata dengan nada penuh semangat, seolah keputusan itu sudah mutlak.Karna berhenti, menatap pemuda yang jauh lebih muda darinya itu dengan alis terangkat. “Ini bukan perjalanan yang menyenangkan, Jayanta. Ada bahaya di setiap langkah. Kau lebih bai
Saat energi mereka menyatu, Karna merasakan sesuatu yang berbeda mengalir dalam dirinya. Pandangannya bukan lagi sekadar melihat, tetapi menangkap sesuatu yang lebih dalam—getaran, niat tersembunyi, bahkan suara hati seseorang yang biasanya terbungkus rapat dalam diam. Ia bisa merasakan ketakutan, ambisi, dan bahkan kebohongan yang belum terucap. Saat Rushali menatapnya dengan mata yang kini berpendar samar, Karna mendengar bisikannya sebelum bibirnya bergerak."Kau mendengar aku?" tanyanya pelan.Karna mengangguk. "Bukan hanya suaramu… tapi hatimu juga."Rushali terkejut, tetapi tubuhnya sendiri kini terasa berbeda. Ia mengangkat tangannya dan melihat bayangan yang seharusnya ada di tanah, seketika lenyap dalam kehendaknya. Seberkas cahaya yang merembes masuk ke dalam gua pun berpendar di telapak tangannya, seolah tunduk padanya."Aku… bisa mengendalikan ini?" bisiknya tak percaya.Ia melangkah maju dan seketika tubuhnya seakan melebur dalam kegelapan, menghilang dari pandangan Karna
Sebelum Karna bisa menyelesaikan kalimatnya, sebuah cahaya biru samar mulai muncul di sekitar tubuh Rushali. Tangannya memancarkan aura hangat yang membuat udara di sekitarnya bergetar hebat. Batu-batu yang sebelumnya menghalangi jalan keluar tiba-tiba melayang perlahan, seolah-olah tidak lagi terikat oleh gravitasi. Beberapa serpihan bahkan melayang di udara, berputar mengelilingi Rushali. “Apa... ini?” bisik Rushali, suaranya bergetar. Mata Karna membelalak. “Kau... Punya kekuatan? kau membangkitkan kekuatanmu?” Namun, Rushali tidak menjawab. Pikirannya terasa kosong, hanya dipenuhi oleh satu hal—keinginan untuk melindungi Karna. Ia mengangkat tangannya secara refleks, dan seketika itu juga, batu-batu besar yang menghalangi jalan keluar terangkat tinggi ke udara, lalu melesat menghantam dinding, menciptakan jalur baru yang sebelumnya tertutup. Rushali terengah-engah. Tubuhnya terasa ringan, seakan kekuatan itu mengalir bebas dalam dirinya. Tapi, bersamaan dengan itu, entah
Langkah mereka tergesa, berkejaran dengan napas yang memburu. Kegelapan menyelimuti lorong istana Kalingga, hanya diterangi nyala api yang memantulkan bayangan menari di dinding-dinding batu. Di belakang mereka, suara pertempuran masih menggema—teriakan kesakitan, denting logam bertemu logam, dan bau darah yang menguar semakin pekat. Rushali berlari di samping Karna, tangannya sesekali menyentuh dinding untuk menjaga keseimbangan. Misi mereka jelas—menemukan jalan keluar, mengumpulkan sekutu, dan menyelamatkan Kalingga sebelum semuanya terlambat. Tapi di balik semua itu, ada sesuatu yang lain, sesuatu yang membuat dada Rushali terasa lebih berat dari sekadar ketakutan akan kematian. Karna di sisinya, dengan mata elangnya yang terus mengawasi setiap sudut lorong, tubuhnya selalu sedikit condong ke arahnya, seolah naluri pertamanya bukan menyelamatkan diri sendiri, melainkan melindunginya. "Belok kiri!" seru Rushali, mengingat jalur yang lebih aman menuju ruang rahasia di sayap tim
Malam di Kalingga terasa lebih dingin dari biasanya. Angin berhembus membawa aroma logam yang samar, seolah ada sesuatu yang mengintai dari kegelapan. Di atas singgasana megahnya, Raja Santanu duduk dengan tenang, wajahnya tetap tenang seperti biasanya. Namun, tatapan tajamnya menunjukkan bahwa ia tidak sepenuhnya mengabaikan ancaman yang baru saja datang. Di hadapannya, seorang utusan berlutut dengan tubuh gemetar. "Baginda," suaranya parau, nyaris tercekat oleh ketakutan, "desa perbatasan di barat telah terbakar. Tidak ada yang selamat. Hanya ini yang kami temukan di antara puing-puing." Utusan itu mengangkat tangannya, menunjukkan secarik kain hitam berlambang ular bersayap merah. Sebuah tanda yang hanya dikenali oleh mereka yang cukup berani menyelidiki kegelapan sejarah Kalingga. "Bayang Niraka..." bisik seorang penasihat, wajahnya memucat. Namun, Raja Santanu hanya tersenyum tipis. "Mereka mulai bergerak lagi," gumamnya, seolah ini bukanlah hal yang mengejutkan. "Kirim pa
Pagi yang Ceria di Istana KalinggaMatahari pagi mulai menampakkan sinarnya, memancarkan kehangatan lembut yang menerangi taman istana. Aroma dupa yang menenangkan bercampur dengan embun pagi, menciptakan suasana damai yang jarang dirasakan oleh Karna dan Rushali dalam perjalanan mereka.Rushali membuka pintu kamarnya, rambutnya masih sedikit berantakan setelah istirahat yang panjang. Ia meregangkan tubuh sambil menikmati udara segar pagi itu. Pandangannya jatuh ke arah pendopo kecil di sudut istana, tempat Karna duduk bersila dalam posisi meditasi.Rushali menghentikan langkahnya, merasa malu karena ia baru saja bangun, sementara Karna sudah tampak begitu fokus dan tenang. Namun, Karna yang tampaknya merasakan kehadirannya, membuka satu matanya dan melemparkan ucapan menyindir.“Lepas sekali tidurmu, baru bangun jam segini!” ucap Karna dengan nada santai.Rushali yang masih setengah sadar menatapnya dengan mata menyipit. “Aku memang baru bangun, tapi kau tidak perlu mengingatkannya d
Ornamen ukiran berbentuk burung garuda dan bunga teratai menghiasi setiap sudut pintu gerbang, menandakan kearifan lokal yang kuat. Di kejauhan, istana terlihat megah dengan atap berlapis emas yang memantulkan sinar matahari sore.Mereka disambut oleh para prajurit dan pelayan istana yang telah bersiap dengan senyum ramah. Seorang abdi istana melangkah maju, memberikan hormat kepada keduanya."Yang Mulia Raja Santanu menantikan kehadiran Tuan dan Nona," katanya, mempersilakan mereka masuk dengan gestur yang penuh hormat.Rushali memandang Karna dengan sedikit ragu. "Apa menurutmu semua ini tidak berlebihan? Aku tidak merasa kita hanya tamu biasa," bisiknya.Karna mengangguk pelan. "Kita tetap harus waspada. Raja Santanu mungkin memiliki tujuan tertentu."Mereka melangkah melewati aula istana yang dihiasi ukiran khas Jawa, dengan tembok bercat putih gading dan tiang kayu jati berukir rumit. Sesampainya di balairung, Raja Santanu berdiri dari singgasananya. Ia adalah sosok yang berwibaw
Langkah kaki Karna dan Rushali terdengar sayup di tengah sunyinya hutan yang seolah enggan mengungkap rahasianya. Di tangan Karna, artefak itu bersinar dengan cahaya hangat, memancar ke depan seperti lentera ajaib yang memandu mereka. Setiap kali mereka melangkah, cahaya itu bergerak lebih terang, seolah memberi tahu bahwa mereka semakin dekat ke tujuan.Angin dingin berembus lembut, membawa bisikan yang terdengar seperti bahasa kuno, sulit dipahami. Cahaya artefak itu memantul di pepohonan, menciptakan bayangan yang bergerak seperti tarian roh.Rushali berbisik, memandang cahaya artefak dengan takjub. "Cahaya ini... seperti ia hidup, memanggil kita untuk maju. Arjuna, apa kau merasakannya?"Karna mengangguk, matanya tak lepas dari cahaya. "Ya, seperti ia tahu ke mana harus membawa kita. Tapi di mana ujungnya? Apa yang akan kita temukan di sana?"Rushali berbisik, hampir pada dirinya sendiri. "Mungkin... jawaban dari semua misteri ini."Setelah menempuh perjalanan panjang, cahaya arte
Rushali berteriak, napasnya terputus-putus, "Mereka... mereka ingin kekuatannya, Arjuna. Kalung ini... kalung ini adalah kunci... kunci ke rahasia besar yang mereka incar."Sosok berjubah itu tertawa dingin, “Kunci yang seharusnya bukan milik gadis ini. Kau tak tahu, pendekar. Dia bukan siapa yang kau pikirkan. Tapi jika kau tetap ingin tahu, datanglah. Kami akan menunjukkan kebenaran... sebelum kau mati."Karna menyadari bahwa ini lebih dari sekadar penyelamatan. Rushali, kalung itu, dan orang-orang berjubah hitam ini terhubung oleh sesuatu yang lebih besar dari yang pernah ia bayangkan. Namun, ia tahu satu hal: ia takkan membiarkan Rushali jatuh ke tangan mereka.Karna berdiri di tepi tebing, matanya tajam mengamati sosok berjubah hitam yang mengelilingi Rushali di bawah sana. Cahaya dari Pedang Agni di tangannya berdenyut pelan, seolah mencoba berkomunikasi. Suara lembut seperti bisikan terdengar di benaknya.Pedang Agni: "Jangan gegabah, Karna. Kekuatan mereka tidak bisa kau lawan
Karna berdiri tak jauh dari tempat Rushali duduk, memandangi gadis itu yang tampak tenang meskipun mereka baru saja melalui pertempuran sengit. Namun, matanya tak lepas dari kilauan cahaya lembut yang terpancar dari kalung di leher Rushali. Kalung itu bukan sekadar perhiasan biasa; ia memancarkan aura hangat, nyaris seperti hidup, seolah melindungi pemiliknya. Ia mengenali kalung itu. Dalam salah satu naskah kuno yang pernah dibacanya di perpustakaan kerajaan, tertulis bahwa kalung seperti itu adalah peninggalan para pemimpin besar yang memiliki kekuatan sakti. Tapi bagaimana bisa Rushali memilikinya? Dengan raut penuh keraguan, Karna mendekati Rushali. Karna dengan suara pelan tapi tegas. "Rushali... kalung itu... dari mana kau mendapatkannya?" Rushali tertegun sesaat, lalu tersenyum samar. "Kalung ini? Sudah lama aku memilikinya. Ini... pemberian dari seseorang." Karna mengernyit, matanya menelusuri setiap detail kalung itu. "Pemberian dari seseorang? Jangan anggap ak