Tubuh gadis itu terbawa arus deras hingga akhirnya terdampar di tepi Sungai Persik, dekat Desa Pinang Selatan. Di pagi hari, seorang tabib tua yang sedang mencari tanaman obat menemukan gadis itu tergeletak di pinggir sungai, basah kuyup namun masih bernapas.Tabib itu membawanya pulang ke gubuknya, merawat luka-lukanya, dan merawatnya seperti anaknya sendiri. ***Di dalam gubuk kecil di Desa Pinang Selatan, suara aliran sungai terdengar samar di kejauhan. Di atas kasur jerami, seorang gadis remaja berbaring dengan tubuh lemah dan luka-luka di sekujur tubuhnya. Perlahan, matanya terbuka, namun dunia di sekitarnya terasa asing. Cahaya matahari yang menerobos masuk melalui celah-celah dinding bambu terasa menyakitkan bagi matanya.Gadis itu mencoba bergerak, tapi rasa sakit menyerang tubuhnya. Ia teringat sesuatu—bayangan air terjun, jeritan ibunya, dan wajah dingin Panglima Panji. Dadanya sesak, dan seketika air matanya mengalir deras.Nyai Ruchi, tabib tua dengan rambut memutih yang
Dalam hutan lebat di perbatasan Kerajaan Karmapura, matahari senja mengintip di antara dedaunan, menciptakan bayangan panjang yang bergerak seperti makhluk hidup. Pangeran Karna berjalan dengan hati-hati. Ia tahu wilayah ini penuh dengan bahaya, dari binatang buas hingga manusia yang lebih buas. Tiba-tiba, suara teriakan nyaring memecah keheningan. "Tolong! Tolong aku! Aku tidak punya apa-apa lagi! Kalau kalian mau, ambillah jerukku saja!" suara itu berasal dari seorang pria muda yang kurus dengan rambut acak-acakan. Ia dikelilingi oleh sekelompok perampok bersenjata tajam. Karna bersembunyi di balik pohon, memperhatikan pria itu yang tampak lebih bingung daripada takut. Salah satu perampok berteriak, "Diam! Kami tidak butuh jeruk! Serahkan semua barang berhargamu!" Pria itu, yang belakangan diketahui bernama Jayanta, dengan polos merogoh sakunya dan mengeluarkan kulit jeruk. "Ini, kalau kalian tidak mau, mungkin kalian bisa jadikan obat nyamuk?" Namun, sebelum perampok bisa be
Langkah ringan terdengar samar dari arah belakang, diikuti oleh pergerakan bayangan di sudut matanya. Karna tetap tenang, matanya tetap tertuju pada pedang di tangannya, namun otot-ototnya tegang seperti busur yang siap dilepaskan.Tiba-tiba, bayangan gelap melompat keluar dari kegelapan, senjata berkilauan di tangan. Dalam sepersekian detik, Karna melempar tubuhnya ke samping, menghindari serangan mematikan yang diarahkan ke punggungnya. Serangan itu memotong udara dengan desisan tajam, meleset tipis dari sasarannya.Dengan gerakan yang hampir seperti tarian, Karna berguling ke lantai dan meraih pedang sederhana yang tersandar di dinding. Ia berdiri, posturnya kokoh dan penuh kendali, sementara matanya mengunci pada si penyerang."Siapa kau?" tanyanya, suaranya rendah namun penuh wibawa.Penyerang itu tidak menjawab, hanya menyerang lagi dengan kecepatan mengerikan. Namun Karna tidak terguncang. Gerakannya elegan namun mematikan. Dia menghindar, menangkis, dan menyerang balik dengan
Penyerangan yang tiba- tiba semalam itu, membuat Karna berpikir. Namun, dia tidak tahu apa hubungan ini dengan dirinya atau pedang legendaris Agni Narakastra yang dia simpan dengan hati-hati.Malam itu, Karna memutuskan bahwa dia tidak bisa tinggal di desa lebih lama lagi. Dia harus mencari jawaban, dan satu-satunya petunjuk yang dimilikinya adalah Goa Harayan.***Pagi sebelum dia pergi, kerusuhan yang terjadi semalam terdengar oleh Jayanta.Jayanta duduk di atas dinding batu kecil, memainkan tongkat kayunya sambil bersiul riang. Ketika Karna berjalan keluar rumah dengan pedang tersandang di punggung, Jayanta langsung melompat turun, wajahnya penuh antusias.“Arjunq! Kau akan pergi lagi, bukan? Aku tahu! Aku akan ikut kali ini!” Jayanta berkata dengan nada penuh semangat, seolah keputusan itu sudah mutlak.Karna berhenti, menatap pemuda yang jauh lebih muda darinya itu dengan alis terangkat. “Ini bukan perjalanan yang menyenangkan, Jayanta. Ada bahaya di setiap langkah. Kau lebih bai
Langkah Karna bergema di lorong gelap Goa Harayan. Bau darah dan dupa bercampur di udara yang dingin menusuk. Di depan matanya, sebuah altar besar tampak berdiri kokoh di tengah ruangan. Batu hitam yang mengerikan, dihiasi simbol-simbol sekte Bayang Niraka, bersinar samar dengan cahaya merah yang menyeramkan. Di sekeliling altar, berdiri sosok-sosok berjubah hitam dengan wajah tertutup, melantunkan mantra dalam nada rendah yang terasa menusuk ke dalam jiwa. Karna, yang masih menyamar sebagai Arjuna, merasa tubuhnya semakin berat. Bayangan yang berputar di sekitar ruangan seperti menggenggam dirinya, mencengkeram tubuhnya dengan kekuatan yang tak terlihat. Cahaya emas di kulitnya perlahan mulai meredup, seakan direnggut oleh kegelapan itu. “Selamat datang di takdirmu, Arjuna... atau haruskah kami memanggilmu Pangeran Karna?” Salah satu dari mereka maju, suara seraknya menyalak seperti ular. Karna terdiam. Napasnya berat, seperti ada beban ribuan ton di dadanya. Sekte itu tahu siapa
Adipati Situmba berdiri di aula pertemuan kecil, memandangi para pejabat yang berkumpul di hadapannya. Ia tahu, untuk menguasai Karmapura, ia tidak bisa hanya mengandalkan kekosongan kekuasaan. Ia harus menciptakan musuh bersama, dan sosok Pangeran Karna—meskipun tidak terlibat langsung dalam pemerintahan—adalah sasaran sempurna.“Sudah terlalu lama,” kata Situmba, memulai pidatonya, “kita membiarkan pengaruh pribadi Pangeran Karna mencemari kerajaan ini. Meski dia belum memegang posisi resmi, apakah kalian tidak merasa aneh bahwa segala kekacauan ini terjadi segera setelah dia meninggalkan istana?”Ki Suratma, penasihat tua, mengangkat alisnya. “Tapi, Tuan Adipati, Pangeran Karna belum pernah memiliki tanggung jawab resmi. Dia lebih dikenal sebagai pendekar, bukan administrator. Apa yang Anda maksud dengan ‘pengaruh pribadinya’?”“Ha! Justru itu masalahnya!” jawab Situmba dengan nada tegas. “Dia memang tidak memegang jabatan resmi, tapi pengaruhnya pada rakyat begitu besar. Banyak or
Edit Fajar mulai menyentuh tirai anyaman di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Seberkas cahaya hangat menyusup ke sela-sela jendela, perlahan membelai wajah seorang gadis remaja yang tengah terbaring. Mata gadis itu berkedip lemah, kemudian terbuka sepenuhnya. Tatapannya kosong, seolah melihat dunia untuk pertama kalinya. Dia duduk perlahan, menatap tangannya sendiri, lalu memandang sekeliling. Tidak ada yang terasa akrab. Tidak ada nama, tidak ada cerita. Dirinya adalah kekosongan. Seorang wanita tua berwajah lembut masuk ke dalam kamar. Dia membawa semangkuk air hangat, meletakkannya di samping gadis kecil itu, lalu duduk di tepinya. "Anakku," kata wanita itu dengan nada lembut yang penuh kasih. "Namamu sekarang adalah Rushali." Gadis kecil itu memandang wanita itu dengan kebingungan yang samar, tetapi tidak ada rasa curiga di matanya. Nama itu, Rushali, terasa asing tetapi sekaligus hangat di telinganya. Dia mengangguk pelan, seolah menerima sesuatu yang tak perlu diperta
Matahari senja memancarkan sinarnya yang lembut, memantulkan warna keemasan di permukaan Sungai Persik. Di tepi sungai yang sepi, Pangeran Karna duduk bersila, menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Bekas luka pertarungan dengan pemimpin sekte Bayang Niraka masih terasa perih, namun yang lebih menyiksa adalah pikiran-pikirannya yang berputar tanpa henti. Energi tenaga dalamnya perlahan mengalir, membasahi setiap inci tubuhnya dengan kehangatan penyembuhan. Namun, di tengah meditasinya, suara-suara dari masa lalu dan bayang-bayang kebenaran yang samar terus menghantui pikirannya.“Kenapa Ayah menghukumku saat itu? Bukankah membunuh ksatria Singowulan yang menyelinap ke dalam wilayah Karmapura adalah hal yang benar?” pikir Karna.Teringatlah ia pada pemimpin sekte itu, sebelum menyerah dan pergi sempat berkata bahwa Raja Durwasa-lah yang memulai tragedi ini dengan membantai Raja Kridageni dan seluruh penduduknya. Dan kini, mereka menginginkan balas dendam yang diwariskan pada
“Awas Rushali!!” Karna bergegas menubruk Rushali supaya Rushali terhindarkan dari serangan makhluk itu.Duarr!!Api timbul di antara serpihan bebatuan yang meledak karena kekuatan makhluk itu yang berniat melukai Rushali.Entah mengapa, mahkluk itu membaca bahwa Rushali menganggu konsentrasi nya. Sasaran empuk, yang merupakan kelemahan Karna. Tapi niat makhluk itu bisa dihentikan.“Hoshh.. hosh.. !” Karna menarik nafas panjang, menatap tajam lawannya“Tak akan aku biarkan kau menyentuh Rushali walau sehelai rambut pun!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya, yang segera menyala dengan api biru.Dia kembali memasang badan, melindungi gadis manis yang setia bersamanya. Rushali memahami situasi yang ada. Dia kemudian mencari pohon atau apapun yang lebih besar dari tubuhnya untuk bersembunyi.Rushali memegang dadanya yang sesak, degup jantung yang memburu membuat nafasnya tersengal. Dibalik batu besar dirinya bersandar menyembunyikan tubuh mungilnya. Sambil menahan rasa khawatir akan Karna
Lorong itu membawa Karna ke sebuah ruang terbuka yang luar biasa. Di hadapannya terhampar sebuah kota yang bersinar, seolah-olah seluruhnya terbuat dari kristal bercahaya. Pilar-pilar tinggi berdiri menjulang dengan ukiran-ukiran kuno, sementara sungai-sungai cahaya mengalir di antara bangunan-bangunan yang tampak seperti fatamorgana.Namun, keindahan kota ini memiliki nuansa asing dan suram. Udara terasa berat, dan di kejauhan, Karna dapat mendengar suara langkah kaki makhluk yang bergerak di balik bayang-bayang.Karna: (berbisik pada dirinya sendiri) "Kota ini... apakah ini nyata? Atau hanya ilusi?"Dia melangkah perlahan, matanya awas terhadap gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, dari balik sebuah gerbang kuno, muncul makhluk-makhluk aneh. Ada yang memiliki tubuh menyerupai manusia dengan kepala hewan, ada pula yang tampak seperti bayangan hidup dengan mata bercahaya. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati Karna dengan rasa ingin tahu yang hampir mengintimidasi.Salah satu makhluk y
Di salah satu sisi, gerbang batu telah terbuka, memperlihatkan celah yang mengarah pada kegelapan tak berujung. Namun, dari balik celah itu, terdengar gemuruh berat, seperti langkah makhluk raksasa.Rushali memegang lengan Karna erat-erat."Apa kau mendengar itu? Dia menyebut namamu."Karna menatap celah dengan tenang, meski hatinya mulai waspada."Tetap di belakangku. Kita tidak tahu apa yang akan muncul."Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk besar dengan kulit keras menyerupai batu, matanya bersinar seperti bara api. Suaranya dalam dan menggema saat ia berbicara."Siapa yang berani melangkah ke tempat suci ini? Apa tujuan kalian?"Karna berdiri tegak, menyembunyikan identitasnya dengan sikap percaya diri."Kami hanyalah pengelana yang mencari jawaban atas misteri kuno. Tempat ini... dulunya milik seorang raja besar, bukan?"Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh longsoran."Raja besar? Dia adalah kehancuran. Tempat ini adalah sisa-sisa dari kebodohannya. Siapa kalian yang
Kepingan artefak di tangan Karna bersinar lembut, memancarkan cahaya biru keemasan yang seolah menembus kabut malam. Sorotan itu mengarah ke depan, memberikan petunjuk arah tanpa kata. Langkah-langkah Karna mantap namun sunyi, hanya ditemani oleh gemerisik tanah kering di bawah kakinya. Persimpangan demi persimpangan ia lewati, membiarkan cahaya artefak menjadi satu-satunya penuntun. Di tengah perjalanan, sesuatu mengusik pikirannya. Bukan hanya tentang keberadaan artefak berikutnya, tetapi juga soal perasaan bahwa ada seseorang yang mengamatinya. Ia melirik sekeliling, tetapi bayangan-bayangan hanya bergeming dalam kegelapan. Ketika ia sampai di sebuah bukit yang menjulang, cahaya dari artefak semakin terang. Karna mendongak, dan pandangannya tertuju pada sebuah gerbang besar yang setengah tertimbun oleh reruntuhan. Batu-batu besar yang menutupi sebagian gerbang itu dihiasi ukiran kuno, simbol-simbol yang tampak menceritakan kisah yang telah lama terlupakan. Namun, gerbang it
Karna duduk bersila di tengah pelataran Pura Gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, namun ia tetap diam, seperti patung batu yang tak tergoyahkan oleh waktu. Di tangannya, sebuah artefak kecil tergenggam erat—sebuah benda yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Artefak itu tampak sederhana pada pandangan pertama, potongan logam berbentuk abstrak dengan ukiran aksara kuno di tengahnya. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin berat beban yang ia rasakan, seolah benda itu mengandung rahasia yang bisa mengubah segalanya. "Rushali..." Nama itu tiba-tiba terlintas di benaknya, mengusik konsentrasinya yang hampir mencapai puncak meditasi. Karna membuka matanya perlahan, menatap artefak itu dengan tatapan yang campur aduk—antara rasa bersalah, keraguan, dan penyesalan. Ia mengingat saat terakhir mereka bersama, di hutan gunung Haridra. Rushali berdiri di hadapannya dengan wajah penuh harapan, memintanya untuk membiarkan dia ikut dalam perjalanan ini. Namun, dalam k
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?” Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu. Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!” Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!” Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka. “Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menai
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung