Keesokan harinya, di bawah sinar matahari pagi yang menembus dedaunan hutan, Karna duduk di atas sebuah batu besar, menenangkan diri setelah meditasi yang panjang. Udara segar menyelimuti tempat itu, yang membuat suasana terasa damai. Tiba-tiba, Jayanta muncul dari balik pepohonan, membawa beberapa buah kelapa di pelukannya dengan senyum lebar.“Hey, Tuan pandai besi yang menyendiri!” serunya dengan nada bercanda. “Kamu pasti haus, nih. Aku bawakan kelapa segar. Jangan khawatir, aku tidak mencurinya!”Karna tersenyum tipis, menerima salah satu kelapa yang diulurkan Jayanta. “Terima kasih, Jayanta. Kamu selalu tahu cara membuat suasana tidak terlalu serius.”Jayanta duduk di atas akar pohon besar di dekat Karna, membuka salah satu kelapa dengan cekatan. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong, aku masih penasaran. Siapa orang itu? Yang bertarung denganmu waktu itu? Jujur saja, aku belum pernah melihat jurus sehebat itu sebelumnya!”Karna menatap Jayanta dengan tenang,
Karna terhuyung mundur, tubuhnya melemah seiring dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Bahkan luka dari menancap golok perampok itu terus mengalirjan darah juga. Racun dari golok itu mulai menyebar, mencengkeram tubuhnya seperti bara api yang membakar dari dalam. Pandangannya buram, namun nalurinya sebagai pendekar tetap terjaga. Dengan tangan gemetar, ia mengembalikan pedang ke dalam sarungnya, meski setiap gerakan terasa seperti menanggung beban gunung.Karna tersengal. "Aku… tak boleh jatuh... Tidak sekarang..."Namun tubuhnya tak lagi mampu bertahan. Lututnya menyerah, dan ia ambruk ke tanah dengan napas yang terputus-putus. Perampok itu, yang sebelumnya tersungkur, kini bangkit dengan mata penuh dendam. Ia menggenggam goloknya yang berlumuran darah, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan bersiap menebas Karna yang tak berdaya.Rushali, yang sejak tadi berdiri terpaku dengan tubuh bergetar, merasakan dadanya seakan meledak. Ketakutan bercampur dengan tekad yang tiba-tiba memb
Bergegas Nyai membuatkan jamu dan obat oles untuk Karna. Nyai mencoba meminumkannya, tapi seperti waktu di hutan, Karna tidak mau membuka mulut sedikitpun. Nyai celingukan mencari Rushali. "Ibu, ada tamu mencarimu, sepertinya dia murid baru yang mau mendaftar, ia datang bersama orang tuanya" ucap Rushali. "Ohh ibu akan menememui mereka.. Hmm.. Rushali bantulah ibu, pria ini tidak bisa membuka mulutnya, kalau kau berhutang nyawa padanya, kau saja yang meminumkannya!" ucap Nyai Ruchi "Ibu saja tidak bisa, bagaimana aku mampu ibu?" tanya Rushali "Sudahlah Rushali, dia harus segera ditangani, jika terlambat, akan mengancam nyawanya!" Nyai Ruchi mencoba menjelaskan keadaan pasien mereka saat itu. "Pertama bersihkan dulu badan dan lukanya dengan air hangat, oleskan ramuan itu untuk luka di kulitnya, kemudian beri dia jamu ini dengan mulutmu, setelah itu ganti pakaiannya.” jelas Nyai Ruchi "Apa ibu? Haruskan aku melepas pakaiannya?, dan menggunakan bibirku untuk.. untuk.." Rushal
Buku itu bertuliskan: Cakra sangat berpengaruh terhadap energi seseorang. Dalam beberapa kasus, Cakra bisa rusak atau sengaja dirusak melalui sakramen tertentu. Sakit hati, kepahitan, dan penyakit hati lainnya dapat memperburuk penyumbatan sebuah Cakra, khususnya Cakra Jantung. Bahkan, Cakra tersebut dapat mati apabila tidak disembuhkan. Membuat orang yang mengalami kerusakan itu menjadi pribadi yang angkuh, tidak mengerti berterimakasih, pendendam, dan tidak berperasaan. Bahkan tidak akan pernah merasakan cinta. Dalam penyembuhan nya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Konon, hanya orang yang ditakdirkan semesta menjadi pasangannnya yang dapat menyembuhkannya Cakra tersebut. Penyembuhan yang tidak biasa melalui kontak fisik dan perasaan tulus yang sering disebut Cinta Sejati. ~~~~~~~~ Nyai dan Rushali saling berpandangan tidak percaya."Ibu, apakah kau memikirkan yang aku pikirkan? tanya Rushali sambil melongo. Nyai mengernyitkan kening, dan mengangguk dengan berat."Sep
Aula kerajaan yang megah berubah menjadi arena penuh ketegangan. Para bangsawan dan pejabat kerajaan duduk dalam keheningan yang canggung, sementara Raja Durwasa berusaha mempertahankan wibawanya dari singgasananya. Di tengah ruangan, berdiri Sisupala, adik Karna yang selama ini jarang menonjolkan dirinya di istana. Namun, kali ini ia berbicara dengan nada tajam yang mencerminkan ambisi dan keberaniannya.“Paduka Ayahanda,” kata Sisupala, membungkuk dengan formalitas, tetapi nada suaranya penuh sindiran, “izinkan anakanda menyampaikan kegelisahan yang sedang melanda hati rakyat kita.”Raja Durwasa mengangkat alis. “Bicara terus terang, Sisupala. Apa yang ingin kau sampaikan?”Sisupala menghela napas seolah-olah menanggung beban seluruh kerajaan. “Rakyat mulai bertanya-tanya, Paduka. Mengapa Pangeran Karna, kakanda kami yang diharapkan menjadi pewaris, justru membawa aib besar bagi keluarga ini? Tidak hanya melanggar aturan kompetisi, tetapi juga mencoreng nama baik Karmapura dengan ti
Malam itu, di ruang pertemuan kecil di istana, beberapa pejabat berkumpul dalam suasana tegang. Lilin-lilin di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, cukup untuk menyoroti wajah-wajah penuh kekhawatiran. Perdana Menteri, Panglima, Pejabat-pejabat muda dan pemimpin batalyon berunding di ruangan Perdana Menteri. Perdana Menteri Danutra yang kini berdiri di tengah, menghela napas berat. “Kita semua tahu bahwa ini tidak seperti Karna. Sejak kecil, dia selalu memegang teguh kehormatan keluarga. Tapi…” Ia berhenti, suaranya melemah. “Bukti-bukti ini sulit untuk diabaikan.” Ksatria Panji yang adalah panglima muda Karmapura menyela, matanya menyipit curiga. “Bukti atau jebakan? Lambang itu terlalu mencolok. Jika benar dia yang melakukannya, mengapa meninggalkan sesuatu yang begitu mudah dikenali?” Para loyalis dan orang-orang yang sangat mengenali Pangeran Karna tetap tidak percaya akan berita-berita itu. Koin yang berlambang putra Mahkota itu. Jika memang Karna adalah dalang. Tidak m
Karna yang melihat kejadian yang berbahaya itu langsung melangkah maju ke arah para petani."Saudara-saudara," serunya lantang. "Kita tidak bisa hanya berdiam diri. Kumpulkan karung goni sebanyak mungkin, isi dengan pasir, dan bawa ke sini. Kita harus bertindak cepat!"Para petani saling berpandangan ragu sejenak, tetapi suara tegas dan kehadiran Karna membawa harapan baru, dan membuyarkan keputusasaan mereka. Dengan tergesa-gesa mereka mulai menyebar, mencari apa yang diminta. Tak butuh waktu lama hingga tumpukan karung mulai terlihat.Karna mengambil salah satu karung dan berjalan menuju bendungan. Tubuhnya berdiri tegak di tengah arus air yang deras, seakan kekuatan aliran itu tak berarti apa-apa baginya. Di bantu oleh seorang dari mereka menyalurkan karung satu-persatu. Ia mulai menyusun karung-karung dengan cekatan, memblokir jalur air yang rusak.Petani-petani yang menyaksikan itu tertegun. Sosok Karna terlihat seperti seorang kesatria sakti. Tubuhnya melawan derasnya arus tanpa
Di malam yang sunyi beserta angin malam yang menembus sampai ke tulang. Para Petani dibawah komando Karna bersembunyi di balik balok kayu dan tumpukan jerami. Para petani yang biasa membawa sabit dan cangkul, kini mereka telah bersenjatakan sederhana. Tombak, belati sabit mereka dan bambu-bambu runcng. Gagah berdiri membawa keberanian dari sisa-sisa keputusasaan, untuk membela tanah bumi mereka.Tumpukan karung-karung padi dan hasil panen telah tersusun rapi di beberapa tempat yang strategis. Hal ini dimaksudkan sebagai jebakan agar peramponitu tergiur dan termakan oleh keserakahannya sendiri.Gerak-gerik mencurigakan mulai terlihat. Para pria berlagak sombong dan bersuara kasar mulai melintasi karung-karung itu.“Haha.. mungkin rakyat sudah menyerah kepada kita. Lihatlah tanpa penjagaan, mereka menyediakan semua ini!“Cepat usung semua ini ke atas kereta. Jangan lewatkan satupun!”Dengan gelak tawa yang tak tahu malu mereka membawa semua karung dan diusung ke atas kereta yang mereka
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?”Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu.Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!”Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!”Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka.“Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menaiki Gunung ini
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung
Malam itu, kabut tipis turun menyelimuti hutan di kaki gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, menciptakan suasana yang sunyi dan mistis.Di dalam sebuah ceruk kecil, altar batu kuno berdiri dengan sederhana, nyaris tersembunyi di antara akar pepohonan yang menjalar. Sebuah tempat berteduh yang Karna dirikan di sebelah altar itu, Rushali termenung melihat Pedang itu. Di atas altar itu, sebuah pedang berkilau dengan nyala api kemerahan tampak hidup, berpendar redup seperti jantung yang berdetak. Pedang itu bukan pedang biasa—ia adalah Pedang Api, pusaka legendaris yang menyimpan kekuatan luar biasa, dan sekarang berada dalam penjagaan Rushali.Rushali berdiri di sana, tubuhnya tampak kecil di antara bayangan pohon-pohon raksasa. Cahaya lembut dari pedang menyinari wajahnya yang penuh rasa khawatir dan keraguan. Suara Karna—atau Arjuna, seperti yang ia kenal sekarang—masih menggema di benaknya."Rushali, aku harus pergi bermeditasi. Tiga hari kedepan aku akan meninggalkanmu. Jag
Pagi itu, aula utama Akademi Kanuragan dipenuhi dengan antusiasme yang tegang. Hari ujian kelulusan kelas penyelidikan telah tiba, momen yang akan menentukan kemampuan setiap murid untuk menyelesaikan misi nyata. Para murid, termasuk Rushali, berdiri dalam barisan rapi, menunggu giliran untuk mengambil gulungan misi mereka dari sebuah kotak kayu tua yang dihias ukiran rumit. Di tengah suasana itu, Rushali merasakan campuran kegugupan dan semangat. Tiga bulan berlalu dengan penuh latihan keras dan pembelajaran mendalam. Dari seorang gadis yang merasa tak berdaya, ia kini berdiri dengan penuh keyakinan, siap menghadapi tantangan apa pun. “Rushali,” panggil Tumenggung Arya, suaranya tegas dan menggetarkan. Rushali melangkah maju, menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan tangannya ke dalam kotak. Jari-jarinya menyentuh gulungan yang terasa hangat, seolah-olah telah menunggu untuk dipilih olehnya. Dengan hati-hati, ia menarik gulungan itu keluar, membuka kertasnya perlahan, dan mu
Rushali duduk di bawah pohon beringin besar di halaman belakang rumahnya, memandangi dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Kepergian Karna yang tiba-tiba meninggalkan kehampaan dalam hatinya. Meski ia paham betapa pentingnya misi yang diemban Karna, tetap saja rasa khawatir dan kesepian itu menyelimuti dirinya.Ia menggenggam sehelai kain kecil—potongan dari selendang yang pernah Karna gunakan saat melindunginya dari dingin. Tanpa sadar, ia mengelus kain itu, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus berputar.Rushali mendesah resah“Apakah dia baik-baik saja? Apa dia terluka? Apa aku egois karena ingin dia tetap di sini?” pikir Rushali, matanya mulai berkaca-kaca.Langkah kaki mendekat, dan suara riang yang sudah akrab terdengar. Jayanta muncul dengan senyumnya yang selalu membawa sedikit keceriaan di tengah kesedihan.“Rushali,” panggil Jayanta, suaranya lembut tapi penuh semangat.Rushali menoleh, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Oh, Jayanta. Ada apa?”
Karna berdiri di teras yang berpagar di rumah Panggung Pak Tandri, menatap jauh ke arah selatan. Matahari yang terbenam menciptakan siluet pegunungan di cakrawala. Angin yang lembut mengelus wajahnya, tetapi ketenangan yang dirasakan oleh rakyat Pinang Selatan, tidak dapat menembus gundah yang meliputi hatinya. Sudah beberapa bulan sejak ia berhasil menghancurkan sekte Bayang Niraka, tetapi rasa damai itu terasa hampa, seperti awan gelap yang enggan pergi sepenuhnya. Sesuatu masih mengintai. Tiba-tiba, pintu kayu di belakangnya terbuka perlahan. Jayanta, sahabat setianya, melangkah masuk sambil membawa sepoci teh hangat. Senyum riangnya seperti biasa memecah keheningan. “Pendekar, kau melamun lagi,” kata Jayanta sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. “Jika kau terus seperti ini, aku khawatir kau akan berubah jadi patung yang termenung di teras! Dan seperti yang orang banyak katakan, lebih baik kau terima saja tawaran para penduduk untuk menjadi pemimpin Arjuna!” Karna menunduk
Pangeran Karna, yang kini menyamar sebagai Arjuna, berdiri di depan tungku pandai besi yang masih mengepulkan asap panas. Tangan kasarnya mengangkat bilah tajam yang baru selesai ditempa—karya terakhirnya hari itu di gubuk sederhana milik Pak Tandri. Cahaya siang memantulkan kilauan halus pada logam yang masih merah karena panas, dan ia merasa puas melihat hasil jerih payahnya. “Pekerjaanmu makin rapi, Nak Arjuna,” puji Pak Tandri sambil mengusap peluh di dahinya. “Jika kau bertahan lebih lama di sini, aku yakin kau bisa menjadi pandai besi yang andal.” Karna hanya tersenyum samar. Pujian itu menghangatkan hatinya, meski ia tahu dirinya tak mungkin menetap selamanya. “Terima kasih, Pak Tandri. Aku hanya belajar dari kearifan yang kau ajarkan.” Setelah menyerahkan bilah itu pada Pak Tandri, Karna membersihkan dirinya di sumur kecil di belakang gubuk. Di sana, ia menemukan Jayanta sudah menunggunya, duduk dengan santai di atas batu besar sambil mengunyah ketela bakar. “Kau lambat