Edit Fajar mulai menyentuh tirai anyaman di sebuah pondok kecil di tengah hutan. Seberkas cahaya hangat menyusup ke sela-sela jendela, perlahan membelai wajah seorang gadis remaja yang tengah terbaring. Mata gadis itu berkedip lemah, kemudian terbuka sepenuhnya. Tatapannya kosong, seolah melihat dunia untuk pertama kalinya. Dia duduk perlahan, menatap tangannya sendiri, lalu memandang sekeliling. Tidak ada yang terasa akrab. Tidak ada nama, tidak ada cerita. Dirinya adalah kekosongan. Seorang wanita tua berwajah lembut masuk ke dalam kamar. Dia membawa semangkuk air hangat, meletakkannya di samping gadis kecil itu, lalu duduk di tepinya. "Anakku," kata wanita itu dengan nada lembut yang penuh kasih. "Namamu sekarang adalah Rushali." Gadis kecil itu memandang wanita itu dengan kebingungan yang samar, tetapi tidak ada rasa curiga di matanya. Nama itu, Rushali, terasa asing tetapi sekaligus hangat di telinganya. Dia mengangguk pelan, seolah menerima sesuatu yang tak perlu diperta
Matahari senja memancarkan sinarnya yang lembut, memantulkan warna keemasan di permukaan Sungai Persik. Di tepi sungai yang sepi, Pangeran Karna duduk bersila, menyatukan kedua telapak tangannya di depan dada. Bekas luka pertarungan dengan pemimpin sekte Bayang Niraka masih terasa perih, namun yang lebih menyiksa adalah pikiran-pikirannya yang berputar tanpa henti. Energi tenaga dalamnya perlahan mengalir, membasahi setiap inci tubuhnya dengan kehangatan penyembuhan. Namun, di tengah meditasinya, suara-suara dari masa lalu dan bayang-bayang kebenaran yang samar terus menghantui pikirannya.“Kenapa Ayah menghukumku saat itu? Bukankah membunuh ksatria Singowulan yang menyelinap ke dalam wilayah Karmapura adalah hal yang benar?” pikir Karna.Teringatlah ia pada pemimpin sekte itu, sebelum menyerah dan pergi sempat berkata bahwa Raja Durwasa-lah yang memulai tragedi ini dengan membantai Raja Kridageni dan seluruh penduduknya. Dan kini, mereka menginginkan balas dendam yang diwariskan pada
Keesokan harinya, di bawah sinar matahari pagi yang menembus dedaunan hutan, Karna duduk di atas sebuah batu besar, menenangkan diri setelah meditasi yang panjang. Udara segar menyelimuti tempat itu, yang membuat suasana terasa damai. Tiba-tiba, Jayanta muncul dari balik pepohonan, membawa beberapa buah kelapa di pelukannya dengan senyum lebar.“Hey, Tuan pandai besi yang menyendiri!” serunya dengan nada bercanda. “Kamu pasti haus, nih. Aku bawakan kelapa segar. Jangan khawatir, aku tidak mencurinya!”Karna tersenyum tipis, menerima salah satu kelapa yang diulurkan Jayanta. “Terima kasih, Jayanta. Kamu selalu tahu cara membuat suasana tidak terlalu serius.”Jayanta duduk di atas akar pohon besar di dekat Karna, membuka salah satu kelapa dengan cekatan. Matanya berbinar penuh rasa ingin tahu. “Ngomong-ngomong, aku masih penasaran. Siapa orang itu? Yang bertarung denganmu waktu itu? Jujur saja, aku belum pernah melihat jurus sehebat itu sebelumnya!”Karna menatap Jayanta dengan tenang,
Karna terhuyung mundur, tubuhnya melemah seiring dengan darah yang mengalir dari sudut bibirnya. Bahkan luka dari menancap golok perampok itu terus mengalirjan darah juga. Racun dari golok itu mulai menyebar, mencengkeram tubuhnya seperti bara api yang membakar dari dalam. Pandangannya buram, namun nalurinya sebagai pendekar tetap terjaga. Dengan tangan gemetar, ia mengembalikan pedang ke dalam sarungnya, meski setiap gerakan terasa seperti menanggung beban gunung.Karna tersengal. "Aku… tak boleh jatuh... Tidak sekarang..."Namun tubuhnya tak lagi mampu bertahan. Lututnya menyerah, dan ia ambruk ke tanah dengan napas yang terputus-putus. Perampok itu, yang sebelumnya tersungkur, kini bangkit dengan mata penuh dendam. Ia menggenggam goloknya yang berlumuran darah, mengangkatnya tinggi-tinggi, dan bersiap menebas Karna yang tak berdaya.Rushali, yang sejak tadi berdiri terpaku dengan tubuh bergetar, merasakan dadanya seakan meledak. Ketakutan bercampur dengan tekad yang tiba-tiba memb
Bergegas Nyai membuatkan jamu dan obat oles untuk Karna. Nyai mencoba meminumkannya, tapi seperti waktu di hutan, Karna tidak mau membuka mulut sedikitpun. Nyai celingukan mencari Rushali. "Ibu, ada tamu mencarimu, sepertinya dia murid baru yang mau mendaftar, ia datang bersama orang tuanya" ucap Rushali. "Ohh ibu akan menememui mereka.. Hmm.. Rushali bantulah ibu, pria ini tidak bisa membuka mulutnya, kalau kau berhutang nyawa padanya, kau saja yang meminumkannya!" ucap Nyai Ruchi "Ibu saja tidak bisa, bagaimana aku mampu ibu?" tanya Rushali "Sudahlah Rushali, dia harus segera ditangani, jika terlambat, akan mengancam nyawanya!" Nyai Ruchi mencoba menjelaskan keadaan pasien mereka saat itu. "Pertama bersihkan dulu badan dan lukanya dengan air hangat, oleskan ramuan itu untuk luka di kulitnya, kemudian beri dia jamu ini dengan mulutmu, setelah itu ganti pakaiannya.” jelas Nyai Ruchi "Apa ibu? Haruskan aku melepas pakaiannya?, dan menggunakan bibirku untuk.. untuk.." Rushal
Buku itu bertuliskan: Cakra sangat berpengaruh terhadap energi seseorang. Dalam beberapa kasus, Cakra bisa rusak atau sengaja dirusak melalui sakramen tertentu. Sakit hati, kepahitan, dan penyakit hati lainnya dapat memperburuk penyumbatan sebuah Cakra, khususnya Cakra Jantung. Bahkan, Cakra tersebut dapat mati apabila tidak disembuhkan. Membuat orang yang mengalami kerusakan itu menjadi pribadi yang angkuh, tidak mengerti berterimakasih, pendendam, dan tidak berperasaan. Bahkan tidak akan pernah merasakan cinta. Dalam penyembuhan nya membutuhkan waktu yang tidak sebentar. Konon, hanya orang yang ditakdirkan semesta menjadi pasangannnya yang dapat menyembuhkannya Cakra tersebut. Penyembuhan yang tidak biasa melalui kontak fisik dan perasaan tulus yang sering disebut Cinta Sejati. ~~~~~~~~ Nyai dan Rushali saling berpandangan tidak percaya."Ibu, apakah kau memikirkan yang aku pikirkan? tanya Rushali sambil melongo. Nyai mengernyitkan kening, dan mengangguk dengan berat."Sep
Aula kerajaan yang megah berubah menjadi arena penuh ketegangan. Para bangsawan dan pejabat kerajaan duduk dalam keheningan yang canggung, sementara Raja Durwasa berusaha mempertahankan wibawanya dari singgasananya. Di tengah ruangan, berdiri Sisupala, adik Karna yang selama ini jarang menonjolkan dirinya di istana. Namun, kali ini ia berbicara dengan nada tajam yang mencerminkan ambisi dan keberaniannya.“Paduka Ayahanda,” kata Sisupala, membungkuk dengan formalitas, tetapi nada suaranya penuh sindiran, “izinkan anakanda menyampaikan kegelisahan yang sedang melanda hati rakyat kita.”Raja Durwasa mengangkat alis. “Bicara terus terang, Sisupala. Apa yang ingin kau sampaikan?”Sisupala menghela napas seolah-olah menanggung beban seluruh kerajaan. “Rakyat mulai bertanya-tanya, Paduka. Mengapa Pangeran Karna, kakanda kami yang diharapkan menjadi pewaris, justru membawa aib besar bagi keluarga ini? Tidak hanya melanggar aturan kompetisi, tetapi juga mencoreng nama baik Karmapura dengan ti
Malam itu, di ruang pertemuan kecil di istana, beberapa pejabat berkumpul dalam suasana tegang. Lilin-lilin di sudut ruangan memancarkan cahaya redup, cukup untuk menyoroti wajah-wajah penuh kekhawatiran. Perdana Menteri, Panglima, Pejabat-pejabat muda dan pemimpin batalyon berunding di ruangan Perdana Menteri. Perdana Menteri Danutra yang kini berdiri di tengah, menghela napas berat. “Kita semua tahu bahwa ini tidak seperti Karna. Sejak kecil, dia selalu memegang teguh kehormatan keluarga. Tapi…” Ia berhenti, suaranya melemah. “Bukti-bukti ini sulit untuk diabaikan.” Ksatria Panji yang adalah panglima muda Karmapura menyela, matanya menyipit curiga. “Bukti atau jebakan? Lambang itu terlalu mencolok. Jika benar dia yang melakukannya, mengapa meninggalkan sesuatu yang begitu mudah dikenali?” Para loyalis dan orang-orang yang sangat mengenali Pangeran Karna tetap tidak percaya akan berita-berita itu. Koin yang berlambang putra Mahkota itu. Jika memang Karna adalah dalang. Tidak m
“Awas Rushali!!” Karna bergegas menubruk Rushali supaya Rushali terhindarkan dari serangan makhluk itu.Duarr!!Api timbul di antara serpihan bebatuan yang meledak karena kekuatan makhluk itu yang berniat melukai Rushali.Entah mengapa, mahkluk itu membaca bahwa Rushali menganggu konsentrasi nya. Sasaran empuk, yang merupakan kelemahan Karna. Tapi niat makhluk itu bisa dihentikan.“Hoshh.. hosh.. !” Karna menarik nafas panjang, menatap tajam lawannya“Tak akan aku biarkan kau menyentuh Rushali walau sehelai rambut pun!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya, yang segera menyala dengan api biru.Dia kembali memasang badan, melindungi gadis manis yang setia bersamanya. Rushali memahami situasi yang ada. Dia kemudian mencari pohon atau apapun yang lebih besar dari tubuhnya untuk bersembunyi.Rushali memegang dadanya yang sesak, degup jantung yang memburu membuat nafasnya tersengal. Dibalik batu besar dirinya bersandar menyembunyikan tubuh mungilnya. Sambil menahan rasa khawatir akan Karna
Lorong itu membawa Karna ke sebuah ruang terbuka yang luar biasa. Di hadapannya terhampar sebuah kota yang bersinar, seolah-olah seluruhnya terbuat dari kristal bercahaya. Pilar-pilar tinggi berdiri menjulang dengan ukiran-ukiran kuno, sementara sungai-sungai cahaya mengalir di antara bangunan-bangunan yang tampak seperti fatamorgana.Namun, keindahan kota ini memiliki nuansa asing dan suram. Udara terasa berat, dan di kejauhan, Karna dapat mendengar suara langkah kaki makhluk yang bergerak di balik bayang-bayang.Karna: (berbisik pada dirinya sendiri) "Kota ini... apakah ini nyata? Atau hanya ilusi?"Dia melangkah perlahan, matanya awas terhadap gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, dari balik sebuah gerbang kuno, muncul makhluk-makhluk aneh. Ada yang memiliki tubuh menyerupai manusia dengan kepala hewan, ada pula yang tampak seperti bayangan hidup dengan mata bercahaya. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati Karna dengan rasa ingin tahu yang hampir mengintimidasi.Salah satu makhluk y
Di salah satu sisi, gerbang batu telah terbuka, memperlihatkan celah yang mengarah pada kegelapan tak berujung. Namun, dari balik celah itu, terdengar gemuruh berat, seperti langkah makhluk raksasa.Rushali memegang lengan Karna erat-erat."Apa kau mendengar itu? Dia menyebut namamu."Karna menatap celah dengan tenang, meski hatinya mulai waspada."Tetap di belakangku. Kita tidak tahu apa yang akan muncul."Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk besar dengan kulit keras menyerupai batu, matanya bersinar seperti bara api. Suaranya dalam dan menggema saat ia berbicara."Siapa yang berani melangkah ke tempat suci ini? Apa tujuan kalian?"Karna berdiri tegak, menyembunyikan identitasnya dengan sikap percaya diri."Kami hanyalah pengelana yang mencari jawaban atas misteri kuno. Tempat ini... dulunya milik seorang raja besar, bukan?"Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh longsoran."Raja besar? Dia adalah kehancuran. Tempat ini adalah sisa-sisa dari kebodohannya. Siapa kalian yang
Kepingan artefak di tangan Karna bersinar lembut, memancarkan cahaya biru keemasan yang seolah menembus kabut malam. Sorotan itu mengarah ke depan, memberikan petunjuk arah tanpa kata. Langkah-langkah Karna mantap namun sunyi, hanya ditemani oleh gemerisik tanah kering di bawah kakinya. Persimpangan demi persimpangan ia lewati, membiarkan cahaya artefak menjadi satu-satunya penuntun. Di tengah perjalanan, sesuatu mengusik pikirannya. Bukan hanya tentang keberadaan artefak berikutnya, tetapi juga soal perasaan bahwa ada seseorang yang mengamatinya. Ia melirik sekeliling, tetapi bayangan-bayangan hanya bergeming dalam kegelapan. Ketika ia sampai di sebuah bukit yang menjulang, cahaya dari artefak semakin terang. Karna mendongak, dan pandangannya tertuju pada sebuah gerbang besar yang setengah tertimbun oleh reruntuhan. Batu-batu besar yang menutupi sebagian gerbang itu dihiasi ukiran kuno, simbol-simbol yang tampak menceritakan kisah yang telah lama terlupakan. Namun, gerbang it
Karna duduk bersila di tengah pelataran Pura Gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, namun ia tetap diam, seperti patung batu yang tak tergoyahkan oleh waktu. Di tangannya, sebuah artefak kecil tergenggam erat—sebuah benda yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Artefak itu tampak sederhana pada pandangan pertama, potongan logam berbentuk abstrak dengan ukiran aksara kuno di tengahnya. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin berat beban yang ia rasakan, seolah benda itu mengandung rahasia yang bisa mengubah segalanya. "Rushali..." Nama itu tiba-tiba terlintas di benaknya, mengusik konsentrasinya yang hampir mencapai puncak meditasi. Karna membuka matanya perlahan, menatap artefak itu dengan tatapan yang campur aduk—antara rasa bersalah, keraguan, dan penyesalan. Ia mengingat saat terakhir mereka bersama, di hutan gunung Haridra. Rushali berdiri di hadapannya dengan wajah penuh harapan, memintanya untuk membiarkan dia ikut dalam perjalanan ini. Namun, dalam k
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?” Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu. Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!” Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!” Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka. “Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menai
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung