Masih dengan jubah yang menutupi kepalanya, Karna dengan percaya diri berada di depan gerbang timur Istana Karmapura.
Suasana di sekitar istana terlihat ramai dan pengamanannya benar-benar ketat. Pengawal dan prajurit terlihat di mana-mana. Jika biasanya mereka berpatroli dalam formasi dua orang, kini semua regu minimal memiliki empat orang. Melihat itu, Karna mengangguk-angguk dan terus menggenggam erat jubah yang ia pakai. Sebab, dia tidak ingin ketahuan sebelum bisa mendekati gerbang istana. Setelah berjalan beberapa langkah, Karna melihat sosok pamannya, Adipati Situmba yang berdiri di dekat gerbang. Dengan matanya yang tajam, pria itu mengamati setiap orang yang masuk dengan seksama. Tampaknya, Raja Durwasa memberi pamannya itu tugas untuk memastikan keamanan di bagian terluar istana. Wajah Adipati itu terus datar dan beberapa kali terlihat galak, apalagi saat beberapa orang ketahuan membawa berbagai senjata yang tak berhubungan dengan sayembara. Raut wajah pria itu kembali datar saat Karna berdiri di hadapannya. Dengan tegas dia menyuruh Karna untuk melepas jubah yang menyelimuti kepalanya. Saat Karna melakukannya, wajah Adipati Situmba langsung berubah penuh keterkejutan. “Karna! Apa yang kau lakukan disini?” “Aku ke sini untuk mengikuti sayembara itu, Paman.” tegas Karna membuat Paman Situmba mengernyitkan dahi. “Heh. Mengikuti sayembara? Apa mau mempermalukan diri sendiri?” Geli dan hasrat menghina masih tidak bisa tertahankan mendengar bahwa Karna ingin mengikuti sayembara. “Prajurit, seret dia menjauh dari barisan!!” Adipati Situmba berteriak kencang dan mengayunkan lengan. Melihat itu, dua prajurit yang awalnya berdiri di sekitar Adipati Situmba mulai bergerak cepat memegangi lengan kanan dan kiri Karna. Namun, baru sempat mereka menyentuh pundak Karna, keduanya telah lebih dulu jatuh ke tanah akibat sayatan pedang yang tiba-tiba menyasar mereka. Selanjutnya, mata elang yang tajam dan fokus dari Karna mampu memprediksi setiap serangan dari segala sisi, sehingga empat orang prajurit yang ikut turut berjatuhan dengan lengan tersayat. Melihat itu, Paman Situmba terkejut akan kekuatan keponakannya yang dikenal sebagai ‘manusia sampah’. Apalagi saat dirinya samar-samar merasakan tenaga dalam yang dimiliki Karna. ‘Bagaimana mungkin sekarang dia punya tenaga dalam?!’” Kemudian sang Paman menghunuskan pedangnya dan berkacak pinggang. “Sudah punya tenaga dalam rupanya, Karna? Lebih baik kamu menyerah saja. Sebab, meski kamu sudah punya tenaga dalam, tapi kekuatanmu masih terlalu kecil untuk bisa mengangkat Pedang Api!” Adipati Situmba masih saja ingin mengendurkan tekad Karna. “Apa hakmu dapat memerintahku?” “Jangan mendebatku!! Kau sudah diharamkan untuk menginjakkan kakimu di kerajaan ini, walau selangkah saja!” ujar Adipati Situmba yang terus berusaha menjegalnya. Tanpa menghiraukan ocehan pamannya itu, Karna tetap melangkah dengan percaya diri menuju gerbang utama. Melihat itu, Adipati Situmba menggertakkan giginya dengan kesal dan hendak mengejar Karna. Namun, saat baru saja dia hendak melangkah, sosok Karna telah lebih dulu menghilang dari lokasi. Debu-debu berterbangan mengiringi kepergian Karna tanpa jejak. “Sial! Kemana perginya dia?! Bisa gawat kalau dia masuk dan kembali ke Kerajaan ini. Itu pasti akan sangat mengancam takhta yang seharusnya menjadi milik Sisupala!!” Pertarungan antara mereka berdua membuat Paman Situmba geram. Baru menampakkan diri saja, bisa membuat Sang Paman terancam. Di sisi lain, Raja Durwasa yang sedang bersiap untuk memimpin dimulainya acara besar terganggu dengan datangnya seorang prajurit dengan terengah-engah. “Salam Raja, di gerbang timur terjadi keributan. Sebab, Pangeran Karna berusaha memasuki istana. Saat bertarung, dia berhasil mengecoh Adipati Situmba dan mengalahkan semua pengawal.” “Apa?? Dia bisa mengecoh Situmba dan mengalahkan pengawalku? Untuk apa dia kembali ke istana?” tanya Raja Durwasa. “Benar, Tuanku Raja! Dia berkata akan mengikuti sayembara hari ini.” kata pengawal itu “Pergi dan amankan segala tempat. Jangan sampai Karna kembali dan memasuki stadium ini. Mengerti?!” Perkataan dari Raja membuat pengawal itu menunduk hormat dan langsung membuat pengamanan ganda untuk pintu-pintu masuk. Raja Durwasa yang mendengar aduan dari Pengawal mulai gelisah dan menerka-nerka tujuan Karna kembali. “Apa yang sebenarnya terjadi? Untuk apa anak itu kembali? Jangan-jangan, ramalan itu benar.”Waktu dimulainya sayembara pengangkatan pedang api telah tiba.Sambil bersembunyi dari para prajurit yang mengejarnya, Karna berdiri di balik patung yang berada tepat di atas balkon stadium. Masih dengan jubah yang menutupi kepalanya, Karna mengamati sayembara dengan tatapannya yang mengobservasi.Suara dari pukulan gong dan sorak-sorai semua orang memenuhi sebuah stadium yang megah—sengaja dibuat untuk acara sayembara Pedang Agni Narakastra hari ini. Sang Raja menganggukkan kepala, seketika sorak itu berhenti.“Diberkatilah semua! Aku menyambut para pangeran dan pendekar sekalian yang telah menghadiri sebuah kompetisi didalam sayembara ini. Apabila kalian merasa mampu silahkan tunjukkan kemampuan kalian!!” Raja Durwasa berkata dengan penuh wibawa.“Namun, jangan berpikir untuk melakukan kecurangan, karena Pedang Api sama sekali tak mentolerir kelemahan dalam segi apa pun. Apabila kalian tidak layak, maka bersiaplah untuk mendapatkan siksaan yang menyakitkan sebagai efek samping mem
Karna memegang pedang yang berapi itu dan mengalirkan tenaga dalamnya. Sedetik kemudian, pedang api itu padam dan seruan kaget langsung terdengar di sekitarnya. “Bagaimana bisa?!” “Apa yang terjadi?! Pangeran sampah itu bisa mengangkatnya?!” Hiruk pikuk yang heboh itu membuat Karna berjalan penuh percaya diri ke arah pohon yang harus ia tebas. Langkahnya stabil, dan pedang itu terasa ringan. Setelah berada di jarak yang dirasa cukup, Karna menatap pohon raksasa itu dan melakukan kuda-kuda. Kemudian, dalam satu kali ayunan yang disertai dengan teriakan, pedang Agni itu mengeluarkan tali api yang langsung menghanguskan pohon menjadi abu. Kerumunan terdiam dan semua orang benar-benar tercengang. Termasuk Raja Durwasa dan Pangeran Sisupala yang menatap dari kejauhan. Tidak ada satupun yang dapat menyangka bahwa pedang telah memilih Karna, pangeran terbuang yang lahir tanpa sedikitpun tenaga dalam!! Dari sekian ratus peserta yang unjuk kemampuan, ternyata hanya dirinyalah
‘Sudah sangat jelas sekarang, masa depan Karmapura ada ditangannya. Bila aku tidak memihakknya maka aku akan tersisih oleh waktu!’Takut, kagum, dan heran adalah perasaan rumit yang di rasakan oleh orang-orang saat ini. Cahaya emas yang menyilaukan itu membuat bagaikan pertunjukan sulap yang menyihir siapapun yang melihatnya.Ketika ingin melepaskan serangan balik yang mematikan, Karna mengurungkannya kembali, karena teringat oleh perkataan Ki Pawitra sebelum mereka berpisah.“Aku tidak akan menghukum kalian sekarang, karena masaku belum tiba. Namun saat aku sudah naik tahta, aku akan menghukum siapapun gang bersalah!” Usai mengatakan itu, tubuh emas yang dinaungi oleh Ki Pawitra yang menitipkan sebuah pesan itu, sekarang mulai tersadar dan tubuh manusia kembali. Lemas dan kehilangan keseimbangan karena tenaga dalam yang sudah menipis. Karna hampir saja mendarat dengan keras, namun Guru Seta berhasil menangkapnya supaya mendarat dengan selamat. Dalam keadaan setengah sadar, Guru Se
Adipati Situmba kemudian memanggil pelayan, dan menyuruhnya untuk memasukkan itu ke dalam makanan dan minuman Pangeran Karna sebelum pergi berperang. Keesokan harinya dimana sebentar lagi Pasukan besar Karmapura dibawah pimpinan Pangeran Karna pun sudah melakukan persiapan.Dia pemberkatan sebelum berangkat bertempur pun dimulai. Pangeran Sisupala dan Pangeran Karna meminta doa restu kepada ibunya, Bunda Ratu Maharani.Namun saat Karna meminta Restu. Bunda Ratu merespon dengan mengacuhkan dan tidak mau memandangnya. Seakan tidak mau merestui kepergian Karna.Namun hal itu tidak dihiraukan olehnya dan melakukan sesinterakhir pemberkatan itu, yaitu tradisi memakan kue kelapa. Dalam tradisi sebelum berperang kue kelapa adalah lambang doa dan restu yang Maha kuasa agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Dari kejauhan Pangeran Sisupala menghampiri Pamannya, Adipati Situmba dan berkata,“Paman, sudah kah kau pastikan kalau nanti Karna akan memakan kue beracun itu!” “Jangan khaw
Radya Setra adalah tanah perbatasan yang sangat lapang, dimana sering menjadi lokasi peperangan. Sebagian tanah itu berwarna merah karena darah yang tertumpah saat peperangan.Segelintir pasukan dan orang yang percaya padanya pun berperang dengan jumlah yang kalah banyak dengan Singowulan. Mereka memiliki prajurit enam belas batalyon atau enam belas ribu prajurit. Sedangkan Kerajaan Karmapura hanya tiga belas batalyon atau tiga belas ribu prajurit. Namun kalah jumlah tidak membuat Panglima Karna gentar.Pasukan berkuda, tombak, dan panah dari kedua belah pihak sudah berbaris rapi. Di barisan pasukan Karmapura yang pimpin oleh Panglima Karna telah siap di belakang pasukan terdepan. Sedangkan Sang Raja berada di tengah paling belakang.Dari kejauhan, kubu Kerajaan Wiryata pun menyadari bahwa Pangeran Karna yang lemah menjadi Panglima Perang. Hal itu sontak membuat Panglima mereka tertawa meremehkan, mengenai apa yang mereka lihat.“Apakah Kerajaan Karmapura tidak mempunyai orang lain ya
Pasukan Karmapura Radya telah membawa kemenangan dibawah pimpinan Pangeran Karna. Hal tersebut telah mencelikkan mata orang-orang, yang telah meremehkannya. Dan berubah menjadi kebanggan akan kemampuan Pangeran Karna yang telah melumpuhkan Raja Wirya dan memecahkan ilusi Raja Wirya itu. Yang sebelumnya belum pernah ada yang berhasil memecahkannya. Kini, telah menjadi bukti yang tidak terelakkan.Di lorong menuju Ruang Sidang Istana, Raja Wirya yang terikat berusaha memberontak. Permintaan yang ingin Raja itu lontarkan tidak mau didengar oleh Karna. “Maafkan aku, sekarang engkau adalah tawanan Kerajaan kami. Menyerah saja janganlah memperkeruh suasana dengan permintaanmu itu!!” Karna mendorong kecil sang Raja agar berjalan lebih cepat.“Salam Ayahanda.. lihatlah.. anakmu ini sudah melaksanakan sumpahnya. Dan membawa Raja Wirya ke hadapanmu Ayah.” Setibanya Karna didalam ruang sidang, Karna memberi salam dan disambut meriah semua orang yang melontarkan pujian kepadanya.“Kami semua ti
“Kau pasti akan menderita saat ingin bersatu dengan wanitamu nanti!!” Kutukan itu menggema di seluruh ruangan. Walaupun sepertinya terdengar kejam. Didalam benak Karna tidak ada derita apapun yang akan menghalanginya. Keyakinan itu membuat dirinya tidak menghiraukan kutukan dari Sang Putri. “Beraninya kau mengutuk anggota Kerajaan. Sungguh tidak bermoral. Bawa dia ke bilik penyesalan selama tujuh hari!!” Raja Durwasa yang memerintah langsung direspon oleh prajurit di dalam ruang sidang dan membawa Sang Putri ke dalam Bilik Penyesalan. Sebuah bilik yang memang dihuni oleh orang-orang yang telah lalai dan melakukan kesalahan. *** “Pedang Agni.. kau telah berjasa kepadaku! Terimakasih!” Pangeran Karna menyadari akan jasa pedang pusakanya. Tidak bisa dibayangkan apabila dirinya tidak mendapat pertolongan dari pedang pusaka untuk menunaikan sumpahnya. Pastilah dia akan bernasib sama dengan Sisupala “Pangeran.. itu semua sudah menjadi tugasku.. Siapa wanita itu.. dia beran
Pagi hari yang cerah nampak semua orang gembira menyambut Pangeran Karna di pasar. Pangeran Karna bermaksud membagikan beberapa koin emas kepada semua pedagang itu. Bagaimanapun kutukan yang pernah terlontar sangat menggangu kesehariannya. Berharap dengan acara amal ini. Mampu mengurangi karma buruknya. “Terimakasih Pangeran.. engkau sangat dermawan.. sifatmu tidak seperti yang aku dengar lima tahun lalu. Dan engkau patut menjadi Putra Mahkota!” Perkataan dari seorang pedagang itu disambut hangat pedagang yang lain, seakan setuju. Kegembiraan semua orang terlihat jelas dilihat oleh seorang berjubah hitam, di balik bangunan lumbung padi. “Yang kau harus lakukan adalah membuat sebuah berita kalau Karna tidak normal. Paham?” Adipati Situmba sedang berbisik kepada tiga orang pria di sudut pasar. Dengan menggunakan jubah, Adipati Situmba menutupi diri supaya aman dalam melancarkan konspirasinya. Adipati lantas memberikan sekantung uang perak yang kemudian di sambut gembira ole
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?”Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu.Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!”Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!”Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka.“Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menaiki Gunung ini
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung
Malam itu, kabut tipis turun menyelimuti hutan di kaki gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, menciptakan suasana yang sunyi dan mistis.Di dalam sebuah ceruk kecil, altar batu kuno berdiri dengan sederhana, nyaris tersembunyi di antara akar pepohonan yang menjalar. Sebuah tempat berteduh yang Karna dirikan di sebelah altar itu, Rushali termenung melihat Pedang itu. Di atas altar itu, sebuah pedang berkilau dengan nyala api kemerahan tampak hidup, berpendar redup seperti jantung yang berdetak. Pedang itu bukan pedang biasa—ia adalah Pedang Api, pusaka legendaris yang menyimpan kekuatan luar biasa, dan sekarang berada dalam penjagaan Rushali.Rushali berdiri di sana, tubuhnya tampak kecil di antara bayangan pohon-pohon raksasa. Cahaya lembut dari pedang menyinari wajahnya yang penuh rasa khawatir dan keraguan. Suara Karna—atau Arjuna, seperti yang ia kenal sekarang—masih menggema di benaknya."Rushali, aku harus pergi bermeditasi. Tiga hari kedepan aku akan meninggalkanmu. Jag
Pagi itu, aula utama Akademi Kanuragan dipenuhi dengan antusiasme yang tegang. Hari ujian kelulusan kelas penyelidikan telah tiba, momen yang akan menentukan kemampuan setiap murid untuk menyelesaikan misi nyata. Para murid, termasuk Rushali, berdiri dalam barisan rapi, menunggu giliran untuk mengambil gulungan misi mereka dari sebuah kotak kayu tua yang dihias ukiran rumit. Di tengah suasana itu, Rushali merasakan campuran kegugupan dan semangat. Tiga bulan berlalu dengan penuh latihan keras dan pembelajaran mendalam. Dari seorang gadis yang merasa tak berdaya, ia kini berdiri dengan penuh keyakinan, siap menghadapi tantangan apa pun. “Rushali,” panggil Tumenggung Arya, suaranya tegas dan menggetarkan. Rushali melangkah maju, menarik napas dalam-dalam sebelum memasukkan tangannya ke dalam kotak. Jari-jarinya menyentuh gulungan yang terasa hangat, seolah-olah telah menunggu untuk dipilih olehnya. Dengan hati-hati, ia menarik gulungan itu keluar, membuka kertasnya perlahan, dan mu
Rushali duduk di bawah pohon beringin besar di halaman belakang rumahnya, memandangi dedaunan yang bergoyang diterpa angin. Kepergian Karna yang tiba-tiba meninggalkan kehampaan dalam hatinya. Meski ia paham betapa pentingnya misi yang diemban Karna, tetap saja rasa khawatir dan kesepian itu menyelimuti dirinya.Ia menggenggam sehelai kain kecil—potongan dari selendang yang pernah Karna gunakan saat melindunginya dari dingin. Tanpa sadar, ia mengelus kain itu, mencoba menenangkan dirinya. Namun, pikirannya terus berputar.Rushali mendesah resah“Apakah dia baik-baik saja? Apa dia terluka? Apa aku egois karena ingin dia tetap di sini?” pikir Rushali, matanya mulai berkaca-kaca.Langkah kaki mendekat, dan suara riang yang sudah akrab terdengar. Jayanta muncul dengan senyumnya yang selalu membawa sedikit keceriaan di tengah kesedihan.“Rushali,” panggil Jayanta, suaranya lembut tapi penuh semangat.Rushali menoleh, mencoba menyembunyikan air mata yang hampir jatuh. “Oh, Jayanta. Ada apa?”
Karna berdiri di teras yang berpagar di rumah Panggung Pak Tandri, menatap jauh ke arah selatan. Matahari yang terbenam menciptakan siluet pegunungan di cakrawala. Angin yang lembut mengelus wajahnya, tetapi ketenangan yang dirasakan oleh rakyat Pinang Selatan, tidak dapat menembus gundah yang meliputi hatinya. Sudah beberapa bulan sejak ia berhasil menghancurkan sekte Bayang Niraka, tetapi rasa damai itu terasa hampa, seperti awan gelap yang enggan pergi sepenuhnya. Sesuatu masih mengintai. Tiba-tiba, pintu kayu di belakangnya terbuka perlahan. Jayanta, sahabat setianya, melangkah masuk sambil membawa sepoci teh hangat. Senyum riangnya seperti biasa memecah keheningan. “Pendekar, kau melamun lagi,” kata Jayanta sambil menuangkan teh ke dalam cangkir. “Jika kau terus seperti ini, aku khawatir kau akan berubah jadi patung yang termenung di teras! Dan seperti yang orang banyak katakan, lebih baik kau terima saja tawaran para penduduk untuk menjadi pemimpin Arjuna!” Karna menunduk
Pangeran Karna, yang kini menyamar sebagai Arjuna, berdiri di depan tungku pandai besi yang masih mengepulkan asap panas. Tangan kasarnya mengangkat bilah tajam yang baru selesai ditempa—karya terakhirnya hari itu di gubuk sederhana milik Pak Tandri. Cahaya siang memantulkan kilauan halus pada logam yang masih merah karena panas, dan ia merasa puas melihat hasil jerih payahnya. “Pekerjaanmu makin rapi, Nak Arjuna,” puji Pak Tandri sambil mengusap peluh di dahinya. “Jika kau bertahan lebih lama di sini, aku yakin kau bisa menjadi pandai besi yang andal.” Karna hanya tersenyum samar. Pujian itu menghangatkan hatinya, meski ia tahu dirinya tak mungkin menetap selamanya. “Terima kasih, Pak Tandri. Aku hanya belajar dari kearifan yang kau ajarkan.” Setelah menyerahkan bilah itu pada Pak Tandri, Karna membersihkan dirinya di sumur kecil di belakang gubuk. Di sana, ia menemukan Jayanta sudah menunggunya, duduk dengan santai di atas batu besar sambil mengunyah ketela bakar. “Kau lambat