Karna memegang pedang yang berapi itu dan mengalirkan tenaga dalamnya. Sedetik kemudian, pedang api itu padam dan seruan kaget langsung terdengar di sekitarnya.
“Bagaimana bisa?!” “Apa yang terjadi?! Pangeran sampah itu bisa mengangkatnya?!” Hiruk pikuk yang heboh itu membuat Karna berjalan penuh percaya diri ke arah pohon yang harus ia tebas. Langkahnya stabil, dan pedang itu terasa ringan. Setelah berada di jarak yang dirasa cukup, Karna menatap pohon raksasa itu dan melakukan kuda-kuda. Kemudian, dalam satu kali ayunan yang disertai dengan teriakan, pedang Agni itu mengeluarkan tali api yang langsung menghanguskan pohon menjadi abu. Kerumunan terdiam dan semua orang benar-benar tercengang. Termasuk Raja Durwasa dan Pangeran Sisupala yang menatap dari kejauhan. Tidak ada satupun yang dapat menyangka bahwa pedang telah memilih Karna, pangeran terbuang yang lahir tanpa sedikitpun tenaga dalam!! Dari sekian ratus peserta yang unjuk kemampuan, ternyata hanya dirinyalah yang bisa menaklukan tantangan sayembara ini. Pangeran lemah yang selama ini dianggap sebelah mata, telah menunjukkan siapa dirinya yang sesungguhnya. “Curang! Itu pasti sihir!!” Pangeran Sisupala mulai memfitnah Karna. “Bagaimana mungkin?! Ini sulit diterima, Tuanku Raja!” ucap Adipati Situmba. Pangeran Sisupala merasa terhina karena dia sudah dikalahkan oleh kakaknya yang selalu ia anggap lemah. “Ayahanda, kamu mengetahui dengan pasti bagaimana rekam jejak Pangeran Karna selama ini. Tidak mungkin dia berhasil dipilih oleh Pedang Api!” Pangeran Sisupala menunjukkan sikap tidak suka. Sebelum Raja Durwasa sempat bereaksi, suara dari sampingnya membuat dia terdiam. “Tuanku Raja, jangan terpengaruh. Saat ini, kredibilitas Tuanku Raja sedang dipertaruhkan. Di acara terbuka ini, semua orang menjadi saksi. Menurut peraturan, Pangeran Karna memang harus dinyatakan sebagai pemenang.” Perdana Menteri memberi saran. Dengan berat hati, sang Raja mengiyakan. “Baiklah. Karena Pedang Agni telah memilih, dan Pangeran Karna pun sudah bisa membuktikannya, maka pemenang sayembara ini adalah Pangeran Karna!! Dia adalah ksatria terkuat dan berhak mewarisi pedang Agni Narakastra!” ucap Perdana Menteri. Namun, di tengah sorak-sorai yang Karna terima, sekelompok ksatria maju dan menghadangnya di tengah lapangan. “Semua ksatria disini merasa terhina akan keputusan dari sayembara ini!” seorang kesatria menunjukkan keberatan. “Menurut kami, sayembara ini memang ditujukan untuk mempermalukan semua pendekar dan Pangeran. Sayembara ini juga telah memakan korban yang terluka. Sekarang kekuatan kita telah dikalahkan oleh Keluarga Kerajaan yang tidak jelas seperti Dia..!” Oleh karena itu, tanpa aba-aba sekelompok ksatria itu menyerang Pangeran Karna dengan menghunuskan senjata mereka. Pertarungan dan keributan pun sudah tidak terelakkan lagi. Namun, dengan sigap Karna menangkis setiap serangan mereka hingga membuat semua orang semakin terkejut. Dalam satu gerakan, Pangeran Karna menancapkan pedang Agni ke tanah dan menyebabkan sebuah gelombang yang kuat menggulung bagaikan ombak. Para ksatria itu pun hanyut terhempas oleh dahsyatnya Pedang Agni Narakastra. Bahkan retakan dari tancapan pedang semakin membesar hingga membelah kerumunan. Semua orang panik dan segera berlari ke sisi yang lain. Pangeran Karna kemudian terbang dan melayang di udara. Sebuah cahaya emas muncul dan membuat sebuah simpul yang mengelilingi Karna. Saat itu lah, tubuh emas Karna muncul dan disaksikan secara pertama kali oleh orang lain. Kejadian langka itu menandakan bahwa sekarang Karna bukan orang biasa. “Kita patut waspada, dia bukan orang biasa!!” Guru Seta yang mempunyai indera keenam mengamati sekali lagi Karna yang membumbung di atas itu. Wujud leluhur yang menampakkan diri kepada Guru Seta pun semakin membuat terkejut. ‘Tuan Karysan Pawitra? Ternyata, dia lah yang selama ini menurunkan kehebatannya dan ilmu kepada Karna!’ ucap Guru Seta dengan lirih sampai tak ada orang yang mendengar. Pengetahuan akan penglihatannya hanya akan menjadi rahasianya seorang. Di dalam lamunannya Guru Seta memejamkan mata. Kemudian dengan jelas dirinya melihat Ki Pawitra menemuinya di alam bawah sadar. Di dalam alam bawah sadar Ki Pawitra berkomunikasi dan mengingatkan akan sumpah setianya. “Jangan lupa Seta, dia bukan orang lemah! Inilah saatnya seta, sumpahmu harus kau tepati! Guru Seta tersadar kembali dan kembali melihat Karna yang masih berada di atas dalam wujud tubuh emas. Sebuah sumpah yang telah Guru Seta ikrarkan bahwa dirinya akan mengabdikan diri kepada Raja dan keturunan yang mewarisi pedang itu. Saat ini adalah saat tepat untuk melakukannya. Apalagi Guru Seta menyesal karena selama ini dirinya telah memandang Pangeran Karna sebelah mata seperti orang lain. “Karna adalah titisan..?” Bersambung‘Sudah sangat jelas sekarang, masa depan Karmapura ada ditangannya. Bila aku tidak memihakknya maka aku akan tersisih oleh waktu!’Takut, kagum, dan heran adalah perasaan rumit yang di rasakan oleh orang-orang saat ini. Cahaya emas yang menyilaukan itu membuat bagaikan pertunjukan sulap yang menyihir siapapun yang melihatnya.Ketika ingin melepaskan serangan balik yang mematikan, Karna mengurungkannya kembali, karena teringat oleh perkataan Ki Pawitra sebelum mereka berpisah.“Aku tidak akan menghukum kalian sekarang, karena masaku belum tiba. Namun saat aku sudah naik tahta, aku akan menghukum siapapun gang bersalah!” Usai mengatakan itu, tubuh emas yang dinaungi oleh Ki Pawitra yang menitipkan sebuah pesan itu, sekarang mulai tersadar dan tubuh manusia kembali. Lemas dan kehilangan keseimbangan karena tenaga dalam yang sudah menipis. Karna hampir saja mendarat dengan keras, namun Guru Seta berhasil menangkapnya supaya mendarat dengan selamat. Dalam keadaan setengah sadar, Guru Se
Adipati Situmba kemudian memanggil pelayan, dan menyuruhnya untuk memasukkan itu ke dalam makanan dan minuman Pangeran Karna sebelum pergi berperang. Keesokan harinya dimana sebentar lagi Pasukan besar Karmapura dibawah pimpinan Pangeran Karna pun sudah melakukan persiapan.Dia pemberkatan sebelum berangkat bertempur pun dimulai. Pangeran Sisupala dan Pangeran Karna meminta doa restu kepada ibunya, Bunda Ratu Maharani.Namun saat Karna meminta Restu. Bunda Ratu merespon dengan mengacuhkan dan tidak mau memandangnya. Seakan tidak mau merestui kepergian Karna.Namun hal itu tidak dihiraukan olehnya dan melakukan sesinterakhir pemberkatan itu, yaitu tradisi memakan kue kelapa. Dalam tradisi sebelum berperang kue kelapa adalah lambang doa dan restu yang Maha kuasa agar mendapatkan keselamatan dan kemenangan. Dari kejauhan Pangeran Sisupala menghampiri Pamannya, Adipati Situmba dan berkata,“Paman, sudah kah kau pastikan kalau nanti Karna akan memakan kue beracun itu!” “Jangan khaw
Radya Setra adalah tanah perbatasan yang sangat lapang, dimana sering menjadi lokasi peperangan. Sebagian tanah itu berwarna merah karena darah yang tertumpah saat peperangan.Segelintir pasukan dan orang yang percaya padanya pun berperang dengan jumlah yang kalah banyak dengan Singowulan. Mereka memiliki prajurit enam belas batalyon atau enam belas ribu prajurit. Sedangkan Kerajaan Karmapura hanya tiga belas batalyon atau tiga belas ribu prajurit. Namun kalah jumlah tidak membuat Panglima Karna gentar.Pasukan berkuda, tombak, dan panah dari kedua belah pihak sudah berbaris rapi. Di barisan pasukan Karmapura yang pimpin oleh Panglima Karna telah siap di belakang pasukan terdepan. Sedangkan Sang Raja berada di tengah paling belakang.Dari kejauhan, kubu Kerajaan Wiryata pun menyadari bahwa Pangeran Karna yang lemah menjadi Panglima Perang. Hal itu sontak membuat Panglima mereka tertawa meremehkan, mengenai apa yang mereka lihat.“Apakah Kerajaan Karmapura tidak mempunyai orang lain ya
Pasukan Karmapura Radya telah membawa kemenangan dibawah pimpinan Pangeran Karna. Hal tersebut telah mencelikkan mata orang-orang, yang telah meremehkannya. Dan berubah menjadi kebanggan akan kemampuan Pangeran Karna yang telah melumpuhkan Raja Wirya dan memecahkan ilusi Raja Wirya itu. Yang sebelumnya belum pernah ada yang berhasil memecahkannya. Kini, telah menjadi bukti yang tidak terelakkan.Di lorong menuju Ruang Sidang Istana, Raja Wirya yang terikat berusaha memberontak. Permintaan yang ingin Raja itu lontarkan tidak mau didengar oleh Karna. “Maafkan aku, sekarang engkau adalah tawanan Kerajaan kami. Menyerah saja janganlah memperkeruh suasana dengan permintaanmu itu!!” Karna mendorong kecil sang Raja agar berjalan lebih cepat.“Salam Ayahanda.. lihatlah.. anakmu ini sudah melaksanakan sumpahnya. Dan membawa Raja Wirya ke hadapanmu Ayah.” Setibanya Karna didalam ruang sidang, Karna memberi salam dan disambut meriah semua orang yang melontarkan pujian kepadanya.“Kami semua ti
“Kau pasti akan menderita saat ingin bersatu dengan wanitamu nanti!!” Kutukan itu menggema di seluruh ruangan. Walaupun sepertinya terdengar kejam. Didalam benak Karna tidak ada derita apapun yang akan menghalanginya. Keyakinan itu membuat dirinya tidak menghiraukan kutukan dari Sang Putri. “Beraninya kau mengutuk anggota Kerajaan. Sungguh tidak bermoral. Bawa dia ke bilik penyesalan selama tujuh hari!!” Raja Durwasa yang memerintah langsung direspon oleh prajurit di dalam ruang sidang dan membawa Sang Putri ke dalam Bilik Penyesalan. Sebuah bilik yang memang dihuni oleh orang-orang yang telah lalai dan melakukan kesalahan. *** “Pedang Agni.. kau telah berjasa kepadaku! Terimakasih!” Pangeran Karna menyadari akan jasa pedang pusakanya. Tidak bisa dibayangkan apabila dirinya tidak mendapat pertolongan dari pedang pusaka untuk menunaikan sumpahnya. Pastilah dia akan bernasib sama dengan Sisupala “Pangeran.. itu semua sudah menjadi tugasku.. Siapa wanita itu.. dia beran
Pagi hari yang cerah nampak semua orang gembira menyambut Pangeran Karna di pasar. Pangeran Karna bermaksud membagikan beberapa koin emas kepada semua pedagang itu. Bagaimanapun kutukan yang pernah terlontar sangat menggangu kesehariannya. Berharap dengan acara amal ini. Mampu mengurangi karma buruknya. “Terimakasih Pangeran.. engkau sangat dermawan.. sifatmu tidak seperti yang aku dengar lima tahun lalu. Dan engkau patut menjadi Putra Mahkota!” Perkataan dari seorang pedagang itu disambut hangat pedagang yang lain, seakan setuju. Kegembiraan semua orang terlihat jelas dilihat oleh seorang berjubah hitam, di balik bangunan lumbung padi. “Yang kau harus lakukan adalah membuat sebuah berita kalau Karna tidak normal. Paham?” Adipati Situmba sedang berbisik kepada tiga orang pria di sudut pasar. Dengan menggunakan jubah, Adipati Situmba menutupi diri supaya aman dalam melancarkan konspirasinya. Adipati lantas memberikan sekantung uang perak yang kemudian di sambut gembira ole
Pangeran Karna mengumpulkan keberanian kemudian membuka pintunya.“Perdana Menteri?”Dirinya sangat lega namun juga bertanya- tanya melihat Perdana Menteri mengunjunginya.“Pangeran, bagaimana perburuan mu?”Perdana menteri dengan senyum ramahnya membuat Pangeran Karna reflek mempersilahkan masuk. Kemudian Karna langsung menutupnya kembali.“Apa maksud kedatangan Perdana Menteri mengunjungi saya di tengah malam seperti ini?” tanya Pangeran Karna sambil menuangkan anggur di gelas Perdana Menteri.Pangeran Karna menyuguhkan satu teko anggur untuk mereka minum bersama.“Aku mencium bau konspirasi yang mengarah padamu Pangeran, seseorang atau bahkan lebih berencana merusak reputasi mu!” ucap Sang Perdana Dengan penuh wibawa dan ketenangan, Pangeran Karna berkata,”Aku mengetahuinya, hal ini tepat terjadi setelah Ayahanda berencana mengangkatku sebagai Putra Mahkota.”“Apa rencana mu Pangeran?”Pangeran Karna meneguk anggurnya dan berkata,”Seseorang telah aku utus untuk membantuku mencari
Ruangan gempar mendengar tuduhan itu. Karna berdiri dari kursinya, menatap Sisupala dengan mata tajam penuh kemarahan. Namun, sebelum ia sempat berbicara, Sisupala melanjutkan.“Kakakku, Pangeran Karna, adalah seorang yang sangat cerdik. Bukankah ini cara yang sempurna untuk membungkamku? Dengan mengarang bukti, ia bisa menyingkirkan satu-satunya orang yang berani mempertanyakan kelayakannya menjadi putra mahkota.”Dewan mulai berbisik-bisik, terpecah antara mempercayai bukti yang jelas atau terjebak oleh retorika licik Sisupala. Salah satu penasihat tua, Perdana Menteri Danutra, berdiri untuk menenangkan kerumunan. “Sisupala, jika kau menyangkal, maka katakan dengan jelas—bagaimana surat-surat ini bisa berada di ruang pribadimu? Dan mengapa isinya cocok dengan gosip yang tersebar luas?”Sisupala menarik napas dalam-dalam, wajahnya berusaha menampilkan keyakinan. “Mungkin seseorang telah menjebakku. Aku tidak tahu siapa yang menaruh surat-surat itu di ruanganku, tetapi aku yakin ini a
“Awas Rushali!!” Karna bergegas menubruk Rushali supaya Rushali terhindarkan dari serangan makhluk itu.Duarr!!Api timbul di antara serpihan bebatuan yang meledak karena kekuatan makhluk itu yang berniat melukai Rushali.Entah mengapa, mahkluk itu membaca bahwa Rushali menganggu konsentrasi nya. Sasaran empuk, yang merupakan kelemahan Karna. Tapi niat makhluk itu bisa dihentikan.“Hoshh.. hosh.. !” Karna menarik nafas panjang, menatap tajam lawannya“Tak akan aku biarkan kau menyentuh Rushali walau sehelai rambut pun!” ujarnya sambil mengangkat pedangnya, yang segera menyala dengan api biru.Dia kembali memasang badan, melindungi gadis manis yang setia bersamanya. Rushali memahami situasi yang ada. Dia kemudian mencari pohon atau apapun yang lebih besar dari tubuhnya untuk bersembunyi.Rushali memegang dadanya yang sesak, degup jantung yang memburu membuat nafasnya tersengal. Dibalik batu besar dirinya bersandar menyembunyikan tubuh mungilnya. Sambil menahan rasa khawatir akan Karna
Lorong itu membawa Karna ke sebuah ruang terbuka yang luar biasa. Di hadapannya terhampar sebuah kota yang bersinar, seolah-olah seluruhnya terbuat dari kristal bercahaya. Pilar-pilar tinggi berdiri menjulang dengan ukiran-ukiran kuno, sementara sungai-sungai cahaya mengalir di antara bangunan-bangunan yang tampak seperti fatamorgana.Namun, keindahan kota ini memiliki nuansa asing dan suram. Udara terasa berat, dan di kejauhan, Karna dapat mendengar suara langkah kaki makhluk yang bergerak di balik bayang-bayang.Karna: (berbisik pada dirinya sendiri) "Kota ini... apakah ini nyata? Atau hanya ilusi?"Dia melangkah perlahan, matanya awas terhadap gerakan di sekitarnya. Tiba-tiba, dari balik sebuah gerbang kuno, muncul makhluk-makhluk aneh. Ada yang memiliki tubuh menyerupai manusia dengan kepala hewan, ada pula yang tampak seperti bayangan hidup dengan mata bercahaya. Mereka tidak menyerang, tetapi mengamati Karna dengan rasa ingin tahu yang hampir mengintimidasi.Salah satu makhluk y
Di salah satu sisi, gerbang batu telah terbuka, memperlihatkan celah yang mengarah pada kegelapan tak berujung. Namun, dari balik celah itu, terdengar gemuruh berat, seperti langkah makhluk raksasa.Rushali memegang lengan Karna erat-erat."Apa kau mendengar itu? Dia menyebut namamu."Karna menatap celah dengan tenang, meski hatinya mulai waspada."Tetap di belakangku. Kita tidak tahu apa yang akan muncul."Dari kegelapan, muncul sesosok makhluk besar dengan kulit keras menyerupai batu, matanya bersinar seperti bara api. Suaranya dalam dan menggema saat ia berbicara."Siapa yang berani melangkah ke tempat suci ini? Apa tujuan kalian?"Karna berdiri tegak, menyembunyikan identitasnya dengan sikap percaya diri."Kami hanyalah pengelana yang mencari jawaban atas misteri kuno. Tempat ini... dulunya milik seorang raja besar, bukan?"Makhluk itu menggeram, suaranya seperti gemuruh longsoran."Raja besar? Dia adalah kehancuran. Tempat ini adalah sisa-sisa dari kebodohannya. Siapa kalian yang
Kepingan artefak di tangan Karna bersinar lembut, memancarkan cahaya biru keemasan yang seolah menembus kabut malam. Sorotan itu mengarah ke depan, memberikan petunjuk arah tanpa kata. Langkah-langkah Karna mantap namun sunyi, hanya ditemani oleh gemerisik tanah kering di bawah kakinya. Persimpangan demi persimpangan ia lewati, membiarkan cahaya artefak menjadi satu-satunya penuntun. Di tengah perjalanan, sesuatu mengusik pikirannya. Bukan hanya tentang keberadaan artefak berikutnya, tetapi juga soal perasaan bahwa ada seseorang yang mengamatinya. Ia melirik sekeliling, tetapi bayangan-bayangan hanya bergeming dalam kegelapan. Ketika ia sampai di sebuah bukit yang menjulang, cahaya dari artefak semakin terang. Karna mendongak, dan pandangannya tertuju pada sebuah gerbang besar yang setengah tertimbun oleh reruntuhan. Batu-batu besar yang menutupi sebagian gerbang itu dihiasi ukiran kuno, simbol-simbol yang tampak menceritakan kisah yang telah lama terlupakan. Namun, gerbang it
Karna duduk bersila di tengah pelataran Pura Gunung Haridra. Udara dingin menggigit kulit, namun ia tetap diam, seperti patung batu yang tak tergoyahkan oleh waktu. Di tangannya, sebuah artefak kecil tergenggam erat—sebuah benda yang membawa lebih banyak pertanyaan daripada jawaban. Artefak itu tampak sederhana pada pandangan pertama, potongan logam berbentuk abstrak dengan ukiran aksara kuno di tengahnya. Namun, semakin lama ia menatapnya, semakin berat beban yang ia rasakan, seolah benda itu mengandung rahasia yang bisa mengubah segalanya. "Rushali..." Nama itu tiba-tiba terlintas di benaknya, mengusik konsentrasinya yang hampir mencapai puncak meditasi. Karna membuka matanya perlahan, menatap artefak itu dengan tatapan yang campur aduk—antara rasa bersalah, keraguan, dan penyesalan. Ia mengingat saat terakhir mereka bersama, di hutan gunung Haridra. Rushali berdiri di hadapannya dengan wajah penuh harapan, memintanya untuk membiarkan dia ikut dalam perjalanan ini. Namun, dalam k
Tak mendapat sahutan apapun dari sang peluncur panah. Mata elang Karna masih terus beredar melihat dan memeriksa sekeliling. Rushali mencabut anak panah itu mengamatinya dengan pasti. “Siapa yang telah menghujani kita dengan anak panah ini?” Serangan tak bertuan itu membuat ujung hari mereka tak tenang. Setelah mendapatkan potongan artefak yang pemiliknya diduga dari 50 tahun lalu itu. Rushali pun menyimpulkan,”Akankah pemilik serangan ini, adalah anggota baru Bayang Niraka?” Rushali menemukan sebuah tanda,”lihat ini Arjuna, anak panah yang sama seperti yang kau tangkap waktu itu..sewaktu aku mengobati para petani.. apa kau ingat!” Karna memastikan ucapan Rushali dan mengamati anak panah itu,”Rupanya kita telah diikuti oleh mata-mata mereka, Bayang Niraka..!” Pergerakan yang dilakukan mereka berdua entah bagaimana dapat tercium oleh Bayang Niraka. “Dalam penyelidikan ini sepertinya kita tidak boleh percaya kepada sembarang orang Arjuna.. siapapun yang melihat kita menai
Gerbang kegelapan berdiri kokoh menjulang seperti mulut neraka yang siap melahap apa saja. Di hadapannya berdiri sesosok raksasa bertubuh gelap dengan mata merah menyala, menatap Karna dengan penuh kebencian. Udara sekitar terasa pekat, penuh dengan aura kematian, yang menyelimuti setiap sudut tempat itu.“KRAAAARGHH!” Raksasa itu meraung melompat ke arah Karna dengan cakar runcingnya yang mengkilat seperti baja.Karna menghindar gesit, tubuhnya meliuk, nyaris saja cakar raksasa itu merobek dadanya.“Sial, makhluk ini terlalu kuat” gumamnya sambil menggenggam pedang Agni erat-erat. Api dari pedang itu menyala terang, seolah hendak menjawab kegelisahan tuannya.“Karna.. kelemahan makhluk itu ada di bagian tubuhnya. Amatilah pergerakannya, dia seperti melindungi satu bagian tubuh.” bisik Pedang Agni padanya.Namun, Karna tak sempat menjawab, raksasa itu sudah mengayunkan tinjunya.“BOOM!”Tanah itu terguncang, menciptakan lubang besar tepat di tempat Karna berdiri, beberapa saat yang l
Rushali berjalan beberapa langkah di belakang Karna. Mata gadis itu menatap punggung lelaki yang tegap itu dengan berbagai pertanyaan yang memenuhi kepalanya. Sejak tadi malam, Karna tak banyak bicara setelah membangunkannya dari tidur. Namun, langkah pemuda itu begitu pasti, seolah ia sudah tahu apa yang harus dilakukan.Tak tahan dengan kebisuan di antara mereka, Rushali akhirnya membuka suara."Arjuna..." panggilnya pelan, namun cukup jelas untuk membuat Karna menoleh.Karna melambatkan langkahnya, menatap gadis itu dengan mata yang selalu tampak tegas namun menyimpan ketenangan. "Ada apa, Rushali?"Rushali menghela napas dalam, berusaha mencari kata yang tepat. "Aku ingin tahu… ke mana kita sebenarnya setelah ini? Kau belum mengatakan apa pun sejak kita meninggalkan tempat itu."Karna berhenti, memandang ke kejauhan di mana kabut perlahan menipis. Cahaya mentari pagi mulai menyinari wajahnya, menampakkan sosok seorang pemuda yang tampak jauh lebih dewasa dari usianya. Setelah bebe
“Aku peringatkan sekali lagi untuk pergi!” teriak Rushali Namun sebelum bencana itu terjadi, sesuatu yang tak terduga terjadi. Karna, yang sebelumnya hanya berdiri terpaku, tiba-tiba mengulurkan tangannya ke depan. Matanya bersinar tajam, penuh keyakinan. Suara beratnya bergema di tengah keheningan. "Datanglah kepadaku." Pedang pusaka yang terbaring di altar batu seketika bergetar hebat. Api di bilahnya membesar, lalu dengan kecepatan kilat pedang itu melesat melampaui udara malam, tertarik kuat menuju genggaman Karna. Rushali hanya bisa memandang dengan mata terbelalak saat pedang itu menempel di tangan Karna, seolah telah lama menantikan panggilan tuannya. Dalam sekejap, Karna melompat tinggi, tubuhnya melampaui Rushali dan berada di antara gadis itu dan serigala yang siap menyerang. Pedang Api bersinar terang di genggaman Karna, memantulkan cahaya merah yang menyebar ke seluruh area. Namun sebelum pertarungan benar-benar pecah, sebuah suara berat muncul dari balik punggung