Della menceritakan semuanya kenapa dirinya sampai meninggalkan Bagas di sana. Susan dan Malik akhirnya mencoba mengerti dan membawa Della ke rumah orangtua Susan karena Bagas dititipkan di sana.
Mereka pun sampai di rumah orangtua Susan, dan kakak ipar Della itu langsung menjelaskan siapa Della pada ibunya juga duduk permasalahan kenapa Della membuang Bagas.
Livia—ibu Susan pun mencoba memahami dan mengerti perasaan Della, wanita mana yang rela diduakan apalagi diselingkuhi.
"Sayang, maafin Mama. Mama udah pulang dan nggak akan meninggalkan kamu lagi," ucap Della pada Bagas yang sudah berada dalam gendongan. Della terus mengecup wajah tampan putranya.
Livia terkejut mendengar ucapan Della, apakah itu artinya wanita paruh baya itu akan kehilangan Bagas, bayi menggemaskan yang sudah menemani kesepiannya selama sebulan ini.
"Del, kamu akan bercerai dengan suamimu. Lalu setelah itu kamu akan ke mana?" tanya Susan.
"Entah, intinya aku hanya ingin bersama Bagas meski dia buah cinta kami dan ayahnya tidak menginginkan, tapi tetap saja dia itu putraku," jawab Della yang sebenarnya tidak memiliki rancangan kedepannya untuk dirinya juga Bagas.
Mendengar jawaban Della membuat Livia tersenyum lebar. Ia langsung berpindah duduk di sebelah Della seakan bersiap merayu agar wanita itu tidak membawa pergi Bagas.
"Kamu butuh pekerjaan buat menghasilkan uang, 'kan!" Livia menebak dan langsung mendapat jawaban sebuah anggukan dari Della.
Susan, Malik, dan Juan—ayah Susan, saling lempar tatapan, sepertinya mereka tahu arah pembicaraan Livia.
"Kalau kamu kerja nggak ada yang rawat Bagas dong!" Livia menebak lagi dan kini mendapat jawaban sebuah gelengan dari Della.
"Aku punya ide, biar Bagas di sini, kamu bekerja di restoran punyaku saja, di sana lagi butuh pramusaji. Kalau perlu kamu tinggal di sini juga tidak masalah." Livia memberi tawaran yang tampak menggiurkan, bagi wanita itu, asal Bagas tidak dibawa pergi saja sudah cukup.
Della terlihat bingung, menatap Susan dan Malik secara bergantian seakan sedang meminta pendapat apakah dia harus mengambil tawaran itu.
Susan yang bisa menangkap maksud dari tatapan Della pun tersenyum, lantas berkata, "Terima saja, lagi pula sekarang kamu juga nggak punya siapa-siapa selain Bagas dan kami. Lagi pula, aku dan mamah juga kami semua sudah menganggap Bagas sebagai bagian keluarga kami."
Ucapan Susan mendapatkan sebuah anggukan dari Malik, Juan, dan Livia, mereka seakan mengiakan apa yang dikatakan oleh Susan.
Della menatap anggota keluarga itu secara bergantian, tidak menyangka jika bisa bertemu keluarga yang begitu baik. Akhirnya Della mengiakan tawaran Livia, itu tidak akan merugikannya, malah akan menjamin hidup putranya.
Setelah berbincang dengan kakak tiri dan keluarganya, Della pun istirahat karena sebenarnya lelah setelah perjalanan panjang menggunakan bus. Ia diberi tempat oleh Livia, wanita paruh baya itu sangat senang karena Della mau menerima tawarannya.
"Kamu pasti rindu Mama, ya?" tanya Della pada Bagas yang berbaring di sampingnya.
Della masih tak henti menciumi wajah menggemaskan putranya, tatapan Della masih menyiratkan sebuah kesedihan.
"Mama janji akan selalu menyayangi dirimu, biarlah papa durjanamu pergi, yang terpenting kita selalu bersama," ucap Della seraya menggesekkan hidung mereka.
"Mama akan selalu menyayangi dan tidak akan pernah membuatmu keluarangan sesuatu apa pun, Mama janji."
Della menatap Bagas yang tertawa ala bayi, seakan mengerti dengan apa yang diucapkan dan membuat Della semakin bahagia serta bisa melupakan kesedihannya.
-
-
Seorang pemuda tampak duduk berhadapan dengan pria paruh baya. Pemuda yang diperkirakan umur sekitar 26 tahunan, memakai jaket hodini berwarna hitam dengan wajah terlihat kusam.
"Mas, pulang ya!" ajak pria paruh baya.
"Pak Slamet, aku udah bilang nggak mau pulang!" kekeh pemuda itu.
"Kenapa, Mas? Kasihan nyonya sakit," ujar pria paruh baya itu.
"Pak Slamet, kalau mama mau nurutin apa yang aku inginkan, maka aku akan pulang. Pak Slamet tahukan bagaimana mama?" tanya pemuda itu balik.
Pria paruh baya yang dipanggil dengan nama Slamet itu menggaruk-garuk kepala, sudah tidak tahu lagi bagaimana cara membujuk putra majikannya agar mau pulang.
Pemuda yang diajak bicara tampak berdiri, langsung memakai penutup kepala yang terdapat di hodini.
"Kalau mama setuju dengan keinginan aku, maka aku bakal pulang," kata pemuda itu lagi yang kemudian memilih berlalu pergi.
"Mas, Mas Dimas!" terika pria paruh baya itu seraya mengacak rambut karena stres.
Sudah berbulan-bulan Slamet disuruh membujuk dan membawa pulang putra majikannya yang bernama Dimas Anggara, tapi pada kenyataannya semua usahanya sia-sia. Dimas yang kesal dengan sikap dan keras kepalanya sang ibu, memilih meninggalkan rumah dan hidup alakadarnya di luaran sana.
-
-
Dimas terlihat berjalan ke sebuah gedung apartemen tua, melangkahkan kaki menaiki setiap anak tangga yang terdapat di sana. Ia sampai di lantai 5 gedung itu, berjalan menuju sebuah pintu yang terdapat di ujung koridor.
Baru saja akan mengangkat tangan untuk mengetuk pintu, ternyata pemilik apartemen sudah membukanya terlebih dahulu.
"Mau ke mana kamu?" tanya Dimas ketika melihat gadis yang ada di hadapannya. Dimas memindai pakaian gadis itu, sangat minim dengan make up tebal.
"Biasalah, Dim. Kayak nggak tahu aja!" ujar gadis itu seraya membetulkan letak tali rantai tasnya di pundak.
"Naya, apa kamu nggak bisa berhenti? Jangan seperti ini!" cegah Dimas.
"Apa sih? Dia cinta aku, lalu kenapa aku harus berhenti?" tanya Kanaya tanpa dosa.
Dimas menyukai seorang gadis bernama Kanaya, tapo sayangnya gadis itu malah senang menjadi selingkuhan pria bersuami. Kanaya sendiri memang tidak pernah menyesal menjadi seorang selingkuhan, asalkan dirinya bisa tetap mendapatkan uang untuk menunjang hidupnya. Apalagi, pria yang menjadikannya selingkuhan selalu berkata manis dan berjanji akan menikahinya.
"Tapi dia sudah punya istri, Nay!" Dimas mencoba menasihati tapi selalu saja tak dianggap.
Kanaya memutar bola mata, sadar kalau perdebatan antara dirinya dan Dimas tidak akan ada akhir.
Kanaya tersenyum manis, lantas menyentuh sisi wajah Dimas dan mengusap perlahan.
"Kamu tahu aku sangat mencintainya, 'kan?" tanya Kanaya dan langsung mendapat sebuah anggukan dari Dimas.
"Aku juga tahu kamu menyukaiku," kata Kanaya lagi. "Lalu, bagaimana perasaanmu jika aku meminta kamu untuk berhenti mencintaiku?" tanya Kanaya yang sebenarnya mengandung jebakan.
"Aku tidak mau!" jawab Dimas cepat seraya menggenggam telapak tangan Kanaya yang masih di pipi.
Kanaya lagi-lagi tersenyum manis untuk memikat pemuda itu, membuat Dimas tidak pernah bisa berpaling meski cinta terus bertepuk sebelah tangan.
"Makanya, aku tidak akan pernah melarangmu berhenti mencintaiku. Aku membiarkanmu ada di sisiku, 'kan! Karena itu juga, biarkan aku mencintai pria itu, oke!"
Dimas hanya termangu, entah kenapa setiap Kanaya sudah berkata lembut dan menyentuh wajahnya. Ia seperti terhipnotis dan tidak bisa menolak apa yang diucapkan gadis itu.
"Aku tidak akan pulang malam ini, kalau kamu mau menginap di sini, silahkan!" Kanaya menepuk pelan sisi wajah Dimas, lantas meninggalkan pemuda itu.
Dimas menghela napas kasar, menatap punggung Kanaya yang berlalu.
"Kapan kamu akan melihatku? Andai mama tidak menentang aku menyukaimu, mungkin kamu bisa menyukaiku."
TOK! TOK! TOK!Della langsung bangun ketika mendengar suara ketukan, hingga berjalan dan membuka pintu."Nggak ganggu tidur, 'kan?" tanya Livia yang ternyata berdiri di depan pintu."Oh, nggak kok," jawab Della sedikit sungkan, hingga membuka pintu lebar dan mempersilahkan Livia masuk ke kamarnya.Livia tersenyum lebar, hingga kemudian masuk dan langsung menghampiri Bagas yang berada di ranjang. Livia langsung duduk di tepian ranjang dan langsung mengajak main dan bicara seakan bayi menggemaskan itu paham."Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Livia dengan tatapan yang masih tertuju pada Bagas. Sudah beberapa hari Della tinggal di sana dan bekerja di restoran milik Livia."Sangat baik, seperti biasa," jawab Della. "Terima kasih, karena Anda sudah banyak membantu saya," ucapnya kemudian."Sama-sama," balas Livia. Wanita itu masih terus mengajak main Bagas, seakan sebenarnya tak ingin lepas dari bayi itu."Terima kasih juga karena Anda
Kanaya mendatangi sebuah rumah sederhana, bertekad mencari tahu siapa yang membocorkan rahasia hubungannya dengan pria yang menjadikannya selingkuhan."Maaf cari siapa, ya?" tanya seorang wanita ketika pintu terbuka.Bukannya bersikap sopan, Kanaya langsung masuk dan mendorong wanita yang rumahnya didatangi."Katakan siapa bos kamu!" Kanaya menatap tajam wanita itu."Maaf, bos bagaimana ya? Anda siapa?" tanya wanita itu."Jangan pura-pura! Kamu kaki tangan seorang hacker, 'kan! Katakan siapa dia?" tanya Kanaya beringas.Wanita itu terlihat terkejut, tapi mencoba menutupi dan berpura tak tahu."Saya tidak tahu!""Jangan bohong kamu!" Kanaya melayangkan tas ke arah tubuh wanita yang memang dilihatnya pernah menerima sejumlah uang dari istri pria selingkuhannya."Mbak ini siapa? Kenapa kasar?" Wanita itu terkejut ketika Kanaya memukulnya."Jawab, atau aku akan menghajarmu!" ancam Kanaya.Wanita yang tern
Setelah bicara dengan Livia, akhirnya Della pun mencari rumah kontrakan yang murah untuknya. Ia akan mampir ke rumah Livia setelah pulang kerja, terkadang Livia yang membawa Bagas ke restoran agar Della bisa melihat putranya itu.Hingga tanpa terasa Della sudah bekerja di restoran Livia selama 5 bulan lamanya, menjalani hidup sebagai janda anak satu. Ia bersyukur karena Bagas terjamin kehidupannya bersama Livia dan Juan. Bayi mungil itu kini hampir berumur satu tahun dan tampak sehat serta terawat."Dompet, ponsel, apalagi yang belum?" Della tengah bersiap pergi ke restoran untuk bekerja seperti biasa."Ah, sudah semua."Della pun mencangklong tali tas menyilang di depan dada, berjalan keluar rumah untuk mencari taksi. Ia pun berangkat ke restoran untuk bekerja menggunakan taksi karena sudah kesiangan.Della duduk di kursi belakang dengan menyangga dagu, menatap jalanan yang tampak ramai, hingga tatapannya tertuju pada sosok yang dikenalnya.
Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della."Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas mengerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai."Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pria itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit."Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan. Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi
Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya."Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang."Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu."Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan."Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squisi, lembek dan halu
"Apa?" tanya Della dengan nada membentak dan mata melotot."Ak-aku, butuh ke kamar mandi." Dimas tampak merapatkan kedua kaki, sepertinya ada panggilan alam yang harus dipenuhi."Terus?" Della masih saja pura-pura tidak peka."Ya ampun! Kamu ini sengaja atau bagaimana? Aku seriusan ini, kamu mau aku buang air di sini!" geram Dimas menahan panggilan alam yang sepertinya tidak bisa ditahan."EGP! Emang gue pikirin!" ketus Della yang hendak kembali melangkah ke dapur.Dimas benar-benar tidak tahan, masih menahan panggilan alam, juga menahan betapa sadisnya wanita yang menyekap dirinya."Tolong! Serius, aku tidak bisa menahannya lebih lama!" teriak Dimas dengan nada memelas.Della mencebikkan bibir, lantas berjalan kembali ke arah Dimas. Dengan tatapan tajam ia berdiri setengah membungkuk di hadapan pemuda itu."Aku izinin kamu ke kamar mandi, kalau berani berpikir atau bahkan kabur, aku remas burung berkicaumu!" ancam Della seraya
"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan."Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung."Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak mempercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.TOK! TOK! TOK!Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita
Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak."Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta."Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan