TOK! TOK! TOK!
Della langsung bangun ketika mendengar suara ketukan, hingga berjalan dan membuka pintu.
"Nggak ganggu tidur, 'kan?" tanya Livia yang ternyata berdiri di depan pintu.
"Oh, nggak kok," jawab Della sedikit sungkan, hingga membuka pintu lebar dan mempersilahkan Livia masuk ke kamarnya.
Livia tersenyum lebar, hingga kemudian masuk dan langsung menghampiri Bagas yang berada di ranjang. Livia langsung duduk di tepian ranjang dan langsung mengajak main dan bicara seakan bayi menggemaskan itu paham.
"Bagaimana pekerjaanmu?" tanya Livia dengan tatapan yang masih tertuju pada Bagas. Sudah beberapa hari Della tinggal di sana dan bekerja di restoran milik Livia.
"Sangat baik, seperti biasa," jawab Della. "Terima kasih, karena Anda sudah banyak membantu saya," ucapnya kemudian.
"Sama-sama," balas Livia. Wanita itu masih terus mengajak main Bagas, seakan sebenarnya tak ingin lepas dari bayi itu.
"Terima kasih juga karena Anda sudah mau merawat Bagas," ucap Della menunjukkan rasa syukurnya.
Livia mengulas senyum ketika mendengar ucapan Della, lantas menoleh pada Della.
"Sebenarnya aku merasa senang ada Bagas di sini. Aku memiliki dua anak, satu menikah dan tinggal di London, satu lagi menikah dan pindah rumah," ujar Livia dengan senyum getir.
"Jadi karena itu Anda ingin saya dan Bagas tinggal?" tanya Della memastikan.
Livia lagi-lagi tersenyum dan kembali fokus memainkan jari Bagas yang sudah menggenggam telunjuknya.
"Ya, karena rumah ini sangat sepi sebelum ada Bagas, setelah ada dia rasanya sangat ramai. Aku suka," jawab Livia.
Della menatap Livia, tengah berpikir apakah wanita paruh baya itu memang menyukai putranya.
"Sebenarnya saya berniat pindah," kata Della hati-hati.
Livia sangat terkejut dengan ucapan Della, langsung menatap janda cantik itu dengan rasa tidak percaya.
"Kenapa? Bukankah kamu bilang mau tinggal di sini dengan Bagas?" tanya Livia.
Della mengulas senyum, menatap pada putranya sebelum beralih menatap Livia.
"Ya, tapi saya merasa sungkan dan tak enak merepotkan Anda yang sudah sangat baik," jawab Della.
"Kamu akan bawa Bagas pergi?" tanya Livia yang sepertinya takkan rela jika Bagas keluar dari rumah itu.
"Jika Anda berkenan dan tidak merasa repot, saya berniat menitipkan Bagas di sini. Saya hanya akan datang setelah pulang kerja dan mengajaknya ketika libur," jawab Della.
Mungkin keputusan Della terdengar egois dan seakan ingin lepas dari tanggung jawab merawat Bagas. Namun, dibalik itu Della mempunyai banyak pertimbangan. Ia melihat betapa keluarga itu menyayangi Bagas, bahkan merawat seperti cucu mereka sendiri. Della ingin yang terbaik untuk Bagas, tapi selama dirinya belum mapan tentu saja tidak akan bisa mewujudkannya. Belum lagi, bagaimana nasib Bagas jika ikut dirinya sedangkan Della juga harus bekerja.
"Kamu serius? Jika ya, tentu saja aku tidak merasa keberatan, tapi malah sangat senang," ucap Livia yang tidak bisa menyembunyikan kebahagiaan.
"Anda tidak akan menganggap saya lepas tanggung jawab, 'kan?" tanya Della yang tak ingin Livia merasa dimanfaatkan.
"Tentu saja tidak, aku saja ingin sekali merawatnya dan menjadikannya teman di rumah sebab selama ini aku selalu merasa kesepian," jawab Livia penuh semangat.
Della tersenyum kembali menatap Bagas sebelum mencium pipi putranya itu.
"Maaf sudah merepotkan Anda," ucap Della lagi.
"Tidak apa-apa, merawat Bagas bukanlah hal yang merepotkan. Kamu bekerjalah dengan giat, agar kelak bisa membahagiakannya," timpal Livia.
Della mengangguk, dengan ini dirinya mungkin akan pindah agar tidak semakin merepotkan keluarga Livia dengan adanya dia di sana.
-
-
Dimas yang sore itu hendak melihat keadaan Kanaya, tampak terkejut saat melihat apartemen gadis yang dicintainya itu berantakan seakan baru terkena badai.
"Ada apa ini?" tanya Dimas kebingungan.
Kanaya menangis duduk dengan menekuk kedua lutut, memeluk dan menenggelamkan wajah diantara lutut.
"Wanita sialan!" umpat Kanaya yang seakan sedang meluapkan amarah.
Dimas semakin terkesiap mendengar Kanaya mengumpat, hingga kemudian mencoba mendekat dan duduk di samping gadis itu.
"Ada apa?" tanya Dimas hati-hati.
Dimas sudah mencintai Kanaya sejak lama, meski dirinya tahu kalau gadis itu berada di jalan yang tak benar, tak lantas membuat Dimas menjauh. Ia hanya ingin menyadarkan Kanaya agar bisa kembali ke jalan yang benar, karena itu Dimas masih bertahan di sisi meski tak dianggap.
"Dia memutus hubungan kami," jawab Kanaya setengah menjerit.
Dimas terkesiap, dalam hatinya senang karena akhirnya Kanaya bisa terlepas dari belenggu pria beristri.
"Sudahlah, lupakan pria itu. Sikapnya sudah cukup membuktikan kalau pria itu tidak baik untukmu," ujar Dimas mencoba menasihati.
Kanaya langsung menatap Dimas, ada rasa kesal karena pemuda itu malah memintanya melupakan. Kanaya sudah memberikan segalanya, tapi kenapa harus tersakiti lebih dari satu kali.
"Tidak! Aku tidak akan diam saja!"
Dimas terkesiap mendengar tolakan Kanaya atas ucapannya.
"Kenapa? Apalagi yang kamu harapkan dari pria brengsek itu?" tanya Dimas yang tak habis pikir.
Kanaya menyeka buliran kristal bening yang luruh, ada dendam dan amarah bercampur di dalam pancaran matanya.
"Semua ini gara-gara seorang hacker, dia membocorkan hubunganku dengannya!" Kanaya tiba-tiba terlihat geram.
"Apa maksudmu?" tanya Dimas kebingungan.
Kanaya langsung menghadap ke arah Dimas, menunjukkan mata sendu agar pemuda itu simpati padanya.
"Dia bilang kalau istrinya membayar seorang hacker untuk menyelidiki hubungan kami, aku akan pastikan mendapat data hacker itu. Dim, kamu mau bantu aku, 'kan!" Kanaya memberi tatapan lembut pada Dimas, mencoba merayu agar pemuda itu luluh padanya.
"Apa yang akan kamu lakukan?" tanya Dimas kebingungan.
"Aku janji tidak akan melakukan hal yang berbahaya, aku hanya mau memperingatkan orang itu agar tidak ikut campur dengan urusan orang lain. Kamu mau bantu aku, 'kan?" tanya Kanaya lagi, mencoba membujuk Dimas agar mau menolongnya.
"Tapi, ini tidak benar, Naya! Seharusnya kamu lupakan saja, masih ada aku di sisimu," ujar Dimas menolak.
Kanaya merasa kesal dengan penolakan Dimas, langsung memalingkan wajah ke arah lain.
"Kalau kamu tidak peduli denganku, buat apa kamu di sini? Tanpa kamu pun aku bisa mengatasi ini sendiri! Kamu selalu bilang menyukaiku, tapi nyatanya tidak pernah mau membuktikan ketulusanmu," ucap Kanaya yang seakan sedang memancing rasa bersalah pada diri Dimas.
"Nay, bukan begitu--" Dimas ingin menjelaskan tapi langsung dipotong oleh Kanaya.
"Dim, bantu aku kali ini saja. Setelah ini aku janji akan mengikuti semua ucapanmu, oke!" bujuk Kanaya.
Kanaya menggenggam telapak tangan Dimas, mencoba merayu pemuda itu.
Dimas terlihat berpikir, melihat ke dalam manik mata Kanaya dan mencari tahu apakah gadis itu benar-benar mau berubah serta mengikuti ucapannya.
"Kamu janji setelah aku membantu, kamu akan mengikuti ucapanku?" tanya Dimas memastikan yang langsung mendapat sebuah anggukan dari Kanaya.
"Baiklah, apa yang harus aku lakukan?" tanya Dimas mengiakan permintaan Kanaya.
Kanaya tersenyum lebar mendengar Dimas mau membantunya, seakan melupakan kesedihan yang sempat singgah beberapa waktu lalu.
"Terima kasih." Kanaya menggenggam erat telapak tangan Dimas.
Kanaya mendatangi sebuah rumah sederhana, bertekad mencari tahu siapa yang membocorkan rahasia hubungannya dengan pria yang menjadikannya selingkuhan."Maaf cari siapa, ya?" tanya seorang wanita ketika pintu terbuka.Bukannya bersikap sopan, Kanaya langsung masuk dan mendorong wanita yang rumahnya didatangi."Katakan siapa bos kamu!" Kanaya menatap tajam wanita itu."Maaf, bos bagaimana ya? Anda siapa?" tanya wanita itu."Jangan pura-pura! Kamu kaki tangan seorang hacker, 'kan! Katakan siapa dia?" tanya Kanaya beringas.Wanita itu terlihat terkejut, tapi mencoba menutupi dan berpura tak tahu."Saya tidak tahu!""Jangan bohong kamu!" Kanaya melayangkan tas ke arah tubuh wanita yang memang dilihatnya pernah menerima sejumlah uang dari istri pria selingkuhannya."Mbak ini siapa? Kenapa kasar?" Wanita itu terkejut ketika Kanaya memukulnya."Jawab, atau aku akan menghajarmu!" ancam Kanaya.Wanita yang tern
Setelah bicara dengan Livia, akhirnya Della pun mencari rumah kontrakan yang murah untuknya. Ia akan mampir ke rumah Livia setelah pulang kerja, terkadang Livia yang membawa Bagas ke restoran agar Della bisa melihat putranya itu.Hingga tanpa terasa Della sudah bekerja di restoran Livia selama 5 bulan lamanya, menjalani hidup sebagai janda anak satu. Ia bersyukur karena Bagas terjamin kehidupannya bersama Livia dan Juan. Bayi mungil itu kini hampir berumur satu tahun dan tampak sehat serta terawat."Dompet, ponsel, apalagi yang belum?" Della tengah bersiap pergi ke restoran untuk bekerja seperti biasa."Ah, sudah semua."Della pun mencangklong tali tas menyilang di depan dada, berjalan keluar rumah untuk mencari taksi. Ia pun berangkat ke restoran untuk bekerja menggunakan taksi karena sudah kesiangan.Della duduk di kursi belakang dengan menyangga dagu, menatap jalanan yang tampak ramai, hingga tatapannya tertuju pada sosok yang dikenalnya.
Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della."Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas mengerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai."Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pria itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit."Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan. Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi
Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya."Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang."Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu."Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan."Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squisi, lembek dan halu
"Apa?" tanya Della dengan nada membentak dan mata melotot."Ak-aku, butuh ke kamar mandi." Dimas tampak merapatkan kedua kaki, sepertinya ada panggilan alam yang harus dipenuhi."Terus?" Della masih saja pura-pura tidak peka."Ya ampun! Kamu ini sengaja atau bagaimana? Aku seriusan ini, kamu mau aku buang air di sini!" geram Dimas menahan panggilan alam yang sepertinya tidak bisa ditahan."EGP! Emang gue pikirin!" ketus Della yang hendak kembali melangkah ke dapur.Dimas benar-benar tidak tahan, masih menahan panggilan alam, juga menahan betapa sadisnya wanita yang menyekap dirinya."Tolong! Serius, aku tidak bisa menahannya lebih lama!" teriak Dimas dengan nada memelas.Della mencebikkan bibir, lantas berjalan kembali ke arah Dimas. Dengan tatapan tajam ia berdiri setengah membungkuk di hadapan pemuda itu."Aku izinin kamu ke kamar mandi, kalau berani berpikir atau bahkan kabur, aku remas burung berkicaumu!" ancam Della seraya
"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan."Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung."Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak mempercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.TOK! TOK! TOK!Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita
Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak."Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta."Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan
Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata."Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri terasa.Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain."Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan."Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"--"Mas Dimas kepalanya ke