Setelah bicara dengan Livia, akhirnya Della pun mencari rumah kontrakan yang murah untuknya. Ia akan mampir ke rumah Livia setelah pulang kerja, terkadang Livia yang membawa Bagas ke restoran agar Della bisa melihat putranya itu.
Hingga tanpa terasa Della sudah bekerja di restoran Livia selama 5 bulan lamanya, menjalani hidup sebagai janda anak satu. Ia bersyukur karena Bagas terjamin kehidupannya bersama Livia dan Juan. Bayi mungil itu kini hampir berumur satu tahun dan tampak sehat serta terawat.
"Dompet, ponsel, apalagi yang belum?" Della tengah bersiap pergi ke restoran untuk bekerja seperti biasa.
"Ah, sudah semua."
Della pun mencangklong tali tas menyilang di depan dada, berjalan keluar rumah untuk mencari taksi. Ia pun berangkat ke restoran untuk bekerja menggunakan taksi karena sudah kesiangan.
Della duduk di kursi belakang dengan menyangga dagu, menatap jalanan yang tampak ramai, hingga tatapannya tertuju pada sosok yang dikenalnya.
Della melihat kakak iparnya itu berlarian, langsung meminta pada sopir taksi untuk berhenti.
"Pak, sini saja. Ini uangnya!" Della keluar terburu-buru.
Wanita itu berpikir jika kakak iparnya pasti butuh bantuan. Melihat ke arah mana pria yang dikejar oleh Susan berlari, Della memutuskan ambil jalur lain.
Saat berada di gang sempit, pria tadi terlihat berhenti karena melihat Della yang sudah berkacak pinggang menghadang jalannya. Sedangkan Susan yang melihat keberadaan Della pun tampak tersenyum senang.
"Mau ke mana kamu?!" Susan berjalan mendekat ke arah Dimas.
"Kalian kira karena berdua aku akan takut, hah!" bentak Dimas yang wajahnya masih tertutup masker dengan penutup kepala.
"Memangnya karena kamu pria, kami akan takut, hah!" bentak Della balik. "Kalau suruh nginjak pabrik bibit lele mu pun aku sanggup!" imbuh Della yang membuat Dimas tiba-tiba merasa ngeri sampai menelan saliva.
Dimas menengok ke bawah di mana pabrik benih lelenya berada setelah mendengar bentakkan Della. Della dan Susan yang sadar jika Dimas tidak fokus dan siaga pun langsung bergerak cepat. Della menarik kedua tangan Dimas, kemudian menguncinya ke belakang tubuh lalu menjatuhkan tubuh Dimas ke tanah. Bak adegan action, satu lutut Della bertumpu pada punggung Dimas hingga membuat pemuda itu memekik karena sakit.
"Mau menantang kami, hah! Mau aku hancurkan pabrik lelemu, hah!" ancam Della.
Susan yang mendengar kata bar-bar yang dikeluarkan oleh adik tirinya itu pun hampir meledakkan tawa, tapi mencoba menahannya karena ini adalah bukan waktunya bercanda.
Susan tampak berjongkok di depan Dimas, membuka masker dan penutup kepala yang dikenakan pemuda itu. Kini wajah Dimas terlihat jelas, tampan dan manis.
"Wah, kamu tampan juga," celetuk Della yang memang mulutnya tidak bisa direm.
"Apa dia mencopetmu?" tanya Della pada Susan. Wanita itu tidak tahu duduk permasalahannya dan asal ikutan mengejar saja.
"Tidak, tapi dia hampir membuatku masuk rumah sakit," jawab Susan dengan tatapan tajam yang mengarah pada Dimas.
"Apa? Kurang ajar! Mau macam-macam kamu!" Della menarik keras lengan dan semakin menekan lututnya yang berada di atas punggung Dimas.
"Aghh!!" pekik Dimas kesakitan. "Sial! Wanita itu kenapa tenaganya sangat kuat!" gerutu Dimas dalam hati.
"Katakan padaku! Apa wanita itu yang menyuruhmu? Di mana aku bisa mencarinya?" tanya Susan. Susan sudah tahu kalau Kanaya datang ke rumah tangan kanannya dan mengancam, hingga membuat Susan meradang, karena tak hanya mengincar dirinya tapi Kanaya juga mencelakai orang lain.
"Ck ... apa kalian pikir aku akan mengatakannya?" Dimas seakan tidak takut, malah balik menatap tajam manik mata Susan.
"Hoi! Tinggal jawab susah amat! Aku hancurin pabrik lelemu, mau!!" ancam Della seraya menekan lututnya lagi.
Dimas memekik lagi, lalu dia pun berteriak, "Kamu ini wanita apa pria! Kenapa kasar sekali!"
"Makanya ngomong! Aku bisa lebih sadis dari ini, mantan suamiku aja ampun-ampun aku injak pabriknya, kalau kamu tidak mau menjawab pertanyaan kakakku, maka aku injak beneran ini!" ancam Della lagi.
"Injak saja, tapi aku tidak akan bicara!" Dimas masih tidak mau menjawab pertanyaan Susan dan malah menantang Della.
"Oh, kamu menantangku. Bagus! Mumpung aku pakai high heels, ini akan permanen sampai akhir hayatmu!" ancam Della menakut-nakuti.
Dimas menelan saliva, tidak berpikir jika Della akan melakukannya. Namun, perkiraan Dimas salah, Della mengikat tangannya dengan tali selempang tas lalu membalikkan tubuhnya, dia sudah tersenyum sadis dengan mengangkat satu kaki.
Susan memalingkan wajah dengan menahan tawa. Dimas sudah tampak ketakutan dengan wajah yang begitu pucat.
"Aghhh!! Jangan! Aku masih perjaka dan masih ingin punya keturunan! Aku akan bicara!" teriak Dimas yang membuat Della menurunkan kakinya.
Susan benar-benar menahan tawa. Della membelalakkan mata tidak percaya dengan apa yang diteriakkan pria tadi.
"Hah, perjaka! Tidak meyakinkan," seloroh Della.
"Jangan menghina! Aku benar-benar masih perjaka!" teriak Dimas tidak terima dengan ketidakyakinan Della.
Susan menepuk pipi pria tadi yang berbaring menatap Della hingga akhirnya melirik Susan yang berada di atasnya.
"Katakan, di mana dia!"
Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della."Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas mengerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai."Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pria itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit."Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan. Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi
Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya."Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang."Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu."Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan."Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squisi, lembek dan halu
"Apa?" tanya Della dengan nada membentak dan mata melotot."Ak-aku, butuh ke kamar mandi." Dimas tampak merapatkan kedua kaki, sepertinya ada panggilan alam yang harus dipenuhi."Terus?" Della masih saja pura-pura tidak peka."Ya ampun! Kamu ini sengaja atau bagaimana? Aku seriusan ini, kamu mau aku buang air di sini!" geram Dimas menahan panggilan alam yang sepertinya tidak bisa ditahan."EGP! Emang gue pikirin!" ketus Della yang hendak kembali melangkah ke dapur.Dimas benar-benar tidak tahan, masih menahan panggilan alam, juga menahan betapa sadisnya wanita yang menyekap dirinya."Tolong! Serius, aku tidak bisa menahannya lebih lama!" teriak Dimas dengan nada memelas.Della mencebikkan bibir, lantas berjalan kembali ke arah Dimas. Dengan tatapan tajam ia berdiri setengah membungkuk di hadapan pemuda itu."Aku izinin kamu ke kamar mandi, kalau berani berpikir atau bahkan kabur, aku remas burung berkicaumu!" ancam Della seraya
"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan."Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung."Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak mempercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.TOK! TOK! TOK!Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita
Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak."Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta."Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan
Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata."Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri terasa.Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain."Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan."Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"--"Mas Dimas kepalanya ke
Sudah beberapa hari semenjak Dimas pulang. Salsa dan suaminya—Anggara, tentu saja senang akan hal itu."Kamu sudah siap ambil alih perusahaan Papa?" tanya Anggara. Malam itu Anggara mengajak bicara Dimas di ruang kerjanya.Dimas terkejut dengan pertanyaan Anggara, hingga pemuda itu menggaruk kepala tidak gatal."Jangan dulu, Pa. Kalau Papa mau aku belajar ngurus perusahaan, tidak masalah. Namun, untuk mengambil alih, sepertinya aku belum pantas," jawab Dimas.Meski Dimas berpendidikan tinggi, tapi dirinya belum pernah sama sekali mengelola perusahaan, hanya tahu teori tanpa praktek, tentu saja hal itu membuat Dimas masih ragu untuk mengambil alih perusahaan sang papa.Anggara tersenyum mendengar jawaban Dimas, benar-benar putra yang memiliki pemikiran baik dan tidak rakus. Ditawari pengambilan alih, tapi malah menolak dan memilih ingin belajar dulu."Baiklah, besok ikutlah ke perusahaan bersama Papa. Mulailah belajar agar kelak Papa bi
Dimas pulang dengan perasaan sangat senang, meski Della meminta untuk berpacaran terlebih dahulu, itu sudah cukup membuat Dimas merasa tenang."Baru pulang." Salsa yang tengah merangkai bunga di vas langsung menyapa putranya itu."Ya," jawab Dimas seraya berjalan mendekat ke arah Salsa. "Bunganya cantik," imbuh Dimas seraya menyentuh bunga yang tergeletak di meja."Oh ya, Dim. Kamu ingat Alen?" tanya Salsa."Alen? Alena?" tanya Dimas balik setelah mengingat."Ya, siapa lagi," jawab Salsa. Salsa meletakkan gunting yang dipegang, kemudian menghadap pada Dimas."Dia baru saja pulang dari prancis, sangat cantik dan masih lajang. Kamu mau nggak--"Tahu ke mana arah pembicaraan itu, dengan keras Dimas memotong ucapan sang mama."Tidak!""Tidak apa?" tanya Salsa keheranan."Mama pasti mau aku menemuinya, 'kan?" tanya Dimas menebak."Apa salahnya?" Salsa merasa heran dengan sikap Dimas.Dimas yang awal
Setelah semua kejadian yang menimpa, akhirnya Della dan Dimas memutuskan untuk tidak jadi pindah karena merasa aman tinggal bersama Salsa dan Anggara. Salsa sendiri begitu bahagia, karena dia tidak harus merasa kehilangan anggota keluarganya.Satu bulan berlalu setelah kejadian penculikan Bagas. Kini baik Della maupun Dimas pun sudah melakukan aktivitas mereka seperti biasa.Siang itu Della masih bekerja seperti biasa, hingga saat melihat darah dari daging yang hendak dibersihkan, Della tiba-tiba merasa mual dan muntah.“Del, kamu baik-baik saja?” tanya teman Della.Della belum menjawab, dirinya terus muntah di washbak. Perutnya rasanya dikocok hingga ingin sekali mengeluarkan semua isi makanan di dalam.Teman Della segera mengambilkan minyak kayu putih, berpikir jika Della mungkin saja masuk angin.“Olesi perutmu dengan ini agar hangat,” kata teman Della memberikan perhatian.Della mengangguk-angguk, kemudian membuka sedikit seragamnya dan mengolehkan minyak itu.“Kamu sakit? Apa kam
Della semakin menitikkan air mata saat tangan Alvian mulai menjamah tubuhnya. Pakaian bagian atasnya kini terbuka, memperlihatkan bra yang menutup dua bukit kembarnya. Alvian semakin bersemangat untuk menyetubuhi Della saat melihat betapa bulat dan indahnya bukit kembar milik mantan istrinya itu.“Tubuhmu benar-benar makin indah, Del.” Alvian menyentuh salah satu bukit kembar Della dari balik bra.Della memejamkan mata begitu rapat dengan buliran kristal yang meluncur bebas saat Alvian menyentuh dan kini meremas bukit kembarnya. Sungguh dia sangat berdosa karena kini ada pria lain yang sudah menyentuh tubuhnya selain sang suami.“Menangislah, Del. Aku sangat suka melihatmu tersiksa dalam kenikmatan.”Alvian semakin menggila, dia bahkan kini menciumi belahan dada mantan istrinya itu.Kedua kaki Della terus menendang, mencoba memberontak tapi usahanya sia-sia karena Alvian menindih dengan satu kaki berada di antara dua pahanya.Di luar kamar, Max tersenyum miring mendengar Della yang me
Della pergi ke alamat yang dikirimkan Alvian. Demi mendapatkan Bagas kembali, dia rela melakukan segalanya. Della tidak akan pernah terima jika Bagas diambil begitu saja oleh Alvian yang tidak pernah bertanggung jawab sama sekali.Wanita itu sudah sampai di depan pintu kamar di sebuah apartemen tua, bangunan di sana tidak terlalu terawat, terlihat dari cat yang memudar dan seperti lama tidak diperbaharui.Della mengetuk pintu beberapa kali, hingga terlihat pintu itu terbuka.Alvian menyeringai melihat Della benar-benar datang ke sana dengan sebuah tas di tangan. Pria itu menyembulkan kepala keluar, menengok ke kanan dan kiri untuk memastikan Della datang sendirian.“Kamu tidak datang bersama orang lain, ‘kan?” Alvian mencoba memastikan.“Apa matamu buta? Apa kamu tidak lihat jika tidak ada orang lain di sini?” Della bicara dengan nada membentak karena begitu benci dengan mantan suaminya itu.Alvian terkekeh mendengar Della memaki, tapi dirinya cukup tertarik karena ternyata istrinya i
Della pergi dari rumah tanpa sepengetahuan Dimas dan yang lain. Pikirannya kini hanya penuh dengan Bagas, dia hanya ingin agar Bagas kembali ke pelukannya.Sebelum menemui Alvian di alamat yang dikirimkan mantan suaminya itu. Della pergi ke bank untuk menarik sejumlah uang, Alvian ingin menukar Bagas dengan uang, sehingga Della mau tidak mau harus mengambil tabungannya juga uang pemberian Dimas.Di rumah. Dimas kembali ke kamar karena ingin bicara dengan Della. Namun, alangkah terkejutnya Dimas saat tidak melihat Della di kamar.“Del! Della!” Dimas memanggil sang istri tapi tidak ada balasan.Dimas panik dan kebingungan, hingga kemudian keluar dari kamar untuk mencari Della di tempat lain.“Ada apa, Dim?” tanya Anggit yang melihat Dimas panik.“Della tidak ada di kamar,” jawab Dimas.Anggit ikut panik, hingga kemudian mencari Della di seluruh rumah. Namun, mereka tidak menemukan Della di mana pun, membuat Dimas semakin cemas dan takut jika istrinya mencari keberadaan Bagas sendirian.
Anggit masih berada di kamar Dimas. Dia mencemaskan adik iparnya yang sampai pingsan karena memikirkan Bagas yang dibawa kabur ayah kandungnya.“Apa kamu sudah melaporkannya ke kantor polisi?” tanya Anggit, menatap sang adik yang terlihat cemas sambil memandang sang istri.“Sudah, polisi akan membantu mencari berbekal nomor plat mobil yang membawa Bagas,” jawab Dimas tanpa menoleh sang kakak.“Apa kamu ada video rekaman Cctv-nya?” tanya Anggit yang penasaran.Dimas menganguk, lantas mengeluarkan ponsel dan membuka galeri untuk menunjukkan video yang dimilikinya.Anggit pun terlihat begitu antusias, mengambil ponsel dari tangan Dimas, kemudian menonton rekaman video Cctv. Hingga Anggit menekan tombol paus saat video memutar posisi mobil berhenti di depan rumah Dimas, lantas dirinya memperbesar resolusi gambar itu.“Tunggu!” Anggit mengerutkan dahi saat melihat nomor plat mobil itu.Dimas menoleh sang kakak, hingga melihat Anggit yang mengerutkan dahi.“Ada apa, Kak?” tanya Dimas.“Ini
Salsa terduduk lemas saat mendengar kabar yang disampaikan Dimas. Wanita itu merasa tulang-tulang di kedua kakinya seolah ditarik keluar dari tubuh.Dimas dan Della pulang setelah mereka melaporkan Bagas yang hilang karena diculik. Mereka memiliki bukti rekaman Cctv yang terpasang di salah satu rumah yang dekat dengan rumah Dimas dan Della.Della pun terduduk tidak berdaya, sejak dari kantor polisi hingga sampai rumah, air matanya terus mengalir hingga membuat wajahnya begitu basah.“Bagaimana bisa kalian tidak hati-hati? Kenapa kalian membuat Bagas diculik!” Salsa menyalahkan Dimas dan Della yang teledor.Wanita itu menangis, bahkan sampai sesenggukan dan mencengkram baju bagian dada.Della terdiam, dirinya pun begitu kehilangan dan takut terjadi sesuatu dengan Bagas. Dalam rekaman itu hanya terlihat Alvian yang menggendong Bagas, kemudian masuk ke mobil dan meninggalkan tempat itu.“Kamu tenang, sayang. Tarik napas panjang dan embuskan perlahan.” Anggara mencoba menenangkan Salsa.D
Dimas sangat terkejut saat mengetahui jika Alvian kembali mendatangi Della, tentu saja pria itu takkan bisa tenang jika sampai Alvian kembali mengganggu Della.“Kamu kasih dia uang lagi?” tanya Dimas sangat geram dengan ulah Alvian.“Tentu saja tidak, Dim,” jawab Della. Dia tak ingin terlalu berbaik hati menuruti keinginan Alvian.Jika dulu Della memberi karena berharap mantan suaminya itu sadar lalu pergi dari kehidupannya, kini Della takkan mengulang kedua kali memberi karena jelas yang kedua karena sebuah keserakahan.“Lalu, apakah dia memaksamu atau melakukan sesuatu kepadamu?” tanya Dimas yang semakin cemas.Della menggelengkan kepala, kemudian menjawab, “Aku langsung pergi, tapi samar-samar mendengar dia berteriak tapi tidak terlalu jelas. Aku mencoba mengabaikan dirinya.”Dimas menghela napas lega, kemudian meraih kepala Della dan membawa ke pelukan. Bahkan mengecup lembut pucuk kepala istrinya itu.“Ya sudah, lain kali kalau dia mengganggumu lagi, segera hubungi aku. Aku takka
Anggit kembali ke rumah Salsa. Sepanjang perjalanan masih terus memikirkan ucapan Max tentang ibunya, apakah benar Salsa yang menyebar informasi tentang perselingkuhan Max dengan salah satu model itu. Gara-gara ucapan Max, Anggit sampai tak fokus di pemotretan keduanya. Membuatnya harus terkena teguran fotografer berulang kali. Mobil Anggit sudah sampai di garasi. Dia langsung turun dan melihat Salsa yang sedang menunggui Bagas bermain di halaman rumah. “Sore, Ma.” Anggit langsung menyapa dan memberikan kecupan kanan-kiri di pipi Salsa. “Sore, sayang. Bagaimana tadi pemotretannya?” tanya Salsa. “Lancar,” jawab Anggit kemudian memilih duduk di kursi bersebelahan dengan Salsa, memandang Bagas yang sedang bermain bola. Salsa pun memandang Bagas, melihat betapa aktifnya bocah itu. Anggit menoleh Salsa, hingga berniat menanyakan tentang Max. “Ma. Boleh aku tanya sesuatu?” Salsa menoleh, melihat Anggit yang sudah memandangnya. “Tanya saja.” Salsa mempersilakan. “Apa Mama yang menyeb
Della masih saja bekerja sebagai seorang pramusaji setelah beberapa bulan menikah dengan Dimas. Dirinya hanya ingin mandiri, karena sejak awal sudah berkomitmen jika dirinya akan tetap bekerja.“Del, aku heran sama kamu,” kata teman Della.“Heran kenapa?” tanya Della yang sedang sibuk mengelap meja.“Kamu tuh sudah nikah sama pria kaya, kenapa masih mau bekerja begini?” tanya teman Della, memandang mantan janda cantik itu dengan perasaan heran.Della mengulas senyum mendengar pertanyaan temannya, hingga menoleh dan melihat teman yang memandang dirinya.“Apa hubungannya menikah dengan pria kaya dan bekerja?” tanya balik Della. Dia berhenti mengelap meja dan memilih menatap temannya.“Ya, bukankah lebih enak di rumah, ngurus anak dan rumah saja. Lagian aku yakin, suamimu pasti tidak kekurangan uang untuk sekadar memberimu uang belanja atau jajan,” jawab teman Della.Della mengulas senyum, kemudian berkata, “Memang uang dari suamiku tidak kurang, tapi aku pun tidak ingin terlalu bergantu