Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak.
"Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.
Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.
Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta.
"Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan
Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata."Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri terasa.Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain."Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan."Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"--"Mas Dimas kepalanya ke
Sudah beberapa hari semenjak Dimas pulang. Salsa dan suaminya—Anggara, tentu saja senang akan hal itu."Kamu sudah siap ambil alih perusahaan Papa?" tanya Anggara. Malam itu Anggara mengajak bicara Dimas di ruang kerjanya.Dimas terkejut dengan pertanyaan Anggara, hingga pemuda itu menggaruk kepala tidak gatal."Jangan dulu, Pa. Kalau Papa mau aku belajar ngurus perusahaan, tidak masalah. Namun, untuk mengambil alih, sepertinya aku belum pantas," jawab Dimas.Meski Dimas berpendidikan tinggi, tapi dirinya belum pernah sama sekali mengelola perusahaan, hanya tahu teori tanpa praktek, tentu saja hal itu membuat Dimas masih ragu untuk mengambil alih perusahaan sang papa.Anggara tersenyum mendengar jawaban Dimas, benar-benar putra yang memiliki pemikiran baik dan tidak rakus. Ditawari pengambilan alih, tapi malah menolak dan memilih ingin belajar dulu."Baiklah, besok ikutlah ke perusahaan bersama Papa. Mulailah belajar agar kelak Papa bi
Dimas pulang dengan perasaan sangat senang, meski Della meminta untuk berpacaran terlebih dahulu, itu sudah cukup membuat Dimas merasa tenang."Baru pulang." Salsa yang tengah merangkai bunga di vas langsung menyapa putranya itu."Ya," jawab Dimas seraya berjalan mendekat ke arah Salsa. "Bunganya cantik," imbuh Dimas seraya menyentuh bunga yang tergeletak di meja."Oh ya, Dim. Kamu ingat Alen?" tanya Salsa."Alen? Alena?" tanya Dimas balik setelah mengingat."Ya, siapa lagi," jawab Salsa. Salsa meletakkan gunting yang dipegang, kemudian menghadap pada Dimas."Dia baru saja pulang dari prancis, sangat cantik dan masih lajang. Kamu mau nggak--"Tahu ke mana arah pembicaraan itu, dengan keras Dimas memotong ucapan sang mama."Tidak!""Tidak apa?" tanya Salsa keheranan."Mama pasti mau aku menemuinya, 'kan?" tanya Dimas menebak."Apa salahnya?" Salsa merasa heran dengan sikap Dimas.Dimas yang awal
Sudah beberapa bulan Dimas dan Della menjalin hubungan. Sampai waktu itu juga Dimas belum memberitahu perihal Della kepada keluarga, bukan karena tak mau, tapi karena Della sendiri masih menunggu surat cerainya."Del, ini sudah lima bulan. Apa kamu tidak mau bertemu orangtuaku?" tanya Dimas yang memang dari awal sudah berniat mengajak Della, naik ke jenjang selanjutnya."Bukannya nggak mau, tapi suratnya baru keluar bulan depan," jawab Della."Ya sudah, bulan depan ketemu keluargaku," ujar Dimas kemudian.Della terkejut dengan perkataan Dimas. Meski dirinya memberi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan Dimas, tapi bukan berarti harus cepat juga dalam naik tahap ke jenjang selanjutnya."Kita pikirkan saja lagi nanti, aku masuk ke rumah dulu," kata Della yang tak ingin memperpanjang pembahasan itu.Bukannya Della tak ingin, hanya takut jika keluarga Dimas tak bisa menerima. Secara, Dimas adalah orang kaya, anak laki-laki satu-satunya, bisa
Karena Dimas mengancam takkan mau bertemu lagi dengan Alena, jika gadis itu memaksa pergi ke Linch Resto, membuat Alena akhirnya menurut apa kata Dimas untuk makan di tempat lain."Apa di sini makanannya enak?" tanya Alena yang tampak tak senang dengan tempat makan yang dipilihkan Dimas."Makan yang penting masuk perut," jawab Dimas dengan sedikit nada ketus.Tentu saja Dimas tidak mau makan di Linch Resto, karena itu adalah tempat Della bekerja, restoran milik Livia.Alena mengerucutkan bibir karena sikap Dimas, tapi hanya demi bisa mendekati pemuda itu, membuat Alena hanya bisa menurut saja.--"Kenapa ngajak aku keluar?" tanya Susan. Kakak ipar Della itu kini tengah hamil 6 bulan."Suntuk, mumpung aku lagi libur juga," jawab Della dengan nada malas.Della memang meminta Susan untuk menemaninya jalan-jalan, sekedar melepas penat karena permasalahan dengan Dimas, di mana antara dirinya maupun Dimas sama-sama memilih di
Di sisi lain, Dimas yang sangat kesal mendengar ucapan Alena tadi, terlebih karena membuat Della semakin marah padanya."Siapa sih dia? Kenapa kamu sampai kejar dia?" tanya Alena yang memaksa ikut mobil Dimas.Dimas tidak bisa mengejar Della karena ada Alena, tidak bisa pula jujur karena Alena bisa saja mengadu pada Salsa."Tidak perlu tahu, yang terpenting kamu tidak usah mengadu pada mama!" Dimas bicara tegas pada Alena."Kenapa tidak boleh?" tanya Alena yang sepertinya tahu kalau Dimas menyimpan sesuatu."Pokoknya awas kalau mengadu!" ancam Dimas. Dimas hanya tak mau Salsa membenci Della sebelum dirinya memperkenalkan secara resmi, tak ingin Salsa menganggap kalau Della adalah pengganggu.Alena langsung menghadap Dimas, seakan ada sesuatu yang sedang dipikirkan olehnya."Mari buat perjanjian!" ajak Alena."Perjanjian, apa maksudmu?" tanya Dimas keheranan, sampai hampir tidak fokus karena ajakan Alena."Aku tidak akan
Dimas pergi dari rumah Della. Sepanjang jalan berpikir, apakah benar dugaan yang disebutkan Della? Apakah benar orangtuanya takkan setuju jika mengetahui status Della?"Aku harus mencari tahu, akan aku buktikan kalau penilaian Della tentang orangtuaku adalah salah."Dimas kembali ke rumah, hari itu ingin membuktikan jika semua yang dikatakan Della tidak benar. Dimas melihat Salsa yang sedang duduk di ruang keluarga bersama ayahnya, pemuda itu langsung menghampiri."Eh, baru pulang." Salsa tersenyum lebar melihat Dimas yang baru datang, bahkan wanita itu langsung duduk menghadap pada Dimas yang duduk di single sofa."Bagaimana?" tanya Salsa.Anggara sendiri memilih mendengarkan meski tatapan tertuju pada layar televisi yang sedang menayangkan berita."Apanya gimana, Ma?" tanya Dimas balik."Ya, bagaimana tadi jalan sama Alena? Dia cantik, 'kan?" Salsa terlihat sangat antusias ingin mendengar penilaian Dimas tentang Alena."Biasa
Dimas merasa bersalah karena tidak percaya dengan ucapan Della, hari itu datang ke resto dan berniat menemui Della untuk meminta maaf. Namun, sayangnya niat itu tidak terlaksana karena Della tidak datang hari itu."Della libur?" tanya Dimas memastikan. Saat ke resto hanya bertemu dengan Della."Iya, Mas. Katanya ambil cuti dua hari," jawab teman Della.Dimas pun berterima kasih atas info itu dan pergi dari sana. Ia tampak frustasi karena tidak bisa bertemu Della, hingga kemudian berpikir untuk mencari ke kontrakkan. Namun, Dimas lagi-lagi dibuat kecewa, kontrakkan Della terlihat sepi, bahkan lampu teras menyala, menandakan kalau Della tidak di rumah sejak semalam."Di mana kamu, Del?" Dimas mengguyar kasar rambut.Dimas mencoba menghubungi nomor Della, tapi ponsel janda satu anak itu tidak aktif, tentu saja membuat Dimas semakin bingung dan cemas."Apa dia di rumah tempat Bagas tinggal, ya?"Dimas buru-buru kembali ke mobil, dir