Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della.
"Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas mengerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.
Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai.
"Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pria itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit.
"Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.
Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan. Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi kemudian menaruh dagunya di atas lengan.
"Kalau kami melepasmu, maka yang ada kamu akan membocorkan perihal kami mengincar wanita itu. Tenang saja! Setelah kami mengurus wanita gila itu, kami akan melepasmu dan tidak akan melaporkan pada pihak yang berwajib sesuai janji kami. Jadi, baik-baik di sini dan jangan macam-macam! Ingat, pabrik bibit lele milikmu, nasib masa depannya ada di tanganku!" Della mengangkat satu tangannya ke depan wajah pria tadi, kemudian meremas udara dengan ekspresi wajah geram.
Dimas membulatkan bola mata lebar, ingin bicara tapi tidak bisa karena mulutnya disumpal dengan kain. Della yang sadar akan hal itu pun mengambil kain yang menyumpal, membuat Dimas langsung terbatuk sesaat.
"Mau ngomong apa? Protes lagi, awas!" ancam Della kembali mengepalkan tangan lalu mengarahkannya di depan wajah Dimas.
"Kamu ini psikopat atau apa, hah? Dari tadi yang dibahas pabrik lele terus! Mending aku mendekam dibalik jeruji dari pada pabrik leleku kamu binasakan! Dasar sadis!" geram Dimas dengan perasaan kesal karena kalah terhadap wanita.
"Oh, boleh. Nanti aku akan urus masalah kamu masuk ke balik jeruji besi," kata Della santai, "Aku memang psikopat, karena pria-pria seperti kalianlah yang membuatku jadi begini," lanjut Della mengiakan julukan yang dituduhkan padanya.
"Kenapa aku jadi ikut disalahkan?" tanya Dimas sedikit memprotes kata pria-pria yang artinya itu juga menyangkut dirinya.
Della mencebik kesal, bicara dengan pemuda cerewet memang tidak ada habisnya, lebih parah dari debat dengan emak-emak yang lagi rebutan barang diskonan.
"Karena gara-gara pria yang hanya memandang sebelah mata kepada seorang wanita. Tidak melihat mana yang tulus dan mana yang tidak, mengabaikan siapa yang setia, hingga tega melukai hanya demi kenikmatan sesaat. Kalian kira jika wanita diperlakukan seperti itu tidak akan berubah jadi psikopat, hah? Diselingkuhi saat kami tidak bisa melakukan hubungan intim, dengan alasan bahwa kami tidak menarik lagi setelah melahirkan, kalian kira kami tidak gila setelah itu!" Della terlampau kesal hingga akhirnya mengeluarkan apa yang dipendam selama ini.
Dimas tertegun dengan pengakuan Della, kemudian tertawa keras membuat Della terheran-heran dengan sikap Dimas.
"Heh, ngapain tertawa? Sudah nggak takut kalau pabrik bibit lelenya binasa?" tanya Della dengan sebuah penekanan di setiap kata.
Pemuda itu menggeleng, lantas menatap sendu pada Della, hingga membuat wanita itu semakin bingung.
"Apa kalian pikir hanya wanita saja yang mengalami hal itu? Bagaimana dengan kami para pria? Apa kalian tahu rasanya dibandingkan dengan pria lain yang lebih kaya dan mapan? Kalian takkan tahu rasanya," ujar Dimas yang tentu aja membuat Della tertegun sesaat.
"Kamu ngomong apa, sih?" tanya Della menolak paham.
Dimas menatap Della yang takkan mengerti tentang perasaannya sebagai pria. Ia hampir gila karena cinta hingga rela melakukan apapun demi gadis yang disukai, tapi yang didapat hanya kekecewaan. Meski begitu, bodohnya dia tetap mengikuti apa yang diinginkan oleh gadis yang sama sekali tidak mencintainya.
"Sudahlah, wanita bar-bar sepertimu tahu apa?" Dimas memalingkan wajah seakan enggan melihat wajah Della.
Della yang kesal dengan jawaban Dimas, langsung bangun den menghentakkan kursi.
"Dasar pabrik lele yang tahunya tanam saham tapi tak tahu rasanya mengelola!" gerutu Della yang kemudian memilih meninggalkan Dimas.
"Eh, eh! Apa maksudnya itu? Apa maksudnya pabrik lele tahunya tanam saham, Woi!"
Teriakan Dimas tidak digubris Della yang memilih masuk kamar.
Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya."Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang."Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu."Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan."Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squisi, lembek dan halu
"Apa?" tanya Della dengan nada membentak dan mata melotot."Ak-aku, butuh ke kamar mandi." Dimas tampak merapatkan kedua kaki, sepertinya ada panggilan alam yang harus dipenuhi."Terus?" Della masih saja pura-pura tidak peka."Ya ampun! Kamu ini sengaja atau bagaimana? Aku seriusan ini, kamu mau aku buang air di sini!" geram Dimas menahan panggilan alam yang sepertinya tidak bisa ditahan."EGP! Emang gue pikirin!" ketus Della yang hendak kembali melangkah ke dapur.Dimas benar-benar tidak tahan, masih menahan panggilan alam, juga menahan betapa sadisnya wanita yang menyekap dirinya."Tolong! Serius, aku tidak bisa menahannya lebih lama!" teriak Dimas dengan nada memelas.Della mencebikkan bibir, lantas berjalan kembali ke arah Dimas. Dengan tatapan tajam ia berdiri setengah membungkuk di hadapan pemuda itu."Aku izinin kamu ke kamar mandi, kalau berani berpikir atau bahkan kabur, aku remas burung berkicaumu!" ancam Della seraya
"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan."Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung."Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak mempercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.TOK! TOK! TOK!Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita
Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak."Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta."Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan
Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata."Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri terasa.Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain."Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan."Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"--"Mas Dimas kepalanya ke
Sudah beberapa hari semenjak Dimas pulang. Salsa dan suaminya—Anggara, tentu saja senang akan hal itu."Kamu sudah siap ambil alih perusahaan Papa?" tanya Anggara. Malam itu Anggara mengajak bicara Dimas di ruang kerjanya.Dimas terkejut dengan pertanyaan Anggara, hingga pemuda itu menggaruk kepala tidak gatal."Jangan dulu, Pa. Kalau Papa mau aku belajar ngurus perusahaan, tidak masalah. Namun, untuk mengambil alih, sepertinya aku belum pantas," jawab Dimas.Meski Dimas berpendidikan tinggi, tapi dirinya belum pernah sama sekali mengelola perusahaan, hanya tahu teori tanpa praktek, tentu saja hal itu membuat Dimas masih ragu untuk mengambil alih perusahaan sang papa.Anggara tersenyum mendengar jawaban Dimas, benar-benar putra yang memiliki pemikiran baik dan tidak rakus. Ditawari pengambilan alih, tapi malah menolak dan memilih ingin belajar dulu."Baiklah, besok ikutlah ke perusahaan bersama Papa. Mulailah belajar agar kelak Papa bi
Dimas pulang dengan perasaan sangat senang, meski Della meminta untuk berpacaran terlebih dahulu, itu sudah cukup membuat Dimas merasa tenang."Baru pulang." Salsa yang tengah merangkai bunga di vas langsung menyapa putranya itu."Ya," jawab Dimas seraya berjalan mendekat ke arah Salsa. "Bunganya cantik," imbuh Dimas seraya menyentuh bunga yang tergeletak di meja."Oh ya, Dim. Kamu ingat Alen?" tanya Salsa."Alen? Alena?" tanya Dimas balik setelah mengingat."Ya, siapa lagi," jawab Salsa. Salsa meletakkan gunting yang dipegang, kemudian menghadap pada Dimas."Dia baru saja pulang dari prancis, sangat cantik dan masih lajang. Kamu mau nggak--"Tahu ke mana arah pembicaraan itu, dengan keras Dimas memotong ucapan sang mama."Tidak!""Tidak apa?" tanya Salsa keheranan."Mama pasti mau aku menemuinya, 'kan?" tanya Dimas menebak."Apa salahnya?" Salsa merasa heran dengan sikap Dimas.Dimas yang awal
Sudah beberapa bulan Dimas dan Della menjalin hubungan. Sampai waktu itu juga Dimas belum memberitahu perihal Della kepada keluarga, bukan karena tak mau, tapi karena Della sendiri masih menunggu surat cerainya."Del, ini sudah lima bulan. Apa kamu tidak mau bertemu orangtuaku?" tanya Dimas yang memang dari awal sudah berniat mengajak Della, naik ke jenjang selanjutnya."Bukannya nggak mau, tapi suratnya baru keluar bulan depan," jawab Della."Ya sudah, bulan depan ketemu keluargaku," ujar Dimas kemudian.Della terkejut dengan perkataan Dimas. Meski dirinya memberi kesempatan untuk menjalin hubungan dengan Dimas, tapi bukan berarti harus cepat juga dalam naik tahap ke jenjang selanjutnya."Kita pikirkan saja lagi nanti, aku masuk ke rumah dulu," kata Della yang tak ingin memperpanjang pembahasan itu.Bukannya Della tak ingin, hanya takut jika keluarga Dimas tak bisa menerima. Secara, Dimas adalah orang kaya, anak laki-laki satu-satunya, bisa