Kanaya mendatangi sebuah rumah sederhana, bertekad mencari tahu siapa yang membocorkan rahasia hubungannya dengan pria yang menjadikannya selingkuhan.
"Maaf cari siapa, ya?" tanya seorang wanita ketika pintu terbuka.
Bukannya bersikap sopan, Kanaya langsung masuk dan mendorong wanita yang rumahnya didatangi.
"Katakan siapa bos kamu!" Kanaya menatap tajam wanita itu.
"Maaf, bos bagaimana ya? Anda siapa?" tanya wanita itu.
"Jangan pura-pura! Kamu kaki tangan seorang hacker, 'kan! Katakan siapa dia?" tanya Kanaya beringas.
Wanita itu terlihat terkejut, tapi mencoba menutupi dan berpura tak tahu.
"Saya tidak tahu!"
"Jangan bohong kamu!" Kanaya melayangkan tas ke arah tubuh wanita yang memang dilihatnya pernah menerima sejumlah uang dari istri pria selingkuhannya.
"Mbak ini siapa? Kenapa kasar?" Wanita itu terkejut ketika Kanaya memukulnya.
"Jawab, atau aku akan menghajarmu!" ancam Kanaya.
Wanita yang ternyata adalah karyawan restoran Livia dan juga kaki tangan Susan sebagai penerima bayaran kerjaan kakak ipar Della, terlihat takut. Ketika akan melawan, Kanaya kembali memukul bahkan langsung mengancam anak wanita itu yang baru saja sedang keluar dari kamar.
Akhirnya wanita yang menjadi kaki tangan Susan, memilih memberitahu identitas kakak ipar Della. Membuat Kanaya tersenyum puas.
-
-
Setelah mendapat info itu Kanaya menyusun rencana untuk membalas dan meminta bantuan Dimas.
Malam itu, Kanaya pergi ke sebuah klub, tentu saja itu klub milik keluarga Susan. Ia minum sedikit dan menyapukan blush on agar wajahnya terlihat memerah dan orang akan menyangka kalau mabuk.
Kanaya melihat pria yang ditarget, pria itu tentu saja Malik—suami Susan. Kanaya berniat membuat Malik dan Susan salah paham.
Kanaya masuk ke lift di mana Malik sudah berada di dalam. Berpura mabuk dan jatuh ketika pintu lift terbuka di lantai satu, membuat Malik panik dan langsung memapah Kanaya menuju sofa yang berada di resepsionis. Malik memanggil karyawan wanita untuk membantu mengurus Kanaya.
"Dia tidak sadarkan diri, tolong kamu cari info rumah atau siapa yang bisa dihubungi untuk menjemputnya!" perintah Malik.
Karyawan Malik langsung mengangguk dan melaksanakan yang diperintahkan Malik. Namun, Kanaya langsung pura-pura meracau dan memeluk Malik, sengaja agar aroma parfumnya menempel di pakaian pria itu.
Setelah karyawan Malik memesankan taksi dan membantu Kanaya masuk agar bisa diantar pulang. Kanaya langsung bersikap biasa, ia menghapus riasannya dengan tersenyum jahat.
"Lihat saja! Kamu sudah membuat hidup dan impianku hancur, karena itu aku juga akan menghancurkan hidup dan impianmu!" geram Kanaya seraya menggenggam erat tissue yang digunakan untuk membersihkan wajah.
Sopir taksi yang mengantar Kanaya terlihat bergedik ngeri saat melihat tatapan dan wajah penuh kebencian yang terpancar dari Kanaya.
-
-
Karena dibutakan cinta yang tak masuk akal, Dimas menuruti kata Kanaya untuk memantau Susan. Meminta agar mencelakai meski tak sampai serius, Kanaya beralasan jika ingin memberi pelajaran saja. Dimas tak tahu kalau sebenarnya Kanaya juga ingin membuat jurang kesalahpahaman antara Malik dan Susan.
Bahkan Dimas hampir membuat Susan celaka tapi untungnya kakak ipar Della itu hanya terkilir.
Siang itu, Dimas kembali mengawasi Susan yang sedang berada di sebuah Minimarket. Dirinya mengamati dari jauh seperti biasa.
"Aku sudah sekali mencoba membuat wanita itu celaka, kenapa Kanaya masih tidak puas?" Ketika Dimas sedang bermonolog, tanpa sadar ia kehilangan jejak Susan.
Dimas tampak panik, lantas mencoba mencari keberadaan Susan.
"Cari siapa?" Tiba-tiba Susan sudah berada di belakang Dimas, menepuk pundak pemuda itu hingga membuat terkejut.
Dimas kebingungan karena dirinya sudah ketahuan, lantas menepis tangan Susan dan berlari dari sana. Susan mengejar Dimas yang berlari sangat kencang. Beberapa orang yang melihat aksi kejar-kejaran itu hanya menyaksikan karena tidak tahu dengan apa yang terjadi.
"Woiii! Jangan lari!" teriak Susan masih mengejar Dimas yang berlari mengarah pada gang sempit.
Setelah bicara dengan Livia, akhirnya Della pun mencari rumah kontrakan yang murah untuknya. Ia akan mampir ke rumah Livia setelah pulang kerja, terkadang Livia yang membawa Bagas ke restoran agar Della bisa melihat putranya itu.Hingga tanpa terasa Della sudah bekerja di restoran Livia selama 5 bulan lamanya, menjalani hidup sebagai janda anak satu. Ia bersyukur karena Bagas terjamin kehidupannya bersama Livia dan Juan. Bayi mungil itu kini hampir berumur satu tahun dan tampak sehat serta terawat."Dompet, ponsel, apalagi yang belum?" Della tengah bersiap pergi ke restoran untuk bekerja seperti biasa."Ah, sudah semua."Della pun mencangklong tali tas menyilang di depan dada, berjalan keluar rumah untuk mencari taksi. Ia pun berangkat ke restoran untuk bekerja menggunakan taksi karena sudah kesiangan.Della duduk di kursi belakang dengan menyangga dagu, menatap jalanan yang tampak ramai, hingga tatapannya tertuju pada sosok yang dikenalnya.
Malang nasib Dimas, pemuda itu kini disekap di rumah kontrakan Della. Mau memberontak tidak bisa, mengingat betapa garangnya Della."Aku sudah mengatakan yang sejujurnya, kenapa kalian tidak melepaskan 'ku?" tanya Dimas yang kini kedua tangan diikat ke belakang kursi. Dimas mengerakkan pergelangan tangannya terus menerus berharap agar ikatannya bisa lepas.Della tidak jadi pergi ke restoran. Ia menerima tugas dari Susan untuk menjaga sementara Dimas agar tidak kabur sampai Susan menemukan wanita berniat mencelakai."Berisik!" bentak Della seraya menggosok telinga seakan sedang mengejek pria itu jika pertanyaannya membuat telinga Della sakit."Kalian mau apa lagi?" tanya Dimas setengah berteriak, tak menyangka nasibnya akan sesial itu.Karena merasa jika Dimas benar-benar cerewet, Della menyumpal mulut dengan kain. Ia lantas mengambil kursi dan duduk dengan posisi sandaran kursi yang berada di depan. Della melipat kedua tangan di atas sandaran kursi
Della menggerutu di dalam kamar, menengok berulang kali pada jam yang ada di ponsel, berharap Susan cepat datang agar dirinya tidak berlama-lama dengan pemuda cerewet yang kini menjadi tawanannya."Susan kapan datang, sih? Satu jam lagi bersama pemuda itu, mungkin aku akan ikut sinting!" gerutu Della.Tiba-tiba perutnya terdengar keroncongan, sepertinya cacing di perut hendak meminta jatah makan siang."Agh, lapar! Biasanya jam segini makan siang enak di restoran, gara-gara si pabrik lele membuatku tertahan di rumah!"Della pun keluar dari kamar, lantas menengok sekilas ke arah Dimas yang memejamkan mata tapi terlihat menahan sesuatu."Apa dia juga lapar?" tanya Della dalam hati, padahal menolak peduli, tapi entah kenapa juga merasa kasihan."Heh, bodoh ah!" Della berjalan ke dapur, mencari sesuatu yang bisa dimasak.Namun, meski Della galaknya melebihi sipir hotel prodeo, tapi tetap saja hatinya selembut squisi, lembek dan halu
"Apa?" tanya Della dengan nada membentak dan mata melotot."Ak-aku, butuh ke kamar mandi." Dimas tampak merapatkan kedua kaki, sepertinya ada panggilan alam yang harus dipenuhi."Terus?" Della masih saja pura-pura tidak peka."Ya ampun! Kamu ini sengaja atau bagaimana? Aku seriusan ini, kamu mau aku buang air di sini!" geram Dimas menahan panggilan alam yang sepertinya tidak bisa ditahan."EGP! Emang gue pikirin!" ketus Della yang hendak kembali melangkah ke dapur.Dimas benar-benar tidak tahan, masih menahan panggilan alam, juga menahan betapa sadisnya wanita yang menyekap dirinya."Tolong! Serius, aku tidak bisa menahannya lebih lama!" teriak Dimas dengan nada memelas.Della mencebikkan bibir, lantas berjalan kembali ke arah Dimas. Dengan tatapan tajam ia berdiri setengah membungkuk di hadapan pemuda itu."Aku izinin kamu ke kamar mandi, kalau berani berpikir atau bahkan kabur, aku remas burung berkicaumu!" ancam Della seraya
"Kak, aku tidak yakin," kata Della yang mengkhawatirkan keselamatan Susan."Tidak apa," balas Susan mengusap tangan Della yang menahan lengannya.Akhirnya mereka pun mengikuti langkah Dimas. Mereka naik ke lantai lima gedung itu. Della sudah pasang alarm peringatan, jangan sampai dia lengah dan membahayakan keselamatan dirinya dan Susan.Begitu sampai di lantai itu, Dimas menunjukkan kamar yang berada di ujung."Kalian tunggu dulu, setelah dia membuka pintu, kalian baru keluar," ujar Dimas yang langsung mendapat anggukan dari Susan.Dimas beralih menatap Della, tahu jika wanita itu tidak mempercayai dirinya. Namun, meski begitu Dimas tetap berusaha agar niatannya dapat diterima, karena sesungguhnya juga tidak ingin jadi orang jahat, hanya cinta saja yang sudah membutakan mata hati.TOK! TOK! TOK!Dimas mulai mengetuk pintu, Susan dan Della tampak berjaga-jaga. Hingga saat pintu terbuka, Susan langsung menghampiri dan mendorong wanita
Kanaya tersenyum getir, tidak menyangka jika pemuda yang dimanfaatkan kini berpaling darinya. Karena kesal, Kanaya meraih sesuatu dari dalam tasnya, sepertinya wanita itu benar-benar sudah dibuat gila oleh harta, hanya bisa memikirkan kenikmatan duniawi dan bagaimana dirinya bisa hidup enak."Mati saja bersamanya!" Kanaya mengeluarkan pisau dan mengarahkan pada Dimas.Dimas pasang badan untuk Susan dan menghalau Kanaya, berjaga-jaga jika menyerang secara membabi buta.Della yang melihat hal itu pun langsung berlari, dengan sigap meraih pergelangan tangan Kanaya di mana pisau itu hampir mengenai perut Dimas. Ia kemudian memutar lengan Kanaya dan menguncinya di belakang punggung, mendorong tubuh Kanaya hingga jatuh ke lantai, Della masih menahan Kanaya yang terus meronta."Diam kamu! Dasar wanita tak tahu diuntung! Sudah dicintai tapi tidak bisa menghargai, kamu ini wanita serakah, sudah seharusnya binasa saja dari dunia ini!" umpat Della yang kesal dengan
Dimas ikut pergi dari apartemen itu, menatap punggung yang berjalan jauh dari pandangan mata."Dia berbeda? Atau karena aku yang tidak pernah melihat wanita lain, hingga menganggap berbeda," gumamnya dengan masih terus melangkahkan kaki.Dimas menutup kepala yang terluka dengan sapu tangan Della, masih terasa nyeri terasa.Della duduk di kursi belakang dengan kedua tangan bersidekap, menunggu Susan dan Malik mengantarnya pulang setelah tugas membantu kakak iparnya selesai. Sekilas Della melirik ke arah Dimas yang masih berdiri menatap mobil mereka, hingga memilih mengalihkan tatapan ke arah lain."Dia baik-baik saja, 'kan? Bukankah itu hanya luka kecil," gumam Della dalam hati.Begitu mobil Susan meninggalkan area itu, Dimas langsung mengeluarkan ponsel dan mengaktifkan setelah daya mati karena memang sengaja tidak dinyalakan saat memantau Susan."Pak Slamet, jemput aku! Aku mau pulang!"--"Mas Dimas kepalanya ke
Sudah beberapa hari semenjak Dimas pulang. Salsa dan suaminya—Anggara, tentu saja senang akan hal itu."Kamu sudah siap ambil alih perusahaan Papa?" tanya Anggara. Malam itu Anggara mengajak bicara Dimas di ruang kerjanya.Dimas terkejut dengan pertanyaan Anggara, hingga pemuda itu menggaruk kepala tidak gatal."Jangan dulu, Pa. Kalau Papa mau aku belajar ngurus perusahaan, tidak masalah. Namun, untuk mengambil alih, sepertinya aku belum pantas," jawab Dimas.Meski Dimas berpendidikan tinggi, tapi dirinya belum pernah sama sekali mengelola perusahaan, hanya tahu teori tanpa praktek, tentu saja hal itu membuat Dimas masih ragu untuk mengambil alih perusahaan sang papa.Anggara tersenyum mendengar jawaban Dimas, benar-benar putra yang memiliki pemikiran baik dan tidak rakus. Ditawari pengambilan alih, tapi malah menolak dan memilih ingin belajar dulu."Baiklah, besok ikutlah ke perusahaan bersama Papa. Mulailah belajar agar kelak Papa bi