Nayla terdiam di pojok ruangan dengan tangan di kusen jendela. Ia menatap ke keluar yang udaranya sejuk. Rindu akan tempatnya tumbuh kembang lagi. Rindu dengan keluarga yang membesarkannya.Davin baru saja masuk. Dengan membawa segelas susu dan roti isi yang ia buat sendiri, lelaki itu menghampiri Nayla. "Nay, sarapan dulu." Davin mengulurkan apa yang ada di tangannya. "Makasih, Mas Davin." Nayla menerimanya. Akan tetapi, saat Davin mundur dua langkah untuk duduk di tepi ranjang, Nayla berdiri dan meletakkan piring serta gelas itu ke atas meja rias. Nayla memutuskan untuk keluar kamar, tetapi Davin mencegahnya. "Kenapa, Nay? Kenapa kamu tidak memakannya? Apakah kamu masih marah?" "Maaf, Mas Davin. Untuk apa saya marah? Tidak ada alasan untuk saya marah. Saya hanya ingin sendiri."Gadis itu menghela napas. Pergi bersama hatinya yang berkecamuk. Davin tak pernah menjelaskan tentang perasaannya. Namun, begitu melihat lelaki itu berpelukan dengan Fia, perih sekali. Nayla ingin melupaka
Pria berkemeja putih itu mengusap kepala istrinya. Di atas tempat tidur, Davin mematung tatapannya. Ia menunggu istrinya yang belum juga membuka mata. Saat Nayla mulai menggerakkan jemarinya dan menarik tangan dari genggaman Davin, pria itu terkesiap. Ia menegakkan lagi punggungnya dan menarik napas dalam-dalam. "Nay ...."Nayla membuka mata. Ia melihat Davin di sampingnya tengah menatap dengan seksama. Gadis itu terkejut dan segera bangkit. Namun, kepalanya masih terasa sangat sakit. Nayla meringis dan menekan kening."Jangan bangun dulu. Istirahat saja. Aku akan menemanimu," kata Davin seraya meminta Nayla tiduran lagi."Saya kenapa, Mas?" tanya Nayla dengan perasaan bimbang. Ia bingung melihat ekspresi wajah suaminya yang aneh."Kamu pingsan tadi." Davin menunduk sejenak. Ia ragu ingin melanjutkan ucapannya. "Nay, aku mau tanya sesuatu padamu. Tolong jawab jujur."Nayla menatap Davin dengan penuh tanya. "Tanya apa, Mas?""Nay, aku menemukan tespek di kamar mandi." Seketika kedua
Pagi itu, Davin sudah siap dengan setelan kantornya. Namun, Nayla tak kunjung menemuinya. Wanita muda itu entah ke mana. Rumah sepi dan tak ada suara apapun. Saat Davin mencarinya ke samping dan ke semua sudut ruangan, ia tak juga menemukan istrinya.Namun, di meja makan sudah terdapat sarapan dan bekal. Kening Davin berkerut. Ia mulai menduga-duga. Bekal makan dalam kotak plastik itu segera ia masukkan ke dalam tas. Lalu, keluar dan membuka gerbang. Sebuah pemandangan yang mengejutkan saat pintu besi itu ia geser. Nayla duduk di bangku depan rumah dengan wajah melamun. Gadis itu menarik sesuatu dalam hidungnya. Akan tetapi, ia tak menoleh saat suara pintu gerbang terdorong. Davin dengan langkah pelan mulai mendekat. Lalu, duduk di sebelah istrinya. "Kenapa malah di sini? Aku cari kamu ke mana-mana." Davin menatap tanah berpaving lalu kembali ke depan."Enggak apa-apa, Mas. Cuman mau liat mobil lewat," balas Nayla tanpa menatap."Ayo, masuk!" Davin menggeret tangan Nayla dengan tanp
"Davin!" Davin segera berdiri tegak. Ia membalik badan ingin segera pergi dari sana. Muak sudah menatap wajah gadis yang dahulu ia kira baik-baik dan polos itu. Ternyata benar naluri Mamanya tentang gadis itu. "Davin, tunggu! Tolong aku, Dav." "Kupikir kamu bisa bangun sendiri, Fi. Jangan mengira kalau aku bodoh! Aku tau, kau menyuruhku ke sini untuk menjebakmu, bulan? Hina sekali caramu. Kotor!" Davin segera pergi dari sana dan mengeluarkan kunci mobilnya. Ia bergegas pulang karena ingin bertemu dengan sang istri. Rasa-rasanya, sudah sangat rindu sekali. Mobil meluncur pada jalanan yang mulai basah karena hujan yang telah merata. Hawa sejuk kali ini semakin menyiksa diri kala jauh dari Nayla. Sampai di rumah, ia berencana ingin memberikan kejutan. Mobil berhenti di depan sebuah toko coklat. Pria tampan dengan jas setengah basah karena hujan itupun segera berteduh di toko seraya memesan buket berisi aneka coklat. Setelah membayar, Davin kembali ke dalam mobil. Pulang dengan per
Siang itu, tepatnya saat Davin libur kerja, dia sibuk membersihkan kolam renang. Nayla yang memerhatikannya sejak tadi tampak kasihan. Selangkah ingin membantu suaminya, tetapi gadis itu urungkan lagi. Sebab, Davin pasti tak mau dibantu. Sejak hamil, Davin seringkali melarang Nayla mengerjakan pekerjaan yang berat. Termasuk membantu suaminya sendiri. Hanya masak saja, jika ingin makan di rumah. Namun, seringnya lelaki itu mengajak makan di luar dengan alasan istrinya tak boleh lelah. "Mas Davin, minum dulu." Nayla datang dengan nampan satu gelas minuman dingin. Ia meletakkannya di atas meja taman dekat Davin berjongkok."Makasih, Nay." Lelaki dengan kaus putih dan celana selutut itupun segera duduk dan meneguk minumannya. "Mas, hari ini ada jadwal periksa kandungan." Dengan malu-malu, Nayla menyampaikan sebuah kabar. Ia khawatir kalau Davin tidak bisa mengantarnya."Oh ya? Kenapa kamu baru bilang? Sekalian kita beli baju buat dia, ya." Davin meraih kepala Nayla dan menciumnya. Mere
"Siapa dia, Mas?" Tahan Nayla menyentuh lengan Davin. Wanita cantik dengan lesung di pipi itu tampak ketakutan. Tangan dan kakinya dingin menatap mobil yang lewat di depan mereka. Tak tampak sama sekali wajah sang penghuni mobil yang sejak tadi mengejar mereka. Entah sebab takut karena mereka di area padat penduduk atau hal lain, yang jelas setelah mereka melewati ketegangan sesaat tadi, suasana kembali mencair. "Mas, apakah kita sudah aman?" tanya Nayla lagi. "Sudah Nay. Sepertinya hanya perasaan kita saja yang terlalu berlebihan. Kita kembali ke mobil saja."Mereka pulang lagi setelah mengurungkan niat yang tadinya ingin periksa kandungan sekalian berbelanja. Davin menatap langit-langit kamar teringat kejadian siang tadi. Sebenarnya, ia masih curiga dengan sosok yang tak tampak di dalam mobil itu. Satu kecurigaannya hanya tertuju pada satu wanita. Yaitu Fia. Sudah beberapa jam berlalu, pria itu tak juga bisa tidur. Ia teringat masa lalunya dengan Fia. Wanita itu mungkin tak dapa
Davin tak bisa menolak lagi. Ia tak tega dengan keadaan Fia. Gadis itu pucat sekali. Terpaksa pria beristri itu harus menginap di rumah sakit bersama mantan kekasihnya. Namun, hati tetap tak tenang karena ia teringat sang istri yang pasti sudah menunggu. Malam larut dengan cepat, Davin merebahkan diri di atas sofa. Ponsel ditekan tak kunjung keluar gambar. Baterai habis, hati makin merana. Bagaimana ia bisa mengabari Nayla. Davin terjerembab ketika Fia merintih kesakitan. Pria itu mendekati gadis berpakaian piyama biru. "Fia. Kamu kenapa?""Davin, jangan tinggalkan aku." Fia menarik tubuh pria dewasa itu ke dalam pelukanya. "Fi ....""Fia, lepaskan aku.""Fia!"Davin berusaha melepaskan, tetapi tubuh Fia teramat panas saat mereka saling bersentuhan kulit. Davin pun segera menekan tombol panggil di dekat ranjang rumah sakit. Tak lama, perawat datang bersama seorang dokter. Mereka segera memeriksa pasien. Davin diminta keluar lebih dulu. Sejenak, pria itu menatap atap depan ruangan
"Saya sudah berbaik hati dengan menemani Fia di rumah sakit, Tante. Padahal itu bukan tanggung jawa saya. Dia di sana dijagain sama suster, jadi bukan salah saya kalau saya pulang. Sekali lagi saya tekankan sama Tante, Fia bukan siapa-siapa saya."Karena penasaran dengan obrolan suami dan wanita itu, Nayla akhirnya keluar dari dalam mobil. Ia mendengar apa yang diucapkan suaminya itu barusan. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. "Jadi semalam kamu menemani dia, Mas?" lirih Nayla dengan air mata yang hampir terjatuh. Sentuhan angin lembut merobohkan dinding pertahanan. Nayla merasa kecewa dengan pria itu. "Nay ... ini tidak seperti yang kamu kira. Nay!" Davin yang menoleh sekilas langsung mengejar istrinya yang melangkah ke belakang. Ingin kembali ke rumah. Dan, menumpahkan segala sesak di dada. "Nay, tunggu!" Davin berhasil mencegah langkah Nayla dengan tangannya. "Mas, aku sepertinya kurang enak badan. Kita tunda dulu saja periksanya. Aku mau istirahat," bohong Nayla. Seb