"Saya sudah berbaik hati dengan menemani Fia di rumah sakit, Tante. Padahal itu bukan tanggung jawa saya. Dia di sana dijagain sama suster, jadi bukan salah saya kalau saya pulang. Sekali lagi saya tekankan sama Tante, Fia bukan siapa-siapa saya."Karena penasaran dengan obrolan suami dan wanita itu, Nayla akhirnya keluar dari dalam mobil. Ia mendengar apa yang diucapkan suaminya itu barusan. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. "Jadi semalam kamu menemani dia, Mas?" lirih Nayla dengan air mata yang hampir terjatuh. Sentuhan angin lembut merobohkan dinding pertahanan. Nayla merasa kecewa dengan pria itu. "Nay ... ini tidak seperti yang kamu kira. Nay!" Davin yang menoleh sekilas langsung mengejar istrinya yang melangkah ke belakang. Ingin kembali ke rumah. Dan, menumpahkan segala sesak di dada. "Nay, tunggu!" Davin berhasil mencegah langkah Nayla dengan tangannya. "Mas, aku sepertinya kurang enak badan. Kita tunda dulu saja periksanya. Aku mau istirahat," bohong Nayla. Seb
"Davin! Kamu ke mana aja?" Wajah Fia sendu. Tampak seperti habis menangis. "Maaf, Fia. Aku harus pergi." "Tunggu, Vin!" Fia menarik tangan Davin. Ia mengiba lagi dan lagi. "Lepaskan aku, Fia! Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Maafkan aku. Aku hanya ingin hidup tenang dengan istriku. Please, jangan ganggu ataupun mencoba meminta belas kasihanku."Fia tertegun mendengar penuturan Davin. Ia menatap punggung kekar berbalut kemeja biru itu hingga lenyap dari pandangan mata. Sementara perawat yang ada di belakang dengan tangan masih memegang gagang kursi roda pun menunduk, tak ingin ikut campur.Fia diantar lagi masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya dari ruangan lain untuk keperluan pemeriksaan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam seraya mengepalkan tangan erat-erat. Ia bersumpah dalam hati tidak akan tinggal diam setelah ini. Semua rencananya telah sia-sia belaka. Fia berubah menjadi gadis yang sangat agresif berambisi mendapatkan Davin lagi. Setelah kejadian hari itu, ia akan membu
Kedua tangan bersedekah di dada. Kedua mata penuh air mata. Sambil menyandar jendela kaca dan menatap rembulan penuh cahaya. Saat ia menyadari ada yang mendekat dari belakang, buru-buru menghindar. Nayla mulai menarik selimut dan memunggungi arah jendela tadi. Davin hanya bisa menghela napas panjang sembari mengakui kesalahannya. Ia paham Nayla baru saja pulih dari sakit akibat keguguran. Namun, sekuat tenaga ia tak akan pernah membiarkan Nayla pergi darinya. Satu pekan sudah berada di rumah, mereka berdua tak ada pembicaraan. Seperti hidup sendiri-sendiri. Meski Davin tetap memberikan nafkah lahir, setiap kali ia memulai percakapan, Nayla selalu menghindar. Seolah tak melihat keberadaan Davin di rumah itu. "Kenapa sih, Bro? Lu kayaknya murung terus dari beberapa hari ini." Seorang teman kantor datang menepuk pundak Davin yang tengah duduk di kantin. "Pusing gua," balas Davin dengan spontan. Ia menjawab dengan malas dan sekenanya saja. Andro dan Bima datang lalu ikut duduk di kur
"Jangan, Mas! Aku masih sakit. Aku enggak bisa melayani kamu.""Tapi aku lebih tak tahan lagi kalau kamu mendiamkanku. Nay, jangan membuatku ...."Davin langsung membungkam Nayla dengan kecupan saat mereka sudah berada di atas tempat tidur. Seketika kedua mata Nayla melotot. Kedua tangannya menekan dada Davin yang kekar itu. "Mas Davin, sudah! Kumohon."Davin pun segera memberi ruang. Ia menjeda keinginannya itu. "Berjanjilah padaku, kalau kau tidak akan begini lagi. Aku berani bersumpah, Nay. Aku jujur. Di hatiku hanya ada kamu."Nayla tak bisa berkata-kata. Ia tak mampu menjawab karena melihat kedua mata Davin tanpa kebohongan. Sekali lagi, ia ingin memberi kesempatan pada pria itu. "Mas, aku hanya punya satu kesempatan untukmu. Kalau kamu menyia-nyiakan lagi, atau kamu kembali dengan dengan wanita itu, maaf saja. Aku lebih baik memilih pergi. Kamu harus melepaskanku.""Aku janji, Nay. Aku tak bisa tanpamu. Aku mencintaimu."Suasana mencair seiring kepercayaan kembali dalam rumah t
Siang itu, kebetulan Nayla kedatangan tamu yang mengantar surat. Seorang lelaki berseragam orange menekan bel pada luar gerbang. Satpam rumah itu belum juga bisa masuk karena sakit. Nayla terpaksa melihat ke luar. "Iya, ada apa ya?""Maaf, Bu. Ada surat, silakan diterima."Nayla mengayunkan tangannya. "Terima kasih, Pak." Baru saja pria itu pergi dengan sepeda motornya, sebuah mobil maju dan berhenti tepat di depan Nayla. Nayla yang curiga pun bergegas ingin menutup pintu. "Tunggu!" teriak seorang wanita dengan high heels setinggi lima Senti dan blazer hitam melapisi tubuh seksinya. Nayla melihat Fia keluar dari mobilnya. "Ada apa ya?""Boleh aku masuk ke dalam rumah? Aku hanya ingin ngobrol sama kamu. Sebelumnya aku udah izin sama Davin, mantan kekasihku yang terpaksa menikah denganmu."Nayla tersentak. Ia ragu mengizinkan wanita itu masuk. Akan tetapi, Fia malah menyerobot saja. Nayla hanya bisa menggeleng kepalanya. Ia memastikan keadaan sekitar. Lalu, ikut masuk karena Fia sud
Davin tampak kebingungan. Sudah sejak tadi memanggil dan mencari di mana Nayla berada, tetapi tak juga menemukan sang istri. Saat ia terjatuh di atas sofa ruang tamu, Davin tak sengaja melihat telepon berkabel berserakan juga sebuah foto yang sempat membuat Nayla syok. Kedua mata Davin melotot. Pria tampan dengan kemeja biru itu meremas foto tadi hingga tak utuh lagi. Davin keluar dan mencari jejak Nayla. Saat hampir menyerah, tiba-tiba seorang wanita tua, tetangga mereka memanggil dari balik pagar."Mas Davin!""Mas Davin!"Davin menoleh dengan cepat. Ia segera turun dari tangga ringan menuju wanita tua itu. "Ada apa ya, Bu?""Anu, Mas. Mbak Nayla tadi digotong sama warga karena ditemukan pingsan di rumah. Untung aja ada tetangga yang datang dan segera menolong.""Apa, Bu? Nayla pingsan? Terus, sekarang di mana Nayla?" Berdebar dada pria itu sambil berbicara. "Di rumah sakit, Mas. Diantar salah satu warga juga naik mobil. Udah dari pagi, kok. Mendingan sekarang, Mas Davin, ke sana,
Pagi itu, Nayla dibawa oleh dua orang yang menolongnya saat pingsan kapan lalu. Wanita muda yang tubuhnya semakin kurus kering itu kini dibantu duduk di sebuah kamar bernuansa putih. Bunga pajangan pun berwarna putih bersih. Seputih wajah pucat Nayla yang tengah mengembus napas berat."Makasih banyak, Tan, Mas Reno." Wanita dengan wajah teduh itupun lantas ikut duduk di pinggir ranjang. Ia sangat sedih menatap Nayla. "Nay, mulai sekarang tinggal saja di sini. Tante tidak ada temannya. Reno sibuk di kantor."Nayla menunduk. "Nayla sudah terlalu merepotkan Tante Maya." Ada buliran bening menetes di pipi. Lalu, disapunya dengan tangan dingin."Enggak, Nay. Aku sama Mama dengan senang hati menyambut kamu. Kami tau ... kamu butuh tempat tinggal. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Setelah kamu mau cerita tentang keluargamu, kami semakin mantap untuk membawamu tinggal di sini." Reno, lelaki tampan dengan tubuh maskulin itu menatap Nayla. "Benar apa kata Davin, Nay. Sudahlah, jangan dibaha
"Makasih ya, Nay. Aku berangkat dulu." Ketika Reno melangkah melewatinya, Nayla baru tersadar dari lamunan sesaat. Ia melihat bayangan Davin. Hatinya kembali sakit. Ia masih menjadi istri dari Davin. Namun, dia malah membenahi dasi pria lain. Pilu menggelitik jiwa, raga membekas luka. Nayla bimbang. Ia malah terduduk di pinggir ranjang kamar Davin. Pria itu kembali ke kamar karena sesuatu tertinggal. Saat mendapati Nayla terisak dalam lirih, Reno bergegas mendekat. "Nay, kamu kenapa?" Reno duduk tepat di depan Nayla. Ia meletakkan lagi tas kerja dan jas hitam yang sempat tersampir di tangan."Em. Enggak, Mas. Aku hanya kelilipan saja," bohong Nayla. Ia segera berpaling dan mengusap wajah. "Nay, aku tau. Kau pasti masih teringat suamimu. Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau ingin kembali padanya. Dengan senang hati, aku akan mewakilkanmu untuk memperbaiki hubungan dengan Davin.""Tidak. Tidak, Mas. Aku enggak apa-apa.""Jangan bohong kamu, Nay. Aku tau. Curhat saja sama aku, Nay.
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k