Davin tak bisa menolak lagi. Ia tak tega dengan keadaan Fia. Gadis itu pucat sekali. Terpaksa pria beristri itu harus menginap di rumah sakit bersama mantan kekasihnya. Namun, hati tetap tak tenang karena ia teringat sang istri yang pasti sudah menunggu. Malam larut dengan cepat, Davin merebahkan diri di atas sofa. Ponsel ditekan tak kunjung keluar gambar. Baterai habis, hati makin merana. Bagaimana ia bisa mengabari Nayla. Davin terjerembab ketika Fia merintih kesakitan. Pria itu mendekati gadis berpakaian piyama biru. "Fia. Kamu kenapa?""Davin, jangan tinggalkan aku." Fia menarik tubuh pria dewasa itu ke dalam pelukanya. "Fi ....""Fia, lepaskan aku.""Fia!"Davin berusaha melepaskan, tetapi tubuh Fia teramat panas saat mereka saling bersentuhan kulit. Davin pun segera menekan tombol panggil di dekat ranjang rumah sakit. Tak lama, perawat datang bersama seorang dokter. Mereka segera memeriksa pasien. Davin diminta keluar lebih dulu. Sejenak, pria itu menatap atap depan ruangan
"Saya sudah berbaik hati dengan menemani Fia di rumah sakit, Tante. Padahal itu bukan tanggung jawa saya. Dia di sana dijagain sama suster, jadi bukan salah saya kalau saya pulang. Sekali lagi saya tekankan sama Tante, Fia bukan siapa-siapa saya."Karena penasaran dengan obrolan suami dan wanita itu, Nayla akhirnya keluar dari dalam mobil. Ia mendengar apa yang diucapkan suaminya itu barusan. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. "Jadi semalam kamu menemani dia, Mas?" lirih Nayla dengan air mata yang hampir terjatuh. Sentuhan angin lembut merobohkan dinding pertahanan. Nayla merasa kecewa dengan pria itu. "Nay ... ini tidak seperti yang kamu kira. Nay!" Davin yang menoleh sekilas langsung mengejar istrinya yang melangkah ke belakang. Ingin kembali ke rumah. Dan, menumpahkan segala sesak di dada. "Nay, tunggu!" Davin berhasil mencegah langkah Nayla dengan tangannya. "Mas, aku sepertinya kurang enak badan. Kita tunda dulu saja periksanya. Aku mau istirahat," bohong Nayla. Seb
"Davin! Kamu ke mana aja?" Wajah Fia sendu. Tampak seperti habis menangis. "Maaf, Fia. Aku harus pergi." "Tunggu, Vin!" Fia menarik tangan Davin. Ia mengiba lagi dan lagi. "Lepaskan aku, Fia! Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Maafkan aku. Aku hanya ingin hidup tenang dengan istriku. Please, jangan ganggu ataupun mencoba meminta belas kasihanku."Fia tertegun mendengar penuturan Davin. Ia menatap punggung kekar berbalut kemeja biru itu hingga lenyap dari pandangan mata. Sementara perawat yang ada di belakang dengan tangan masih memegang gagang kursi roda pun menunduk, tak ingin ikut campur.Fia diantar lagi masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya dari ruangan lain untuk keperluan pemeriksaan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam seraya mengepalkan tangan erat-erat. Ia bersumpah dalam hati tidak akan tinggal diam setelah ini. Semua rencananya telah sia-sia belaka. Fia berubah menjadi gadis yang sangat agresif berambisi mendapatkan Davin lagi. Setelah kejadian hari itu, ia akan membu
Kedua tangan bersedekah di dada. Kedua mata penuh air mata. Sambil menyandar jendela kaca dan menatap rembulan penuh cahaya. Saat ia menyadari ada yang mendekat dari belakang, buru-buru menghindar. Nayla mulai menarik selimut dan memunggungi arah jendela tadi. Davin hanya bisa menghela napas panjang sembari mengakui kesalahannya. Ia paham Nayla baru saja pulih dari sakit akibat keguguran. Namun, sekuat tenaga ia tak akan pernah membiarkan Nayla pergi darinya. Satu pekan sudah berada di rumah, mereka berdua tak ada pembicaraan. Seperti hidup sendiri-sendiri. Meski Davin tetap memberikan nafkah lahir, setiap kali ia memulai percakapan, Nayla selalu menghindar. Seolah tak melihat keberadaan Davin di rumah itu. "Kenapa sih, Bro? Lu kayaknya murung terus dari beberapa hari ini." Seorang teman kantor datang menepuk pundak Davin yang tengah duduk di kantin. "Pusing gua," balas Davin dengan spontan. Ia menjawab dengan malas dan sekenanya saja. Andro dan Bima datang lalu ikut duduk di kur
"Jangan, Mas! Aku masih sakit. Aku enggak bisa melayani kamu.""Tapi aku lebih tak tahan lagi kalau kamu mendiamkanku. Nay, jangan membuatku ...."Davin langsung membungkam Nayla dengan kecupan saat mereka sudah berada di atas tempat tidur. Seketika kedua mata Nayla melotot. Kedua tangannya menekan dada Davin yang kekar itu. "Mas Davin, sudah! Kumohon."Davin pun segera memberi ruang. Ia menjeda keinginannya itu. "Berjanjilah padaku, kalau kau tidak akan begini lagi. Aku berani bersumpah, Nay. Aku jujur. Di hatiku hanya ada kamu."Nayla tak bisa berkata-kata. Ia tak mampu menjawab karena melihat kedua mata Davin tanpa kebohongan. Sekali lagi, ia ingin memberi kesempatan pada pria itu. "Mas, aku hanya punya satu kesempatan untukmu. Kalau kamu menyia-nyiakan lagi, atau kamu kembali dengan dengan wanita itu, maaf saja. Aku lebih baik memilih pergi. Kamu harus melepaskanku.""Aku janji, Nay. Aku tak bisa tanpamu. Aku mencintaimu."Suasana mencair seiring kepercayaan kembali dalam rumah t
Siang itu, kebetulan Nayla kedatangan tamu yang mengantar surat. Seorang lelaki berseragam orange menekan bel pada luar gerbang. Satpam rumah itu belum juga bisa masuk karena sakit. Nayla terpaksa melihat ke luar. "Iya, ada apa ya?""Maaf, Bu. Ada surat, silakan diterima."Nayla mengayunkan tangannya. "Terima kasih, Pak." Baru saja pria itu pergi dengan sepeda motornya, sebuah mobil maju dan berhenti tepat di depan Nayla. Nayla yang curiga pun bergegas ingin menutup pintu. "Tunggu!" teriak seorang wanita dengan high heels setinggi lima Senti dan blazer hitam melapisi tubuh seksinya. Nayla melihat Fia keluar dari mobilnya. "Ada apa ya?""Boleh aku masuk ke dalam rumah? Aku hanya ingin ngobrol sama kamu. Sebelumnya aku udah izin sama Davin, mantan kekasihku yang terpaksa menikah denganmu."Nayla tersentak. Ia ragu mengizinkan wanita itu masuk. Akan tetapi, Fia malah menyerobot saja. Nayla hanya bisa menggeleng kepalanya. Ia memastikan keadaan sekitar. Lalu, ikut masuk karena Fia sud
Davin tampak kebingungan. Sudah sejak tadi memanggil dan mencari di mana Nayla berada, tetapi tak juga menemukan sang istri. Saat ia terjatuh di atas sofa ruang tamu, Davin tak sengaja melihat telepon berkabel berserakan juga sebuah foto yang sempat membuat Nayla syok. Kedua mata Davin melotot. Pria tampan dengan kemeja biru itu meremas foto tadi hingga tak utuh lagi. Davin keluar dan mencari jejak Nayla. Saat hampir menyerah, tiba-tiba seorang wanita tua, tetangga mereka memanggil dari balik pagar."Mas Davin!""Mas Davin!"Davin menoleh dengan cepat. Ia segera turun dari tangga ringan menuju wanita tua itu. "Ada apa ya, Bu?""Anu, Mas. Mbak Nayla tadi digotong sama warga karena ditemukan pingsan di rumah. Untung aja ada tetangga yang datang dan segera menolong.""Apa, Bu? Nayla pingsan? Terus, sekarang di mana Nayla?" Berdebar dada pria itu sambil berbicara. "Di rumah sakit, Mas. Diantar salah satu warga juga naik mobil. Udah dari pagi, kok. Mendingan sekarang, Mas Davin, ke sana,
Pagi itu, Nayla dibawa oleh dua orang yang menolongnya saat pingsan kapan lalu. Wanita muda yang tubuhnya semakin kurus kering itu kini dibantu duduk di sebuah kamar bernuansa putih. Bunga pajangan pun berwarna putih bersih. Seputih wajah pucat Nayla yang tengah mengembus napas berat."Makasih banyak, Tan, Mas Reno." Wanita dengan wajah teduh itupun lantas ikut duduk di pinggir ranjang. Ia sangat sedih menatap Nayla. "Nay, mulai sekarang tinggal saja di sini. Tante tidak ada temannya. Reno sibuk di kantor."Nayla menunduk. "Nayla sudah terlalu merepotkan Tante Maya." Ada buliran bening menetes di pipi. Lalu, disapunya dengan tangan dingin."Enggak, Nay. Aku sama Mama dengan senang hati menyambut kamu. Kami tau ... kamu butuh tempat tinggal. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Setelah kamu mau cerita tentang keluargamu, kami semakin mantap untuk membawamu tinggal di sini." Reno, lelaki tampan dengan tubuh maskulin itu menatap Nayla. "Benar apa kata Davin, Nay. Sudahlah, jangan dibaha