"Davin! Kamu ke mana aja?" Wajah Fia sendu. Tampak seperti habis menangis. "Maaf, Fia. Aku harus pergi." "Tunggu, Vin!" Fia menarik tangan Davin. Ia mengiba lagi dan lagi. "Lepaskan aku, Fia! Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Maafkan aku. Aku hanya ingin hidup tenang dengan istriku. Please, jangan ganggu ataupun mencoba meminta belas kasihanku."Fia tertegun mendengar penuturan Davin. Ia menatap punggung kekar berbalut kemeja biru itu hingga lenyap dari pandangan mata. Sementara perawat yang ada di belakang dengan tangan masih memegang gagang kursi roda pun menunduk, tak ingin ikut campur.Fia diantar lagi masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya dari ruangan lain untuk keperluan pemeriksaan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam seraya mengepalkan tangan erat-erat. Ia bersumpah dalam hati tidak akan tinggal diam setelah ini. Semua rencananya telah sia-sia belaka. Fia berubah menjadi gadis yang sangat agresif berambisi mendapatkan Davin lagi. Setelah kejadian hari itu, ia akan membu
Kedua tangan bersedekah di dada. Kedua mata penuh air mata. Sambil menyandar jendela kaca dan menatap rembulan penuh cahaya. Saat ia menyadari ada yang mendekat dari belakang, buru-buru menghindar. Nayla mulai menarik selimut dan memunggungi arah jendela tadi. Davin hanya bisa menghela napas panjang sembari mengakui kesalahannya. Ia paham Nayla baru saja pulih dari sakit akibat keguguran. Namun, sekuat tenaga ia tak akan pernah membiarkan Nayla pergi darinya. Satu pekan sudah berada di rumah, mereka berdua tak ada pembicaraan. Seperti hidup sendiri-sendiri. Meski Davin tetap memberikan nafkah lahir, setiap kali ia memulai percakapan, Nayla selalu menghindar. Seolah tak melihat keberadaan Davin di rumah itu. "Kenapa sih, Bro? Lu kayaknya murung terus dari beberapa hari ini." Seorang teman kantor datang menepuk pundak Davin yang tengah duduk di kantin. "Pusing gua," balas Davin dengan spontan. Ia menjawab dengan malas dan sekenanya saja. Andro dan Bima datang lalu ikut duduk di kur
"Jangan, Mas! Aku masih sakit. Aku enggak bisa melayani kamu.""Tapi aku lebih tak tahan lagi kalau kamu mendiamkanku. Nay, jangan membuatku ...."Davin langsung membungkam Nayla dengan kecupan saat mereka sudah berada di atas tempat tidur. Seketika kedua mata Nayla melotot. Kedua tangannya menekan dada Davin yang kekar itu. "Mas Davin, sudah! Kumohon."Davin pun segera memberi ruang. Ia menjeda keinginannya itu. "Berjanjilah padaku, kalau kau tidak akan begini lagi. Aku berani bersumpah, Nay. Aku jujur. Di hatiku hanya ada kamu."Nayla tak bisa berkata-kata. Ia tak mampu menjawab karena melihat kedua mata Davin tanpa kebohongan. Sekali lagi, ia ingin memberi kesempatan pada pria itu. "Mas, aku hanya punya satu kesempatan untukmu. Kalau kamu menyia-nyiakan lagi, atau kamu kembali dengan dengan wanita itu, maaf saja. Aku lebih baik memilih pergi. Kamu harus melepaskanku.""Aku janji, Nay. Aku tak bisa tanpamu. Aku mencintaimu."Suasana mencair seiring kepercayaan kembali dalam rumah t
Siang itu, kebetulan Nayla kedatangan tamu yang mengantar surat. Seorang lelaki berseragam orange menekan bel pada luar gerbang. Satpam rumah itu belum juga bisa masuk karena sakit. Nayla terpaksa melihat ke luar. "Iya, ada apa ya?""Maaf, Bu. Ada surat, silakan diterima."Nayla mengayunkan tangannya. "Terima kasih, Pak." Baru saja pria itu pergi dengan sepeda motornya, sebuah mobil maju dan berhenti tepat di depan Nayla. Nayla yang curiga pun bergegas ingin menutup pintu. "Tunggu!" teriak seorang wanita dengan high heels setinggi lima Senti dan blazer hitam melapisi tubuh seksinya. Nayla melihat Fia keluar dari mobilnya. "Ada apa ya?""Boleh aku masuk ke dalam rumah? Aku hanya ingin ngobrol sama kamu. Sebelumnya aku udah izin sama Davin, mantan kekasihku yang terpaksa menikah denganmu."Nayla tersentak. Ia ragu mengizinkan wanita itu masuk. Akan tetapi, Fia malah menyerobot saja. Nayla hanya bisa menggeleng kepalanya. Ia memastikan keadaan sekitar. Lalu, ikut masuk karena Fia sud
Davin tampak kebingungan. Sudah sejak tadi memanggil dan mencari di mana Nayla berada, tetapi tak juga menemukan sang istri. Saat ia terjatuh di atas sofa ruang tamu, Davin tak sengaja melihat telepon berkabel berserakan juga sebuah foto yang sempat membuat Nayla syok. Kedua mata Davin melotot. Pria tampan dengan kemeja biru itu meremas foto tadi hingga tak utuh lagi. Davin keluar dan mencari jejak Nayla. Saat hampir menyerah, tiba-tiba seorang wanita tua, tetangga mereka memanggil dari balik pagar."Mas Davin!""Mas Davin!"Davin menoleh dengan cepat. Ia segera turun dari tangga ringan menuju wanita tua itu. "Ada apa ya, Bu?""Anu, Mas. Mbak Nayla tadi digotong sama warga karena ditemukan pingsan di rumah. Untung aja ada tetangga yang datang dan segera menolong.""Apa, Bu? Nayla pingsan? Terus, sekarang di mana Nayla?" Berdebar dada pria itu sambil berbicara. "Di rumah sakit, Mas. Diantar salah satu warga juga naik mobil. Udah dari pagi, kok. Mendingan sekarang, Mas Davin, ke sana,
Pagi itu, Nayla dibawa oleh dua orang yang menolongnya saat pingsan kapan lalu. Wanita muda yang tubuhnya semakin kurus kering itu kini dibantu duduk di sebuah kamar bernuansa putih. Bunga pajangan pun berwarna putih bersih. Seputih wajah pucat Nayla yang tengah mengembus napas berat."Makasih banyak, Tan, Mas Reno." Wanita dengan wajah teduh itupun lantas ikut duduk di pinggir ranjang. Ia sangat sedih menatap Nayla. "Nay, mulai sekarang tinggal saja di sini. Tante tidak ada temannya. Reno sibuk di kantor."Nayla menunduk. "Nayla sudah terlalu merepotkan Tante Maya." Ada buliran bening menetes di pipi. Lalu, disapunya dengan tangan dingin."Enggak, Nay. Aku sama Mama dengan senang hati menyambut kamu. Kami tau ... kamu butuh tempat tinggal. Jangan berpikiran yang tidak-tidak. Setelah kamu mau cerita tentang keluargamu, kami semakin mantap untuk membawamu tinggal di sini." Reno, lelaki tampan dengan tubuh maskulin itu menatap Nayla. "Benar apa kata Davin, Nay. Sudahlah, jangan dibaha
"Makasih ya, Nay. Aku berangkat dulu." Ketika Reno melangkah melewatinya, Nayla baru tersadar dari lamunan sesaat. Ia melihat bayangan Davin. Hatinya kembali sakit. Ia masih menjadi istri dari Davin. Namun, dia malah membenahi dasi pria lain. Pilu menggelitik jiwa, raga membekas luka. Nayla bimbang. Ia malah terduduk di pinggir ranjang kamar Davin. Pria itu kembali ke kamar karena sesuatu tertinggal. Saat mendapati Nayla terisak dalam lirih, Reno bergegas mendekat. "Nay, kamu kenapa?" Reno duduk tepat di depan Nayla. Ia meletakkan lagi tas kerja dan jas hitam yang sempat tersampir di tangan."Em. Enggak, Mas. Aku hanya kelilipan saja," bohong Nayla. Ia segera berpaling dan mengusap wajah. "Nay, aku tau. Kau pasti masih teringat suamimu. Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau ingin kembali padanya. Dengan senang hati, aku akan mewakilkanmu untuk memperbaiki hubungan dengan Davin.""Tidak. Tidak, Mas. Aku enggak apa-apa.""Jangan bohong kamu, Nay. Aku tau. Curhat saja sama aku, Nay.
Suara bel pada pintu sore itu membuat Reno menoleh. Pri dengan kaus hitam dan celana bahan panjang itu menghentikan gerakan tangannya dari atas keyboard laptopnya. Ia segera berdiri dan melangkah ke pintu utama rumah mewah itu. Setelah dibuka, begitu terkejut Reno melihat kedatangan Davin, suami Nayla. Davin pun tampak berdebar saat melihat pria seusianya itu tinggal bersama Nayla. "Nayla ada?" Davin bertanya dengan wajah sendu. "Ada. Dia di dalam. Masuklah."Reno menyambut baik rekan bisnisnya itu. Ia mengaku Davin duduk di ruang tamu lalu seger mematikan laptopnya dan memindahkan di meja lain dekat sana. Sebelum memanggil Nayla, Reno ingin bertanya sesuatu pada pria yang duduk tak jauh dariny itu. "Maaf, aku ingin bertanya sesuatu. Tapi, itupun kalau tidak keberatan." Reno menghela napas panjang. "Aku di sini dan Mamku sudah berulangkali membujuk dia untuk tidak menggugat kamu. Tapi, dia tetap bersikukuh."Davin tersenyum puas. "Tidak apa-apa. Memang aku yang salah. Sejak awal d