"Makasih ya, Nay. Aku berangkat dulu." Ketika Reno melangkah melewatinya, Nayla baru tersadar dari lamunan sesaat. Ia melihat bayangan Davin. Hatinya kembali sakit. Ia masih menjadi istri dari Davin. Namun, dia malah membenahi dasi pria lain. Pilu menggelitik jiwa, raga membekas luka. Nayla bimbang. Ia malah terduduk di pinggir ranjang kamar Davin. Pria itu kembali ke kamar karena sesuatu tertinggal. Saat mendapati Nayla terisak dalam lirih, Reno bergegas mendekat. "Nay, kamu kenapa?" Reno duduk tepat di depan Nayla. Ia meletakkan lagi tas kerja dan jas hitam yang sempat tersampir di tangan."Em. Enggak, Mas. Aku hanya kelilipan saja," bohong Nayla. Ia segera berpaling dan mengusap wajah. "Nay, aku tau. Kau pasti masih teringat suamimu. Aku bisa mengantarmu pulang kalau kau ingin kembali padanya. Dengan senang hati, aku akan mewakilkanmu untuk memperbaiki hubungan dengan Davin.""Tidak. Tidak, Mas. Aku enggak apa-apa.""Jangan bohong kamu, Nay. Aku tau. Curhat saja sama aku, Nay.
Suara bel pada pintu sore itu membuat Reno menoleh. Pri dengan kaus hitam dan celana bahan panjang itu menghentikan gerakan tangannya dari atas keyboard laptopnya. Ia segera berdiri dan melangkah ke pintu utama rumah mewah itu. Setelah dibuka, begitu terkejut Reno melihat kedatangan Davin, suami Nayla. Davin pun tampak berdebar saat melihat pria seusianya itu tinggal bersama Nayla. "Nayla ada?" Davin bertanya dengan wajah sendu. "Ada. Dia di dalam. Masuklah."Reno menyambut baik rekan bisnisnya itu. Ia mengaku Davin duduk di ruang tamu lalu seger mematikan laptopnya dan memindahkan di meja lain dekat sana. Sebelum memanggil Nayla, Reno ingin bertanya sesuatu pada pria yang duduk tak jauh dariny itu. "Maaf, aku ingin bertanya sesuatu. Tapi, itupun kalau tidak keberatan." Reno menghela napas panjang. "Aku di sini dan Mamku sudah berulangkali membujuk dia untuk tidak menggugat kamu. Tapi, dia tetap bersikukuh."Davin tersenyum puas. "Tidak apa-apa. Memang aku yang salah. Sejak awal d
Tepat satu tahun hari ini Nayla menjadi janda. Mantan istri Davin itu kini telah bergabung dalam sebuah perusahaan besar milik Reno. Wanita itu berjalan dengan pakaian anggun ingin keluar dari kantor karena sudah waktunya pulang. Meskipun setiap hari ia pulang dan pergi bersama Reno, hari ini ia ingin pergi sendiri. Bukan pulang yangenkadi tujuannya. Kali ini ia mencari taksi dan setelah itu tujuannya adalah ke sebuah makam.Tak jauh dari sana, Nayla turun ketika sampai. Ada satu buket mawar di tangannya yang sempat ia beli tadi. Nayla menghentikan langkahnya tatkala ib melihat seorang pria dengan tubuh proporsional duduk berjongkok. Tangannya menyentuh nisan kecil yang terdapat sebuah pohon kecil berdaun kuning.Tubuh Nayla gemetaran. Pasalnya, setelah perceraian itu, baru kali ini ia melihat sosok Davin lagi. Nayla memilih mundur. Ia berpura-pura duduk di dekat makam orang lain dengan menutupi wajahnya dengan ujung jilbab. Begitu si pemilik wajah sendu itu menjauh dari makam sang
Nayla tampak gugup saat ia diajak oleh Maya untuk fitting baju pernikahan dengan Reno. Mereka kini berada di sebuah butik ternama dengan brand besar. Sejak tadi, wanita itu hanya mengiyakan saja apa yang ditanyakan oleh Maya padanya."Tan, aku terserah Tante saja. Sekiranya Tante suka." Nayla tersenyum. Namun, hatinya masih saja ragu. Ia relakan perasaannya demi membalas Budi kebaikan Maya dan Reno. Reno keluar dari ruang ganti dengan jas hitam pengantin. Ia memperlihatkan pada Maya tentang itu. Meminta pendapat sang Mama yang kini duduk menatapnya. "Gimana, Ma?""Bagus, Ren. Nayla juga langsung pas sama tubuhnya. Kalian memang serasi," balas Maya sambil terkagum-kagum. Reno menatap Nayla yang sejak tadi diam dengan lamunan. Kedua tangannya saling bertautan dan tampak berpikir. Reno menarik tangan Nayla meski sejatinya ia tahu, Nayla bakal menolaknya. Namun, saat itu Nayla malah seperti balita yang menurut saja. Mereka bertiga keluar dari tempat itu dan berniat makan siang di mall
"Hanya kebetulan saja Pak Reno." Davin menepis sindiran itu. Tak lama menu datang, mereka mulai menikmatinya. Nikmatnya makanan kini terasa hambar karena debaran yang hadir tanpa diundang. Nayla hanya mengaduk-aduk saja makanan berkuah santan itu. Dia pria yang berada di dekat Nayla pun menoleh bersamaan. Merasa ada yang tak beres dengan wanita itu. Davin tak berani bersuara. Ia paham betul posisinya saat ini sebagai apa. "Nay, kenapa enggak di makan?" Nayla terkejut dengan tepukan pada pundaknya. "Eh, enggak, Mas. Masih panas soalnya." Wanita cantik itu tersenyum meringis. " Oh ya, Nay. Aku mau ke toilet sebentar. Kamu enggak apa-apa, kan? Aku enggak lama kok."Reno menatap mata Nayla. Namun, yang ia temukan malah lirikan yang terarah pada sosok pria lain selain dia. Ada yang sakit di dalam sana. Akan tetapi, ia paham dan memaklumi. Reno berdiri dan meninggalkan sepasang mantan itu. Semakin ke sini, perasaan Nayla semakin tak enak. Wanita itu membatin kalau Davin tampak lain. L
"Lepaskan aku, Mas. Enggak enak dilihat orang. Aku enggak bisa lama-lama di sini kalau kamu begini." Nayla gugup. Ia menatap sekeliling untuk memastikan kedatangan Reno."Reno enggak akan bakal marah karena dia yang memintaku bicara berdua denganmu. Dia tau, kalau kamu masih ada perasaan denganku. Dia paham hubungan kita, Nay.""Enggak, Mas. Aku sama kamu udah selesai. Aku sama Mas Reno akan menikah. Jangan mengharapkanku lagi."Nayla semakin ingin pergi dari sana. Ia panik karena Davin terus memohon padanya. "Lepaskan aku, Mas!" Tangan Davin akhirnya terlepas karena hentakan tangan Nayla. Wanita muda itu tampak tersengal-sengal karena menahan napasnya yang tercekat dalam dada. Begitu melihat Reno di ujung sana, Nayla bergegas meninggalkan Davin sendirian. Ia tampak gemetaran dan langsung mengajak Reno pergi."Ada apa, Nay?" tanya Reno saat mereka sudah berada di dalam mobil. Reno menatap wajah Nayla yang pucat mendadak. "Kalian kerjasama, kan? Tega kamu, Mas. Kita sudah mau menikah
Suasana siang itu begitu ramai. Gedung pernikahan sudah dihias seindah mungkin. Namun, sang mempelai masih bimbang dan ragu di atas kursi riasnya. Tangan dingin menggigil. Apakah sudah benar jalan yang ia ambil. Sementara itu, Reno yang menatap dari dekat pintu kamar hotel tampak menatap ke arah Nayla dengan tatapan kosong. Ia memainkan jemarinya sendiri sambil menyandar di dinding."Ren, kamu sudah siap, Nak?" Maya menghampiri. "Udah, Ma. Reno ke depan dulu." Maya tampak heran menatap putranya yang tak biasa itu. Seperti menyimpan sesuatu. Namun, wanita tua yang tampak cantik itu tak memperdulikan sikap Reno. Reno memang biasa seperti itu, batinnya. "Nay, kamu cantik sekali." Maya memuji calon menantunya. Pantulan kaca yang menampilkan sosok manis nan anggun itu kini terlihat sangat bahagia di mata Maya. Sebentar lagi, ia akan menjadi mertua yang tidak akan kesepian lagi. Maya menggandeng tangan Nayla setelah wanita muda itu siap dengan gaun menjuntai panjang. Gaun putih denga
"Bagaimana, Mas Reno? Apakah kita bisa memulai pernikahan ini? Saya juga ada jadwal di lain tempat soalnya," ucap penghulu sambil menatapnya. Reno menghela napas panjang. Ia tak menjawab pertanyaan pria berkopiah hitam itu. Namun, raganya saat ini berdiri dan menatap ke belakang. Reno mengedipkan matanya dengan perlahan. Mengiring tatapan dari ujung ke ujung mencari seseorang. Sayang, sosok yang ia tuju malah berpaling dan berdiri lalu pergi. Satu tangan Davin dicekal oleh Fia. Davin meremas buliran bening dari matanya hingga mengalir terjatuh. Setelah menemuka pria yang ia cari, Reno lantas melepas bunga mawar setangkai yang menghiasi jas hitamnya. Ia melangkah menuju Davin dan tengah mati-matian menyembunyikan duka lara dalam batin. Semua orang menatap dengan mata mendelik. Sebagian perempuan malah ternganga termasuk sang Mama. Maya tak percaya dengan apa yang putranya buat. Maya hendak menghampiri Reno, tetapi salah seorang kerabat melarangnya. "Biarkan Reno memilih jalan hidu