"Lepaskan aku, Mas. Enggak enak dilihat orang. Aku enggak bisa lama-lama di sini kalau kamu begini." Nayla gugup. Ia menatap sekeliling untuk memastikan kedatangan Reno."Reno enggak akan bakal marah karena dia yang memintaku bicara berdua denganmu. Dia tau, kalau kamu masih ada perasaan denganku. Dia paham hubungan kita, Nay.""Enggak, Mas. Aku sama kamu udah selesai. Aku sama Mas Reno akan menikah. Jangan mengharapkanku lagi."Nayla semakin ingin pergi dari sana. Ia panik karena Davin terus memohon padanya. "Lepaskan aku, Mas!" Tangan Davin akhirnya terlepas karena hentakan tangan Nayla. Wanita muda itu tampak tersengal-sengal karena menahan napasnya yang tercekat dalam dada. Begitu melihat Reno di ujung sana, Nayla bergegas meninggalkan Davin sendirian. Ia tampak gemetaran dan langsung mengajak Reno pergi."Ada apa, Nay?" tanya Reno saat mereka sudah berada di dalam mobil. Reno menatap wajah Nayla yang pucat mendadak. "Kalian kerjasama, kan? Tega kamu, Mas. Kita sudah mau menikah
Suasana siang itu begitu ramai. Gedung pernikahan sudah dihias seindah mungkin. Namun, sang mempelai masih bimbang dan ragu di atas kursi riasnya. Tangan dingin menggigil. Apakah sudah benar jalan yang ia ambil. Sementara itu, Reno yang menatap dari dekat pintu kamar hotel tampak menatap ke arah Nayla dengan tatapan kosong. Ia memainkan jemarinya sendiri sambil menyandar di dinding."Ren, kamu sudah siap, Nak?" Maya menghampiri. "Udah, Ma. Reno ke depan dulu." Maya tampak heran menatap putranya yang tak biasa itu. Seperti menyimpan sesuatu. Namun, wanita tua yang tampak cantik itu tak memperdulikan sikap Reno. Reno memang biasa seperti itu, batinnya. "Nay, kamu cantik sekali." Maya memuji calon menantunya. Pantulan kaca yang menampilkan sosok manis nan anggun itu kini terlihat sangat bahagia di mata Maya. Sebentar lagi, ia akan menjadi mertua yang tidak akan kesepian lagi. Maya menggandeng tangan Nayla setelah wanita muda itu siap dengan gaun menjuntai panjang. Gaun putih denga
"Bagaimana, Mas Reno? Apakah kita bisa memulai pernikahan ini? Saya juga ada jadwal di lain tempat soalnya," ucap penghulu sambil menatapnya. Reno menghela napas panjang. Ia tak menjawab pertanyaan pria berkopiah hitam itu. Namun, raganya saat ini berdiri dan menatap ke belakang. Reno mengedipkan matanya dengan perlahan. Mengiring tatapan dari ujung ke ujung mencari seseorang. Sayang, sosok yang ia tuju malah berpaling dan berdiri lalu pergi. Satu tangan Davin dicekal oleh Fia. Davin meremas buliran bening dari matanya hingga mengalir terjatuh. Setelah menemuka pria yang ia cari, Reno lantas melepas bunga mawar setangkai yang menghiasi jas hitamnya. Ia melangkah menuju Davin dan tengah mati-matian menyembunyikan duka lara dalam batin. Semua orang menatap dengan mata mendelik. Sebagian perempuan malah ternganga termasuk sang Mama. Maya tak percaya dengan apa yang putranya buat. Maya hendak menghampiri Reno, tetapi salah seorang kerabat melarangnya. "Biarkan Reno memilih jalan hidu
Suasana haru mengiringi langkah pengantin yang tak terduga. Davin dan Nayla telah duduk di kursi akad. Lalu, tangan pria itu menerima ukuran sang penghulu. "Bagaimana para saksi? Sah?""Sah.""Sah.""Alhamdulillah." Ucap mereka semua secara serentak. Dan, tepuk tangan meriah pun menjadi kelegaan hati semua orang. Tak hanya itu, dalam satu acara itu terdapat dua pasang pengantin. Reno langsung menikahi Fia setelah orangtua Fia ditelpon dan datang."Nay, akhirnya aku mendapatkan kamu lagi." Davin masih menepis air matanya saat ia berucap barusan. Nayla mengangguk. "Maafkan aku yang egois, Mas. Maafkan aku yang keras kepala.""Tidak, Sayang. Kau adalah belahan jiwaku. Aku belum bisa menjagamu dengan baik. Amanah besarku adalah membawamu ke baitu jannati.""Berjanjilah, akan selalu membuatku percaya, Mas." Nayla mulai terisak lagi. "Insyaallah. Kita sama-sama berubah. Membuka lembaran baru lagi." Davin mencium kening Nayla. Sepulang dari acara itu, Davin membawa Nayla lagi ke rumah m
Malam itu, mereka baru saja pulang dari makan malam di luar. Kembali ke penginapan dengan menenteng barang belanjaan dan makanan ringan agar tidak sering keluar karena tujuan mereka adalah bulan madu dan menghabiskan waktu berdua saja. "Mas, aku ke kamar mandi dulu." Nayla menarik satu pakaian ganti untuknya dan juga Davin. Akan tetapi, Davin tampak tak ingin istrinya itu pergi sebentar saja. Pria dengan kemeja setengah lengan itu memeluk dari belakang. Lalu, Nayla membisikkan sesuatu. Dan, Davin tersenyum. Tangan kekar yang melilit pinggang akhirnya terlepas. Davin membiarkan sang istri untuk membersihkan diri dan bersiap menyambutnya kebahagiaan yang sudah di depan mata. Sambil menunggu Nayla, Davin membuka ponselnya. Ia membaca pesan dari rekan orang kantor mengenai bisnisnya. Mau tak mau, besok mereka harus kembali. Malam itu juga, tanpa Nayla tahu, Davin memesan dua tiket pesawat. "Mas ...." Nayla memanggil dan Davin langsung menoleh. Senyum mengembang di bibir keduanya. Po
Fia sesekali melirik punggung kekar yang tengah duduk di kursi lain dengan jari mengetik pada keyboard. Sorot matanya itu tertangkap oleh Nayla. Namun, istri Davin itu tak mau berburuk sangka. Satu tahun berlalu, Davin bilang tak berhubungan apa pun dengan Fia. Maka dari itu, Nayla tak mau berburuk sangka dan ada masalah lagi."Minum dulu, Fi." Satu gelas minuman dingin tersaji di meja depan Fia. "Makasih, Nay." Setelah meneguk, Fia mengajak ngobrol ringan wanita di hadapannya itu. Tak lama, ponselnya berbunyi dan Fia pamit pulang."Makasih banyak, Nay. Maaf ya, aku ngerepotin kamu sama Davin. Semoga kalian bahagia selamanya." Ada yang nyeri di dalam sana. Rasanya menusuk sampai ulu hati. Melepas orang yang dicintai bertahun-tahun pada wanita lain."Enggak repot kok, Fi. Kebetulan kami baru aja pulang dari liburan. Terima kasih juga udah mampir," balas Nayla dengan senyum yang manis. Fia membalik badan setelah mengucap salam. Ia masuk ke dalam mobil sedan merahnya lantas pergi. Nay
Pria tinggi tegap dengan pesona tiada tandingan itu berjalan memasuki lobi. Semua orang tampak menyambut dan menunduk hormat. Davin berjalan dengan dia asisten di belakangnya. Mereka memasuki lift untuk menuju ke ruangan meeting.Senyum manis dari bibir semu merah, Davin memasuki ruangan meeting. Di sana, Reno sudah duduk menunggu."Maaf, saya telat.""Tidak apa-apa, Pak Davin. Silakan dimulai," balas salah seorang petinggi di perusahaan tersebut.Davin mulai membuka rapat dan menjelaskan bagaimana management pemasaran dengan keahliannya. Meeting berlalu sekitar satu jam. Setelah semua menyepakati, meeting selesai dengan sebuah perjanjian kerja. "Gimana kabarmu, Dav? Aku dengar baru pulang liburan." Reno yang tadinya duduk jauh, kini mendekati Davin. Mereka sengaja menunggu semua orang keluar dulu. "Alhamdulillah, baik. Iya, baru kemarin pulang dari liburan. Kamu sendiri gimana? Aku dengar ....""Aku ada pesan buat kamu. Kumohon, jaga dan jangan sampai ada yang tau."Davin mengerutk
"Nay, kamu sakit? Masuk angin, ya?"Melihat Nayla lemas dan tak berdaya, serta wajah pucat yang memprihatinkan, Davin langsung meraih ponselnya. Namun, tangan Nayla mencegah. Lalu, menggeleng kepalanya sebagai tanda ia hanya ingin Davin di sampingnya. "Mas, tetaplah di sini. Aku hanya butuh pelukan."Davin menghela napasnya. "Kamu sakit, Nay. Enggak boleh diacuhkan. Aku akan telpon dokter.""Jangan! Aku cuman ingin tidur sama kamu saat ini. Temani aku saja. Jangan pergi."Davin tersenyum manis. Pria tampan itu mulai melunak dan merebahkan diri sambil memeluk istrinya. Dibelainya anak rambut Nayla. Dan, kecupan manis mendarat di kening Nayla. Tak lama, Davin mendapati Nayla terlelap dalam dekapannya.Malam itu, Nayla merasa dirinya sangat lemah, malas, terlebih perutnya tak bisa diisi makanan. "Kayaknya ada lambung. Biar aku kurangi makan pedasnya nanti.""Kamu beneran engga mau periksa ke dokter?" Davin memijat kaki istrinya dengan telaten. Ia tak ingin pujaan hatinya itu sakit akiba
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k