Mereka berdua membawa Reno ke rumah sakit. Kepala Reno di atas pangkuan Fia di jok belakang. Sementara Davin menyetir dalam kondisi hujan lebat. Dengan bermodal doa saja, pria tampan itu menerjang hujan yang mengganggu perjalanan. Setibanya di rumah sakit, mereka dibantu perawat mendorong Reno menuju ruang IGD. Kini, hanya tinggal Fia dan Davin saja yang menunggu di lorong itu. Hanya ada dua kursi tunggu yang berdempetan. Dalam hati berkata, tak mungkin sedekat itu dengan Fia jika ingin melepas lelah. "Fia, duduklah! Reno akan baik-baik saja." Davin menunjuk kursi yang ada di dekat mereka. Fia pun hanya menatapnya saja. Tampak raut tak tenang di wajahnya dan tak mengindahkan ucapan Davin."Fia ...." Panggilan Davin kedua kalinya hanya diabaikan oleh wanita muda itu. Davin yang tak tahan pun, lantas menarik tangan Fia lalu mengajaknya duduk bersama. Namun, suasana itu malah membuat Fia nyaman dan menyandar bahu pria itu. "Davin, aku takut Reno kenapa-napa. Bagaimana jika dia ...."
["Kamu tidak perlu takut, Nay. Banyak berdoa saja. Hidup mati kita da di tangan Allah."]["Jadi ... kamu pulangnya besok?"]Tak lama, panggilan telepon terputus. Davin menekan telepon berkabel di rumah sakit itu sekali lagi. Akan tetapi, Nayla tak bisa dihubungi. Teringat kemarin lalau Nayla lemas dan hampir tak kuat menahan diri, Davin meminta suster agar memantau keadaan rebo dengan siaga karena Reno mengalami sakit yang bukan bawaan.Di malam yang gelap dan hujan lebat itu, Davin meluncur di jalanan. Tampak sangat sepi dan tak banyak mobil lewat. Dalam mobil terlihat waktu berdetik yang menunjukkan pukul dua dini hari. Davin menambah kecepatannya mobilnya. Meski lelah merajai dan tubuh terasa remuk, pria itu tetap berjuang. Ia ingin menunjukkan betapa ia setia dan ingin membayar kesalahan-kesalahannya pada Nayla. Ketika terlihat gapura besar kompleks itu, hati mulai tenang. Davin masuk dan tiba di rumah. "Nay!" Davin berlari sambil melepas sepatu dan kemejanya yang sudah basah.
Keduanya berjalan memasuki lorong setelah mendapatkan nomor antrian. Di rumah sakit tempat Reno dirawat. Tangan dan kaki Nayla dingin. Lalu, digenggam oleh sang suami yang begitu paham akan situasinya. "Mas, aku takut.""Takut kenapa? Tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah denganku. Insyaallah, akan ada kabar baik, Sayang." Davin memengusap kepala istrinya. Mereka menunggu di kursi antrean pagi itu. Kebetulan, kata suster yang berjaga, dokter belum datang. "Mas, apa kamu enggak telat nanti? Aku enggak enak ganggu waktu kamu kerja." Davin tersenyum setelah mendengar Nayla bicara sepolos itu. Lirikan mata pria itu membuat Nayla tersipu. "Apa pun untuk kamu, Nay." Davin telah berhasil membuat Nayla percaya diri. Mereka masuk ke dalam ruangan dokter kandungan.Sesaat, dokter meminta Nayla naik ke atas ranjang dan mulai mengeluarkan stetoskop. Mendengarkan detak jantung dan memeriksa mata. Lalu, ketika dokter mengerutkan dahinya, Nayla tampak khawatir lagi. Ia diminta untuk ke kamar ma
"Mas, hari ini kita mau ke mana? Kamu belum mengatakannya padaku." Davin tersenyum manis. Gigi-gigi putihnya tampak menawan dipadu dengan bibir semu kemerahan. "Nanti kamu juga tau sendiri. Oh, ya, besok kita jenguk Reno lagi. Dia sudah siuman kata Mamanya. Aku sempat ditelpon.""Iya. Kita harus jenguk lagi. Tapi, hari ini aku pengen makan sup ceker, Mas. Kamu bisa Carikan enggak?" "Aku akan bawa kamu ke tempat itu. Kita pesan banyak biar kamu puas." Yang satu cantik bak bidadari dengan setelah gamis dan jilbab senada berwarna biru tua. Sementara Davin sendiri tampak cool dengan kemeja putih yang dilipat setengah lengan dan celana bahan hitam panjang. Mereka berjalan keluar dari rumah, tetapi hujan mendadak melanda. Deras disertai petir. Siang itupun tampak gelap. Mereka menatap langit itu. Lalu, saling melempar pandangan sebagai tanda pertanyaan. "Gimana?" Davin bertanya."Ayo, enggak apa-apa hujan. Aku udah pengen banget Mas." Melihat Nayla merengek, Davin tak tega. Ia segera
"Maaf, Pak. Sup ceker habis."Malam gelap, rumah di pojok gang itu tampak lampu yang tak begitu terang menyorot wajah dua orang yang tengah bicara. Sang wanita tua yang tampak mengenakan daster rumahan dengan tubuh kurus itu meminta maaf. "Saya mohon, Bu. Kalau ada sedikit saja. Istri saya lagi ngidam. Saya pusing dari tadi muter-muter keliling makanan itu enggak ada yang jual. Ada beberapa restoran tapi sudah habis."Davin menghela napas panjang. Sesekali menoleh pada wanita di dalam mobilnya yang tengah berharap besar padanya. "Saya tidak bohong, Pak. Serius. Saya jualnya cuman siang aja dan itu juga sudah habis. Suami saya bahkan sudah tidur sekarang. Kamu capek."Mendengar ungkapan wanita tua itu, Davin lemas seketika. Ke mana lagi ia harus mencari. Menoleh kanan kiri sambil berpikir. Jika malam ini ia tak dapat makanan itu, pasti Nayla tidak akan bisa tidur lagi."Ya udah deh, Bu, saya pamit. Makasih banyak."Davin menunduk hormat. Akan tetapi, wanita itu tampak kasihan menatap
"Gimana, Nay? Enak enggak, masakan aku?"Davin sudah siap mendengar jawaban memuaskan dari sang istri. Namun, melihat ekspresi Nayla yang tampak menahan tawa, Davin tak sanggup menunggu lagi. Pria itu langsung meraih sendok di tangan Nayla dan mencobanya sendiri. Suara bunyi air yang disesap lantas membuat tawa Nayla pecah. Wanita cantik dengan piyama tidur itu terpingkal-pingkal. "Gimana, Mas?"Melihat raut wajah meringis Davin, Nayla tak bisa menghentikan gelak tawanya. Perutnya sampai mendadak penuh gara-gara melihat wajah sang suami yang baginya lucu. "Kok ... asin banget, Nay? Perasaan aku tadi enggak kasih garam banyak-banyak. Duh, gimana ini, Nay?"Nayla masih tertawa. "Coba ambilkan gula, Mas."Davin berdiri lagi dan kembali ke dapur. Pria tampan dengan wajah polos itu menggaruk tengkuk. Setelah kembali dengan wadah berisi gula, Nayla langsung membubuhkan mangkuk yang masih tampak mengepul asap dan kaki ayam itu dengan gula. Baru lah ketika dirasa cukup, Nayla mengaduk rata
"Tan, gimana keadaan Reno?" "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik setelah tidak meminum obat dari wanita jahanam itu."Mata tampak sangat kesal. Ia menyayangkan sekali sikap dan perilaku Fia pada putranya. Mereka bertiga duduk di ruang tengah. Rumah mewah milik Maya Suhendar yang memiliki luas lebih dari 1000 hektar. "Fia sekarang ada di penjara. Tapi, dia mendadak hilang akal juga terakhir saya dengar," lanjut Davin. "Biarkan saja dia menerima ganjarannya. Yang penting kalian selamat. Juga Reno. Tante tidak habis pikir. Kejadian mengerikan hampir saja melayangkan nyawa Reno. Kita semua mengira Reno mengalami kanker ganas. Enggak taunya cuman akal-akalan Fia saja dengan dokter suruhannya.""Boleh kami melihat keadaan Reno, Tan?" Davin memohon lagi. Sebenarnya, Maya masih trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan mereka berdua. Namun, karena Maya kenal baik, ia memperkenankan Davin dan Nayla untuk masuk ke dalam kamar Reno. Ketika pintu dibuka, mereka bertiga melihat Reno dudu
"Mas, perut aku enggak enak.""Hem. Diajak tidur aja, Nay."Malam itu, keduanya baru saja naik ke atas ranjang berbalut seprei putih. Davin yang sudah tak tahan lagi dengan kantuknya, kini sudah terpejam erat. Baru saja mencium aroma bantal, pria itu langsung hilang ke alam mimpi."Mas, perut aku ...."Nayla menggoyangkan lengan Davin berulangkali. Namun, pria itu sudah tak dapat membuka mata lagi. "Mas!"Nayla merintih menahan sakit, apalagi terasa perutnya yang sudah tepat sembilan bulan itu seperti mengejan sendiri. "MAAAAAS!" Saking kesalnya, Nayla menarik rambut kepala Davin. Sontak pria itupun berteriak karena sakitnya. "Duh, Nay ... kepalaku sakit. Kenapa kamu gitu, sih.""Mas ..." Napas Nayla tersengal-sengal. "Perutku. Anak kamu mau lahir kayaknya.""Hah? Serius kamu, Nay? Aduh!" Panik, Davin memegang kepalanya. Pria itu melompat dari tempat tidur dan segera berganti baju. Setelah mengenakan jaket hitamnya, ia menyiapkan tas persalinan yang isinya sudah jauh-jauh hari disia