"Nay, kamu sakit? Masuk angin, ya?"Melihat Nayla lemas dan tak berdaya, serta wajah pucat yang memprihatinkan, Davin langsung meraih ponselnya. Namun, tangan Nayla mencegah. Lalu, menggeleng kepalanya sebagai tanda ia hanya ingin Davin di sampingnya. "Mas, tetaplah di sini. Aku hanya butuh pelukan."Davin menghela napasnya. "Kamu sakit, Nay. Enggak boleh diacuhkan. Aku akan telpon dokter.""Jangan! Aku cuman ingin tidur sama kamu saat ini. Temani aku saja. Jangan pergi."Davin tersenyum manis. Pria tampan itu mulai melunak dan merebahkan diri sambil memeluk istrinya. Dibelainya anak rambut Nayla. Dan, kecupan manis mendarat di kening Nayla. Tak lama, Davin mendapati Nayla terlelap dalam dekapannya.Malam itu, Nayla merasa dirinya sangat lemah, malas, terlebih perutnya tak bisa diisi makanan. "Kayaknya ada lambung. Biar aku kurangi makan pedasnya nanti.""Kamu beneran engga mau periksa ke dokter?" Davin memijat kaki istrinya dengan telaten. Ia tak ingin pujaan hatinya itu sakit akiba
Mereka berdua membawa Reno ke rumah sakit. Kepala Reno di atas pangkuan Fia di jok belakang. Sementara Davin menyetir dalam kondisi hujan lebat. Dengan bermodal doa saja, pria tampan itu menerjang hujan yang mengganggu perjalanan. Setibanya di rumah sakit, mereka dibantu perawat mendorong Reno menuju ruang IGD. Kini, hanya tinggal Fia dan Davin saja yang menunggu di lorong itu. Hanya ada dua kursi tunggu yang berdempetan. Dalam hati berkata, tak mungkin sedekat itu dengan Fia jika ingin melepas lelah. "Fia, duduklah! Reno akan baik-baik saja." Davin menunjuk kursi yang ada di dekat mereka. Fia pun hanya menatapnya saja. Tampak raut tak tenang di wajahnya dan tak mengindahkan ucapan Davin."Fia ...." Panggilan Davin kedua kalinya hanya diabaikan oleh wanita muda itu. Davin yang tak tahan pun, lantas menarik tangan Fia lalu mengajaknya duduk bersama. Namun, suasana itu malah membuat Fia nyaman dan menyandar bahu pria itu. "Davin, aku takut Reno kenapa-napa. Bagaimana jika dia ...."
["Kamu tidak perlu takut, Nay. Banyak berdoa saja. Hidup mati kita da di tangan Allah."]["Jadi ... kamu pulangnya besok?"]Tak lama, panggilan telepon terputus. Davin menekan telepon berkabel di rumah sakit itu sekali lagi. Akan tetapi, Nayla tak bisa dihubungi. Teringat kemarin lalau Nayla lemas dan hampir tak kuat menahan diri, Davin meminta suster agar memantau keadaan rebo dengan siaga karena Reno mengalami sakit yang bukan bawaan.Di malam yang gelap dan hujan lebat itu, Davin meluncur di jalanan. Tampak sangat sepi dan tak banyak mobil lewat. Dalam mobil terlihat waktu berdetik yang menunjukkan pukul dua dini hari. Davin menambah kecepatannya mobilnya. Meski lelah merajai dan tubuh terasa remuk, pria itu tetap berjuang. Ia ingin menunjukkan betapa ia setia dan ingin membayar kesalahan-kesalahannya pada Nayla. Ketika terlihat gapura besar kompleks itu, hati mulai tenang. Davin masuk dan tiba di rumah. "Nay!" Davin berlari sambil melepas sepatu dan kemejanya yang sudah basah.
Keduanya berjalan memasuki lorong setelah mendapatkan nomor antrian. Di rumah sakit tempat Reno dirawat. Tangan dan kaki Nayla dingin. Lalu, digenggam oleh sang suami yang begitu paham akan situasinya. "Mas, aku takut.""Takut kenapa? Tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah denganku. Insyaallah, akan ada kabar baik, Sayang." Davin memengusap kepala istrinya. Mereka menunggu di kursi antrean pagi itu. Kebetulan, kata suster yang berjaga, dokter belum datang. "Mas, apa kamu enggak telat nanti? Aku enggak enak ganggu waktu kamu kerja." Davin tersenyum setelah mendengar Nayla bicara sepolos itu. Lirikan mata pria itu membuat Nayla tersipu. "Apa pun untuk kamu, Nay." Davin telah berhasil membuat Nayla percaya diri. Mereka masuk ke dalam ruangan dokter kandungan.Sesaat, dokter meminta Nayla naik ke atas ranjang dan mulai mengeluarkan stetoskop. Mendengarkan detak jantung dan memeriksa mata. Lalu, ketika dokter mengerutkan dahinya, Nayla tampak khawatir lagi. Ia diminta untuk ke kamar ma
"Mas, hari ini kita mau ke mana? Kamu belum mengatakannya padaku." Davin tersenyum manis. Gigi-gigi putihnya tampak menawan dipadu dengan bibir semu kemerahan. "Nanti kamu juga tau sendiri. Oh, ya, besok kita jenguk Reno lagi. Dia sudah siuman kata Mamanya. Aku sempat ditelpon.""Iya. Kita harus jenguk lagi. Tapi, hari ini aku pengen makan sup ceker, Mas. Kamu bisa Carikan enggak?" "Aku akan bawa kamu ke tempat itu. Kita pesan banyak biar kamu puas." Yang satu cantik bak bidadari dengan setelah gamis dan jilbab senada berwarna biru tua. Sementara Davin sendiri tampak cool dengan kemeja putih yang dilipat setengah lengan dan celana bahan hitam panjang. Mereka berjalan keluar dari rumah, tetapi hujan mendadak melanda. Deras disertai petir. Siang itupun tampak gelap. Mereka menatap langit itu. Lalu, saling melempar pandangan sebagai tanda pertanyaan. "Gimana?" Davin bertanya."Ayo, enggak apa-apa hujan. Aku udah pengen banget Mas." Melihat Nayla merengek, Davin tak tega. Ia segera
"Maaf, Pak. Sup ceker habis."Malam gelap, rumah di pojok gang itu tampak lampu yang tak begitu terang menyorot wajah dua orang yang tengah bicara. Sang wanita tua yang tampak mengenakan daster rumahan dengan tubuh kurus itu meminta maaf. "Saya mohon, Bu. Kalau ada sedikit saja. Istri saya lagi ngidam. Saya pusing dari tadi muter-muter keliling makanan itu enggak ada yang jual. Ada beberapa restoran tapi sudah habis."Davin menghela napas panjang. Sesekali menoleh pada wanita di dalam mobilnya yang tengah berharap besar padanya. "Saya tidak bohong, Pak. Serius. Saya jualnya cuman siang aja dan itu juga sudah habis. Suami saya bahkan sudah tidur sekarang. Kamu capek."Mendengar ungkapan wanita tua itu, Davin lemas seketika. Ke mana lagi ia harus mencari. Menoleh kanan kiri sambil berpikir. Jika malam ini ia tak dapat makanan itu, pasti Nayla tidak akan bisa tidur lagi."Ya udah deh, Bu, saya pamit. Makasih banyak."Davin menunduk hormat. Akan tetapi, wanita itu tampak kasihan menatap
"Gimana, Nay? Enak enggak, masakan aku?"Davin sudah siap mendengar jawaban memuaskan dari sang istri. Namun, melihat ekspresi Nayla yang tampak menahan tawa, Davin tak sanggup menunggu lagi. Pria itu langsung meraih sendok di tangan Nayla dan mencobanya sendiri. Suara bunyi air yang disesap lantas membuat tawa Nayla pecah. Wanita cantik dengan piyama tidur itu terpingkal-pingkal. "Gimana, Mas?"Melihat raut wajah meringis Davin, Nayla tak bisa menghentikan gelak tawanya. Perutnya sampai mendadak penuh gara-gara melihat wajah sang suami yang baginya lucu. "Kok ... asin banget, Nay? Perasaan aku tadi enggak kasih garam banyak-banyak. Duh, gimana ini, Nay?"Nayla masih tertawa. "Coba ambilkan gula, Mas."Davin berdiri lagi dan kembali ke dapur. Pria tampan dengan wajah polos itu menggaruk tengkuk. Setelah kembali dengan wadah berisi gula, Nayla langsung membubuhkan mangkuk yang masih tampak mengepul asap dan kaki ayam itu dengan gula. Baru lah ketika dirasa cukup, Nayla mengaduk rata
"Tan, gimana keadaan Reno?" "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik setelah tidak meminum obat dari wanita jahanam itu."Mata tampak sangat kesal. Ia menyayangkan sekali sikap dan perilaku Fia pada putranya. Mereka bertiga duduk di ruang tengah. Rumah mewah milik Maya Suhendar yang memiliki luas lebih dari 1000 hektar. "Fia sekarang ada di penjara. Tapi, dia mendadak hilang akal juga terakhir saya dengar," lanjut Davin. "Biarkan saja dia menerima ganjarannya. Yang penting kalian selamat. Juga Reno. Tante tidak habis pikir. Kejadian mengerikan hampir saja melayangkan nyawa Reno. Kita semua mengira Reno mengalami kanker ganas. Enggak taunya cuman akal-akalan Fia saja dengan dokter suruhannya.""Boleh kami melihat keadaan Reno, Tan?" Davin memohon lagi. Sebenarnya, Maya masih trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan mereka berdua. Namun, karena Maya kenal baik, ia memperkenankan Davin dan Nayla untuk masuk ke dalam kamar Reno. Ketika pintu dibuka, mereka bertiga melihat Reno dudu
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k