"Mas, perut aku enggak enak.""Hem. Diajak tidur aja, Nay."Malam itu, keduanya baru saja naik ke atas ranjang berbalut seprei putih. Davin yang sudah tak tahan lagi dengan kantuknya, kini sudah terpejam erat. Baru saja mencium aroma bantal, pria itu langsung hilang ke alam mimpi."Mas, perut aku ...."Nayla menggoyangkan lengan Davin berulangkali. Namun, pria itu sudah tak dapat membuka mata lagi. "Mas!"Nayla merintih menahan sakit, apalagi terasa perutnya yang sudah tepat sembilan bulan itu seperti mengejan sendiri. "MAAAAAS!" Saking kesalnya, Nayla menarik rambut kepala Davin. Sontak pria itupun berteriak karena sakitnya. "Duh, Nay ... kepalaku sakit. Kenapa kamu gitu, sih.""Mas ..." Napas Nayla tersengal-sengal. "Perutku. Anak kamu mau lahir kayaknya.""Hah? Serius kamu, Nay? Aduh!" Panik, Davin memegang kepalanya. Pria itu melompat dari tempat tidur dan segera berganti baju. Setelah mengenakan jaket hitamnya, ia menyiapkan tas persalinan yang isinya sudah jauh-jauh hari disia
Davin menggendong putranya sambil membantu Nayla turun dari mobil. Sementara sopir, menurunkan barang-barang dari bagasi. Mereka sudah boleh pulang karena kata dokter, Nayla dan bayinya sehat."Nay, kamu istirahat aja. Aku akan ambilkan kamu makan," ucap Davin saat mereka masuk kamar. Dan, bayi kecil itu langsung ia tidurkan di sebelah Nayla menyandar. "Aku udah kenyang, Mas. Kan, tadi kamu sendiri yang menyuapiku. Baru berapa jam, sih? Dua jam, kan?"Nayla tampak sedikit meringis. Kakinya terbentang lurus lalu diselimuti oleh Davin. "Kamu dalam berjuang asi untuk anak kita, Nay. Kata dokter harus nutrisi yang bagus dan kalau belum lancar, suruh tambah makan dan minum." "Iya, aku udah tau, Mas. Tapi, masih kenyang. Perutku enggak muat. Lagian ini juga belum masuk jam makan siang.""Ya udah, terserah kamu. Tapi, aku kupasin buah, nanti dimakan yah!"Nayla mengangguk saja. Semenjak ia melahirkan baby Hasya, Nayla merasa Davin lebih dan semakin perhatian. Pria dewasa itu setiap malam
"Ren, mending kamu segera move on. Biar enggak kelamaan kesepian."Maya menghela napas panjang menatap sang putra yang hanya setia dengan kesendiriannya. Mereka berada di kamar Reno yang bernuansa serba putih. "Tapi ... Reno masih belum menemukan gadis yang sesuai, Mah. Belum takdir aja mungkin." Reno membalik badannya. Lalu, mengeluarkan tangan dari dalam saku dan ikut duduk di sebelah Maya."Gimana kalau kamu kenalan sama anak teman Mama? Dia lulusan S2 di UI. Baru aja kelar. Sekarang, sibuk bisnis bakery sama Mamanya. Dia berencana cari kerja kantoran kata Mamanya.""Entar aja deh, Ma. Reno belum berani serius dengan wanita lagi. Reno masih trauma."Maya kembali mengembus napasnya. "Terserah kamu aja, deh. Yang penting, Mama sudah menasihati dan menawari. Kelanjutannya, terserah kamu. Tapi ingat Ren, jangan lama-lama. Mama kangen cucu.""Hem." Reno menyipitkan matanya mendengar keluhan Mamanya. Pagi itu, Reno sudah siap dengan penampilan maskulin. Dia ingin lari pagi sebelum ke k
"Anggi, ini rumah kamu?" tanya Reno saat mereka sampai. "Iya. Ayo masuk, Mas."Reno mengekor di belakang Anggi setelah menyapa satpam di pos ronda. Mereka masuk dan langsung berhadapan dengan wanita bertubuh besar. Rambutnya disanggul dengan kacamata bertengger di hidung. "Pagi, Tan?" Reno menyapa."Pagi. Ini siapa, Ang?" Wanita tua itu menatap putrinya. "Ini namanya Amas Reno, Ma. Tadi Anggi kakinya terkilir. Ditolongin sama beliau," jelas Anggi sambil menatap Reno. Padahal dalam hati Reno bertentangan dengan apa yang dikatakan Anggi. Reno kagum dengan gadis itu. "Panggil aja Tante Mira. Silakan duduk Nak Reno. Saya ambilkan minum dulu." Beralih pada putrinya, Mira meminta Anggi menemani pria itu. "Ang, temani dia.""Oke, Mah." Anggi tertawa. Setelah mereka berdua duduk, Reno berbisik pelan. "Kenapa tadi kamu bilang begitu? Padahal, kan, aku yang salah. Lari enggak liat jalan.""Enggak apa-apa. Lagian aku juga, kok, yang terlalu teledor." Senyuman dari bibir Anggi membuat deba
"Ang, kamu ... udah punya calon?" tanya Reno dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin kembali membawa kecewa. "Udah, Mas."Mendengar jawaban itu, Reno langsung patah hati. Mereka tengah makan soto Betawi di kantin kantor. Saat itu, mereka baru saja membuka percakapan. Rasa nikmat soto yang kental tak lagi terasa. Kini, hanya rasa hambar yang ada. Hilang sudah moodnya. "Oh, ya sudah. Lanjut makan aja." Reno tampak gugup dan hilang perasaan pada Anggi. Anggi pun mengangguk saja. Setelah tinggal separuh, Anggi berucap, "Aku baru aja dapet calon member baru, Mas. Dari Bandung. Belum sempat bilang. Niatnya sih buat kejutan.""Maksudnya?" Reno menghentikan makannya. "Iya. Yang Mas Reno tanyakan tadi, kan? Calon member baru produk kita, kan?"Reno semakin bingung. Lelaki itu menggaruk tengkuk lehernya sendiri. "Ih, yang Mas Reno tanyakan tadi bukannya calon member? Iya, kan? Aku udah dapat.""Loh ..." Reno menggeleng kepalanya. Ia tersenyum setelah itu. "Bukan itu yang kumaksud, Ang.""Te
"Anggi!" Reno tak mau tahu. Dia tetap mengejar gadis itu. Tak mau tahu jika gadis itu tengah kecewa sekalipun. "Anggi, benar apa kata Reno. Dengarkan penjelasan dia." Maya ikut berucap. Tak ingin calon menantunya itu gelap mata hanya karena kesalahpahaman yang belum jelas."Sudah, Mbak. Kami sudah sangat kecewa. Ternyata Reno telah membohongi kami. Biarkan Anggi mencari kebahagiaan dia sendiri." Anggi tak peduli lagi saat Mamanya menjelaskan pada keluarga Reno.Ia tetap berlari tanpa melihat kanan kiri sehingga tak melihat sebuah mobil lewat di ujung samping kanan. Hanya sebuah sorot lampu mobil itu yang tiba-tiba memantul pada wajah cantiknya. Namun, Reno datang dengan segera dan menarik pinggang Anggi. Sontak, dua anak manusia itu terjatuh ke tanah berlapis pavingan. Anggi memberontak tetapi Reno tak ingin melepaskannya. "Ang, please, dengarkan aku dulu. Demi Allah, sekarang aku tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia. Dia hanya mantan saja. Dia kuceraikan karena dia sudah be
Keduanya melewati malam dengan begitu manis. Anggi baru baru membuka mata, ia langsung menemukan sosok yang tampak bertelanjang dada di sampingnya. Pria itu terpejam rapat dan masih tampak kelelahan. Jam dinding menunjuk pukul lima pagi, Anggi segera bangkit sambil menahan rasa sakit di bagian tertentu. Jalannya susah, sambil merambat dinding. Di kamar mandi, dia mengguyur diri di bawah shower yang mengalir air hangat. Tak lama malah terdengar ketukan pada pintu yang membuatnya kaget. Anggi buru-buru memakai handuk kimono dan membalut kepalanya dengan handuk biasa. "Mas ... kamu mau mandi sekarang?" Anggi tampak malu-malu saat tatapan Reno menatapnya. "Iya. Aku harus segera mandi. Kita sholat subuh jamaah, ya." Anggi mengangguk pelan. Ketika hendak lewat, lengan gadis itu mendadak dicekal oleh sang suami. Ada satu kecupan mendarat di tempat yang semestinya. Jantung Anggi berdebar kencang, Reno sudah berhasil membuatnya semakin mengembang.Kedua pasangan halal itu mulai kembali me
"Maaf, Pak. Ini pengajuan lamaran kerjanya. Silakan dicek dulu." Seorang karyawan meletakkan beberapa map lamaran kerja dari beberapa orang ke atas meja Reno. Pria berwibawa itu pun lantas membuka satu persatu. Salah satu dari map terdapat foto gadis yang tadi sempat satu lift dengannya. Reno mengerutkan dahinya. Ia tak asing dengan wajah itu. Reno segera memerintahkan asistennya untuk mengumpulkan mereka semua di sebuah ruangan karena ia akan memberikan arahan."Baik, Pak." Beberapa orang yang potensinya bagus, Reno kembali berpikir karena gadis itu memiliki nilai plus. Namun, malah agak mengganggu pikirannya. Ia agak risih dengan penampilan gadis itu. Setelah beberapa menit berlalu, Reno didampingi oleh asisten pribadinya langsung menuju ruangan yang ia minta. Di ruangan itu sudah banyak para pencari kerja yang diterima tengah berdiri menunggu sang direktur. Reno masuk dan memberikan senyuman. Lalu, ia berdiri di atas podium dan memegang micnya. "Baik, selamat pagi semuanya.""
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k