"Tan, gimana keadaan Reno?" "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik setelah tidak meminum obat dari wanita jahanam itu."Mata tampak sangat kesal. Ia menyayangkan sekali sikap dan perilaku Fia pada putranya. Mereka bertiga duduk di ruang tengah. Rumah mewah milik Maya Suhendar yang memiliki luas lebih dari 1000 hektar. "Fia sekarang ada di penjara. Tapi, dia mendadak hilang akal juga terakhir saya dengar," lanjut Davin. "Biarkan saja dia menerima ganjarannya. Yang penting kalian selamat. Juga Reno. Tante tidak habis pikir. Kejadian mengerikan hampir saja melayangkan nyawa Reno. Kita semua mengira Reno mengalami kanker ganas. Enggak taunya cuman akal-akalan Fia saja dengan dokter suruhannya.""Boleh kami melihat keadaan Reno, Tan?" Davin memohon lagi. Sebenarnya, Maya masih trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan mereka berdua. Namun, karena Maya kenal baik, ia memperkenankan Davin dan Nayla untuk masuk ke dalam kamar Reno. Ketika pintu dibuka, mereka bertiga melihat Reno dudu
"Mas, perut aku enggak enak.""Hem. Diajak tidur aja, Nay."Malam itu, keduanya baru saja naik ke atas ranjang berbalut seprei putih. Davin yang sudah tak tahan lagi dengan kantuknya, kini sudah terpejam erat. Baru saja mencium aroma bantal, pria itu langsung hilang ke alam mimpi."Mas, perut aku ...."Nayla menggoyangkan lengan Davin berulangkali. Namun, pria itu sudah tak dapat membuka mata lagi. "Mas!"Nayla merintih menahan sakit, apalagi terasa perutnya yang sudah tepat sembilan bulan itu seperti mengejan sendiri. "MAAAAAS!" Saking kesalnya, Nayla menarik rambut kepala Davin. Sontak pria itupun berteriak karena sakitnya. "Duh, Nay ... kepalaku sakit. Kenapa kamu gitu, sih.""Mas ..." Napas Nayla tersengal-sengal. "Perutku. Anak kamu mau lahir kayaknya.""Hah? Serius kamu, Nay? Aduh!" Panik, Davin memegang kepalanya. Pria itu melompat dari tempat tidur dan segera berganti baju. Setelah mengenakan jaket hitamnya, ia menyiapkan tas persalinan yang isinya sudah jauh-jauh hari disia
Davin menggendong putranya sambil membantu Nayla turun dari mobil. Sementara sopir, menurunkan barang-barang dari bagasi. Mereka sudah boleh pulang karena kata dokter, Nayla dan bayinya sehat."Nay, kamu istirahat aja. Aku akan ambilkan kamu makan," ucap Davin saat mereka masuk kamar. Dan, bayi kecil itu langsung ia tidurkan di sebelah Nayla menyandar. "Aku udah kenyang, Mas. Kan, tadi kamu sendiri yang menyuapiku. Baru berapa jam, sih? Dua jam, kan?"Nayla tampak sedikit meringis. Kakinya terbentang lurus lalu diselimuti oleh Davin. "Kamu dalam berjuang asi untuk anak kita, Nay. Kata dokter harus nutrisi yang bagus dan kalau belum lancar, suruh tambah makan dan minum." "Iya, aku udah tau, Mas. Tapi, masih kenyang. Perutku enggak muat. Lagian ini juga belum masuk jam makan siang.""Ya udah, terserah kamu. Tapi, aku kupasin buah, nanti dimakan yah!"Nayla mengangguk saja. Semenjak ia melahirkan baby Hasya, Nayla merasa Davin lebih dan semakin perhatian. Pria dewasa itu setiap malam
"Ren, mending kamu segera move on. Biar enggak kelamaan kesepian."Maya menghela napas panjang menatap sang putra yang hanya setia dengan kesendiriannya. Mereka berada di kamar Reno yang bernuansa serba putih. "Tapi ... Reno masih belum menemukan gadis yang sesuai, Mah. Belum takdir aja mungkin." Reno membalik badannya. Lalu, mengeluarkan tangan dari dalam saku dan ikut duduk di sebelah Maya."Gimana kalau kamu kenalan sama anak teman Mama? Dia lulusan S2 di UI. Baru aja kelar. Sekarang, sibuk bisnis bakery sama Mamanya. Dia berencana cari kerja kantoran kata Mamanya.""Entar aja deh, Ma. Reno belum berani serius dengan wanita lagi. Reno masih trauma."Maya kembali mengembus napasnya. "Terserah kamu aja, deh. Yang penting, Mama sudah menasihati dan menawari. Kelanjutannya, terserah kamu. Tapi ingat Ren, jangan lama-lama. Mama kangen cucu.""Hem." Reno menyipitkan matanya mendengar keluhan Mamanya. Pagi itu, Reno sudah siap dengan penampilan maskulin. Dia ingin lari pagi sebelum ke k
"Anggi, ini rumah kamu?" tanya Reno saat mereka sampai. "Iya. Ayo masuk, Mas."Reno mengekor di belakang Anggi setelah menyapa satpam di pos ronda. Mereka masuk dan langsung berhadapan dengan wanita bertubuh besar. Rambutnya disanggul dengan kacamata bertengger di hidung. "Pagi, Tan?" Reno menyapa."Pagi. Ini siapa, Ang?" Wanita tua itu menatap putrinya. "Ini namanya Amas Reno, Ma. Tadi Anggi kakinya terkilir. Ditolongin sama beliau," jelas Anggi sambil menatap Reno. Padahal dalam hati Reno bertentangan dengan apa yang dikatakan Anggi. Reno kagum dengan gadis itu. "Panggil aja Tante Mira. Silakan duduk Nak Reno. Saya ambilkan minum dulu." Beralih pada putrinya, Mira meminta Anggi menemani pria itu. "Ang, temani dia.""Oke, Mah." Anggi tertawa. Setelah mereka berdua duduk, Reno berbisik pelan. "Kenapa tadi kamu bilang begitu? Padahal, kan, aku yang salah. Lari enggak liat jalan.""Enggak apa-apa. Lagian aku juga, kok, yang terlalu teledor." Senyuman dari bibir Anggi membuat deba
"Ang, kamu ... udah punya calon?" tanya Reno dengan sangat hati-hati. Ia tak ingin kembali membawa kecewa. "Udah, Mas."Mendengar jawaban itu, Reno langsung patah hati. Mereka tengah makan soto Betawi di kantin kantor. Saat itu, mereka baru saja membuka percakapan. Rasa nikmat soto yang kental tak lagi terasa. Kini, hanya rasa hambar yang ada. Hilang sudah moodnya. "Oh, ya sudah. Lanjut makan aja." Reno tampak gugup dan hilang perasaan pada Anggi. Anggi pun mengangguk saja. Setelah tinggal separuh, Anggi berucap, "Aku baru aja dapet calon member baru, Mas. Dari Bandung. Belum sempat bilang. Niatnya sih buat kejutan.""Maksudnya?" Reno menghentikan makannya. "Iya. Yang Mas Reno tanyakan tadi, kan? Calon member baru produk kita, kan?"Reno semakin bingung. Lelaki itu menggaruk tengkuk lehernya sendiri. "Ih, yang Mas Reno tanyakan tadi bukannya calon member? Iya, kan? Aku udah dapat.""Loh ..." Reno menggeleng kepalanya. Ia tersenyum setelah itu. "Bukan itu yang kumaksud, Ang.""Te
"Anggi!" Reno tak mau tahu. Dia tetap mengejar gadis itu. Tak mau tahu jika gadis itu tengah kecewa sekalipun. "Anggi, benar apa kata Reno. Dengarkan penjelasan dia." Maya ikut berucap. Tak ingin calon menantunya itu gelap mata hanya karena kesalahpahaman yang belum jelas."Sudah, Mbak. Kami sudah sangat kecewa. Ternyata Reno telah membohongi kami. Biarkan Anggi mencari kebahagiaan dia sendiri." Anggi tak peduli lagi saat Mamanya menjelaskan pada keluarga Reno.Ia tetap berlari tanpa melihat kanan kiri sehingga tak melihat sebuah mobil lewat di ujung samping kanan. Hanya sebuah sorot lampu mobil itu yang tiba-tiba memantul pada wajah cantiknya. Namun, Reno datang dengan segera dan menarik pinggang Anggi. Sontak, dua anak manusia itu terjatuh ke tanah berlapis pavingan. Anggi memberontak tetapi Reno tak ingin melepaskannya. "Ang, please, dengarkan aku dulu. Demi Allah, sekarang aku tidak ada hubungan apa-apa lagi dengan dia. Dia hanya mantan saja. Dia kuceraikan karena dia sudah be
Keduanya melewati malam dengan begitu manis. Anggi baru baru membuka mata, ia langsung menemukan sosok yang tampak bertelanjang dada di sampingnya. Pria itu terpejam rapat dan masih tampak kelelahan. Jam dinding menunjuk pukul lima pagi, Anggi segera bangkit sambil menahan rasa sakit di bagian tertentu. Jalannya susah, sambil merambat dinding. Di kamar mandi, dia mengguyur diri di bawah shower yang mengalir air hangat. Tak lama malah terdengar ketukan pada pintu yang membuatnya kaget. Anggi buru-buru memakai handuk kimono dan membalut kepalanya dengan handuk biasa. "Mas ... kamu mau mandi sekarang?" Anggi tampak malu-malu saat tatapan Reno menatapnya. "Iya. Aku harus segera mandi. Kita sholat subuh jamaah, ya." Anggi mengangguk pelan. Ketika hendak lewat, lengan gadis itu mendadak dicekal oleh sang suami. Ada satu kecupan mendarat di tempat yang semestinya. Jantung Anggi berdebar kencang, Reno sudah berhasil membuatnya semakin mengembang.Kedua pasangan halal itu mulai kembali me