"Mas, hari ini kita mau ke mana? Kamu belum mengatakannya padaku." Davin tersenyum manis. Gigi-gigi putihnya tampak menawan dipadu dengan bibir semu kemerahan. "Nanti kamu juga tau sendiri. Oh, ya, besok kita jenguk Reno lagi. Dia sudah siuman kata Mamanya. Aku sempat ditelpon.""Iya. Kita harus jenguk lagi. Tapi, hari ini aku pengen makan sup ceker, Mas. Kamu bisa Carikan enggak?" "Aku akan bawa kamu ke tempat itu. Kita pesan banyak biar kamu puas." Yang satu cantik bak bidadari dengan setelah gamis dan jilbab senada berwarna biru tua. Sementara Davin sendiri tampak cool dengan kemeja putih yang dilipat setengah lengan dan celana bahan hitam panjang. Mereka berjalan keluar dari rumah, tetapi hujan mendadak melanda. Deras disertai petir. Siang itupun tampak gelap. Mereka menatap langit itu. Lalu, saling melempar pandangan sebagai tanda pertanyaan. "Gimana?" Davin bertanya."Ayo, enggak apa-apa hujan. Aku udah pengen banget Mas." Melihat Nayla merengek, Davin tak tega. Ia segera
"Maaf, Pak. Sup ceker habis."Malam gelap, rumah di pojok gang itu tampak lampu yang tak begitu terang menyorot wajah dua orang yang tengah bicara. Sang wanita tua yang tampak mengenakan daster rumahan dengan tubuh kurus itu meminta maaf. "Saya mohon, Bu. Kalau ada sedikit saja. Istri saya lagi ngidam. Saya pusing dari tadi muter-muter keliling makanan itu enggak ada yang jual. Ada beberapa restoran tapi sudah habis."Davin menghela napas panjang. Sesekali menoleh pada wanita di dalam mobilnya yang tengah berharap besar padanya. "Saya tidak bohong, Pak. Serius. Saya jualnya cuman siang aja dan itu juga sudah habis. Suami saya bahkan sudah tidur sekarang. Kamu capek."Mendengar ungkapan wanita tua itu, Davin lemas seketika. Ke mana lagi ia harus mencari. Menoleh kanan kiri sambil berpikir. Jika malam ini ia tak dapat makanan itu, pasti Nayla tidak akan bisa tidur lagi."Ya udah deh, Bu, saya pamit. Makasih banyak."Davin menunduk hormat. Akan tetapi, wanita itu tampak kasihan menatap
"Gimana, Nay? Enak enggak, masakan aku?"Davin sudah siap mendengar jawaban memuaskan dari sang istri. Namun, melihat ekspresi Nayla yang tampak menahan tawa, Davin tak sanggup menunggu lagi. Pria itu langsung meraih sendok di tangan Nayla dan mencobanya sendiri. Suara bunyi air yang disesap lantas membuat tawa Nayla pecah. Wanita cantik dengan piyama tidur itu terpingkal-pingkal. "Gimana, Mas?"Melihat raut wajah meringis Davin, Nayla tak bisa menghentikan gelak tawanya. Perutnya sampai mendadak penuh gara-gara melihat wajah sang suami yang baginya lucu. "Kok ... asin banget, Nay? Perasaan aku tadi enggak kasih garam banyak-banyak. Duh, gimana ini, Nay?"Nayla masih tertawa. "Coba ambilkan gula, Mas."Davin berdiri lagi dan kembali ke dapur. Pria tampan dengan wajah polos itu menggaruk tengkuk. Setelah kembali dengan wadah berisi gula, Nayla langsung membubuhkan mangkuk yang masih tampak mengepul asap dan kaki ayam itu dengan gula. Baru lah ketika dirasa cukup, Nayla mengaduk rata
"Tan, gimana keadaan Reno?" "Alhamdulillah, sudah jauh lebih baik setelah tidak meminum obat dari wanita jahanam itu."Mata tampak sangat kesal. Ia menyayangkan sekali sikap dan perilaku Fia pada putranya. Mereka bertiga duduk di ruang tengah. Rumah mewah milik Maya Suhendar yang memiliki luas lebih dari 1000 hektar. "Fia sekarang ada di penjara. Tapi, dia mendadak hilang akal juga terakhir saya dengar," lanjut Davin. "Biarkan saja dia menerima ganjarannya. Yang penting kalian selamat. Juga Reno. Tante tidak habis pikir. Kejadian mengerikan hampir saja melayangkan nyawa Reno. Kita semua mengira Reno mengalami kanker ganas. Enggak taunya cuman akal-akalan Fia saja dengan dokter suruhannya.""Boleh kami melihat keadaan Reno, Tan?" Davin memohon lagi. Sebenarnya, Maya masih trauma dengan sesuatu yang berhubungan dengan mereka berdua. Namun, karena Maya kenal baik, ia memperkenankan Davin dan Nayla untuk masuk ke dalam kamar Reno. Ketika pintu dibuka, mereka bertiga melihat Reno dudu
"Mas, perut aku enggak enak.""Hem. Diajak tidur aja, Nay."Malam itu, keduanya baru saja naik ke atas ranjang berbalut seprei putih. Davin yang sudah tak tahan lagi dengan kantuknya, kini sudah terpejam erat. Baru saja mencium aroma bantal, pria itu langsung hilang ke alam mimpi."Mas, perut aku ...."Nayla menggoyangkan lengan Davin berulangkali. Namun, pria itu sudah tak dapat membuka mata lagi. "Mas!"Nayla merintih menahan sakit, apalagi terasa perutnya yang sudah tepat sembilan bulan itu seperti mengejan sendiri. "MAAAAAS!" Saking kesalnya, Nayla menarik rambut kepala Davin. Sontak pria itupun berteriak karena sakitnya. "Duh, Nay ... kepalaku sakit. Kenapa kamu gitu, sih.""Mas ..." Napas Nayla tersengal-sengal. "Perutku. Anak kamu mau lahir kayaknya.""Hah? Serius kamu, Nay? Aduh!" Panik, Davin memegang kepalanya. Pria itu melompat dari tempat tidur dan segera berganti baju. Setelah mengenakan jaket hitamnya, ia menyiapkan tas persalinan yang isinya sudah jauh-jauh hari disia
Davin menggendong putranya sambil membantu Nayla turun dari mobil. Sementara sopir, menurunkan barang-barang dari bagasi. Mereka sudah boleh pulang karena kata dokter, Nayla dan bayinya sehat."Nay, kamu istirahat aja. Aku akan ambilkan kamu makan," ucap Davin saat mereka masuk kamar. Dan, bayi kecil itu langsung ia tidurkan di sebelah Nayla menyandar. "Aku udah kenyang, Mas. Kan, tadi kamu sendiri yang menyuapiku. Baru berapa jam, sih? Dua jam, kan?"Nayla tampak sedikit meringis. Kakinya terbentang lurus lalu diselimuti oleh Davin. "Kamu dalam berjuang asi untuk anak kita, Nay. Kata dokter harus nutrisi yang bagus dan kalau belum lancar, suruh tambah makan dan minum." "Iya, aku udah tau, Mas. Tapi, masih kenyang. Perutku enggak muat. Lagian ini juga belum masuk jam makan siang.""Ya udah, terserah kamu. Tapi, aku kupasin buah, nanti dimakan yah!"Nayla mengangguk saja. Semenjak ia melahirkan baby Hasya, Nayla merasa Davin lebih dan semakin perhatian. Pria dewasa itu setiap malam
"Ren, mending kamu segera move on. Biar enggak kelamaan kesepian."Maya menghela napas panjang menatap sang putra yang hanya setia dengan kesendiriannya. Mereka berada di kamar Reno yang bernuansa serba putih. "Tapi ... Reno masih belum menemukan gadis yang sesuai, Mah. Belum takdir aja mungkin." Reno membalik badannya. Lalu, mengeluarkan tangan dari dalam saku dan ikut duduk di sebelah Maya."Gimana kalau kamu kenalan sama anak teman Mama? Dia lulusan S2 di UI. Baru aja kelar. Sekarang, sibuk bisnis bakery sama Mamanya. Dia berencana cari kerja kantoran kata Mamanya.""Entar aja deh, Ma. Reno belum berani serius dengan wanita lagi. Reno masih trauma."Maya kembali mengembus napasnya. "Terserah kamu aja, deh. Yang penting, Mama sudah menasihati dan menawari. Kelanjutannya, terserah kamu. Tapi ingat Ren, jangan lama-lama. Mama kangen cucu.""Hem." Reno menyipitkan matanya mendengar keluhan Mamanya. Pagi itu, Reno sudah siap dengan penampilan maskulin. Dia ingin lari pagi sebelum ke k
"Anggi, ini rumah kamu?" tanya Reno saat mereka sampai. "Iya. Ayo masuk, Mas."Reno mengekor di belakang Anggi setelah menyapa satpam di pos ronda. Mereka masuk dan langsung berhadapan dengan wanita bertubuh besar. Rambutnya disanggul dengan kacamata bertengger di hidung. "Pagi, Tan?" Reno menyapa."Pagi. Ini siapa, Ang?" Wanita tua itu menatap putrinya. "Ini namanya Amas Reno, Ma. Tadi Anggi kakinya terkilir. Ditolongin sama beliau," jelas Anggi sambil menatap Reno. Padahal dalam hati Reno bertentangan dengan apa yang dikatakan Anggi. Reno kagum dengan gadis itu. "Panggil aja Tante Mira. Silakan duduk Nak Reno. Saya ambilkan minum dulu." Beralih pada putrinya, Mira meminta Anggi menemani pria itu. "Ang, temani dia.""Oke, Mah." Anggi tertawa. Setelah mereka berdua duduk, Reno berbisik pelan. "Kenapa tadi kamu bilang begitu? Padahal, kan, aku yang salah. Lari enggak liat jalan.""Enggak apa-apa. Lagian aku juga, kok, yang terlalu teledor." Senyuman dari bibir Anggi membuat deba