Fia sesekali melirik punggung kekar yang tengah duduk di kursi lain dengan jari mengetik pada keyboard. Sorot matanya itu tertangkap oleh Nayla. Namun, istri Davin itu tak mau berburuk sangka. Satu tahun berlalu, Davin bilang tak berhubungan apa pun dengan Fia. Maka dari itu, Nayla tak mau berburuk sangka dan ada masalah lagi."Minum dulu, Fi." Satu gelas minuman dingin tersaji di meja depan Fia. "Makasih, Nay." Setelah meneguk, Fia mengajak ngobrol ringan wanita di hadapannya itu. Tak lama, ponselnya berbunyi dan Fia pamit pulang."Makasih banyak, Nay. Maaf ya, aku ngerepotin kamu sama Davin. Semoga kalian bahagia selamanya." Ada yang nyeri di dalam sana. Rasanya menusuk sampai ulu hati. Melepas orang yang dicintai bertahun-tahun pada wanita lain."Enggak repot kok, Fi. Kebetulan kami baru aja pulang dari liburan. Terima kasih juga udah mampir," balas Nayla dengan senyum yang manis. Fia membalik badan setelah mengucap salam. Ia masuk ke dalam mobil sedan merahnya lantas pergi. Nay
Pria tinggi tegap dengan pesona tiada tandingan itu berjalan memasuki lobi. Semua orang tampak menyambut dan menunduk hormat. Davin berjalan dengan dia asisten di belakangnya. Mereka memasuki lift untuk menuju ke ruangan meeting.Senyum manis dari bibir semu merah, Davin memasuki ruangan meeting. Di sana, Reno sudah duduk menunggu."Maaf, saya telat.""Tidak apa-apa, Pak Davin. Silakan dimulai," balas salah seorang petinggi di perusahaan tersebut.Davin mulai membuka rapat dan menjelaskan bagaimana management pemasaran dengan keahliannya. Meeting berlalu sekitar satu jam. Setelah semua menyepakati, meeting selesai dengan sebuah perjanjian kerja. "Gimana kabarmu, Dav? Aku dengar baru pulang liburan." Reno yang tadinya duduk jauh, kini mendekati Davin. Mereka sengaja menunggu semua orang keluar dulu. "Alhamdulillah, baik. Iya, baru kemarin pulang dari liburan. Kamu sendiri gimana? Aku dengar ....""Aku ada pesan buat kamu. Kumohon, jaga dan jangan sampai ada yang tau."Davin mengerutk
"Nay, kamu sakit? Masuk angin, ya?"Melihat Nayla lemas dan tak berdaya, serta wajah pucat yang memprihatinkan, Davin langsung meraih ponselnya. Namun, tangan Nayla mencegah. Lalu, menggeleng kepalanya sebagai tanda ia hanya ingin Davin di sampingnya. "Mas, tetaplah di sini. Aku hanya butuh pelukan."Davin menghela napasnya. "Kamu sakit, Nay. Enggak boleh diacuhkan. Aku akan telpon dokter.""Jangan! Aku cuman ingin tidur sama kamu saat ini. Temani aku saja. Jangan pergi."Davin tersenyum manis. Pria tampan itu mulai melunak dan merebahkan diri sambil memeluk istrinya. Dibelainya anak rambut Nayla. Dan, kecupan manis mendarat di kening Nayla. Tak lama, Davin mendapati Nayla terlelap dalam dekapannya.Malam itu, Nayla merasa dirinya sangat lemah, malas, terlebih perutnya tak bisa diisi makanan. "Kayaknya ada lambung. Biar aku kurangi makan pedasnya nanti.""Kamu beneran engga mau periksa ke dokter?" Davin memijat kaki istrinya dengan telaten. Ia tak ingin pujaan hatinya itu sakit akiba
Mereka berdua membawa Reno ke rumah sakit. Kepala Reno di atas pangkuan Fia di jok belakang. Sementara Davin menyetir dalam kondisi hujan lebat. Dengan bermodal doa saja, pria tampan itu menerjang hujan yang mengganggu perjalanan. Setibanya di rumah sakit, mereka dibantu perawat mendorong Reno menuju ruang IGD. Kini, hanya tinggal Fia dan Davin saja yang menunggu di lorong itu. Hanya ada dua kursi tunggu yang berdempetan. Dalam hati berkata, tak mungkin sedekat itu dengan Fia jika ingin melepas lelah. "Fia, duduklah! Reno akan baik-baik saja." Davin menunjuk kursi yang ada di dekat mereka. Fia pun hanya menatapnya saja. Tampak raut tak tenang di wajahnya dan tak mengindahkan ucapan Davin."Fia ...." Panggilan Davin kedua kalinya hanya diabaikan oleh wanita muda itu. Davin yang tak tahan pun, lantas menarik tangan Fia lalu mengajaknya duduk bersama. Namun, suasana itu malah membuat Fia nyaman dan menyandar bahu pria itu. "Davin, aku takut Reno kenapa-napa. Bagaimana jika dia ...."
["Kamu tidak perlu takut, Nay. Banyak berdoa saja. Hidup mati kita da di tangan Allah."]["Jadi ... kamu pulangnya besok?"]Tak lama, panggilan telepon terputus. Davin menekan telepon berkabel di rumah sakit itu sekali lagi. Akan tetapi, Nayla tak bisa dihubungi. Teringat kemarin lalau Nayla lemas dan hampir tak kuat menahan diri, Davin meminta suster agar memantau keadaan rebo dengan siaga karena Reno mengalami sakit yang bukan bawaan.Di malam yang gelap dan hujan lebat itu, Davin meluncur di jalanan. Tampak sangat sepi dan tak banyak mobil lewat. Dalam mobil terlihat waktu berdetik yang menunjukkan pukul dua dini hari. Davin menambah kecepatannya mobilnya. Meski lelah merajai dan tubuh terasa remuk, pria itu tetap berjuang. Ia ingin menunjukkan betapa ia setia dan ingin membayar kesalahan-kesalahannya pada Nayla. Ketika terlihat gapura besar kompleks itu, hati mulai tenang. Davin masuk dan tiba di rumah. "Nay!" Davin berlari sambil melepas sepatu dan kemejanya yang sudah basah.
Keduanya berjalan memasuki lorong setelah mendapatkan nomor antrian. Di rumah sakit tempat Reno dirawat. Tangan dan kaki Nayla dingin. Lalu, digenggam oleh sang suami yang begitu paham akan situasinya. "Mas, aku takut.""Takut kenapa? Tidak akan terjadi apa-apa. Percayalah denganku. Insyaallah, akan ada kabar baik, Sayang." Davin memengusap kepala istrinya. Mereka menunggu di kursi antrean pagi itu. Kebetulan, kata suster yang berjaga, dokter belum datang. "Mas, apa kamu enggak telat nanti? Aku enggak enak ganggu waktu kamu kerja." Davin tersenyum setelah mendengar Nayla bicara sepolos itu. Lirikan mata pria itu membuat Nayla tersipu. "Apa pun untuk kamu, Nay." Davin telah berhasil membuat Nayla percaya diri. Mereka masuk ke dalam ruangan dokter kandungan.Sesaat, dokter meminta Nayla naik ke atas ranjang dan mulai mengeluarkan stetoskop. Mendengarkan detak jantung dan memeriksa mata. Lalu, ketika dokter mengerutkan dahinya, Nayla tampak khawatir lagi. Ia diminta untuk ke kamar ma
"Mas, hari ini kita mau ke mana? Kamu belum mengatakannya padaku." Davin tersenyum manis. Gigi-gigi putihnya tampak menawan dipadu dengan bibir semu kemerahan. "Nanti kamu juga tau sendiri. Oh, ya, besok kita jenguk Reno lagi. Dia sudah siuman kata Mamanya. Aku sempat ditelpon.""Iya. Kita harus jenguk lagi. Tapi, hari ini aku pengen makan sup ceker, Mas. Kamu bisa Carikan enggak?" "Aku akan bawa kamu ke tempat itu. Kita pesan banyak biar kamu puas." Yang satu cantik bak bidadari dengan setelah gamis dan jilbab senada berwarna biru tua. Sementara Davin sendiri tampak cool dengan kemeja putih yang dilipat setengah lengan dan celana bahan hitam panjang. Mereka berjalan keluar dari rumah, tetapi hujan mendadak melanda. Deras disertai petir. Siang itupun tampak gelap. Mereka menatap langit itu. Lalu, saling melempar pandangan sebagai tanda pertanyaan. "Gimana?" Davin bertanya."Ayo, enggak apa-apa hujan. Aku udah pengen banget Mas." Melihat Nayla merengek, Davin tak tega. Ia segera
"Maaf, Pak. Sup ceker habis."Malam gelap, rumah di pojok gang itu tampak lampu yang tak begitu terang menyorot wajah dua orang yang tengah bicara. Sang wanita tua yang tampak mengenakan daster rumahan dengan tubuh kurus itu meminta maaf. "Saya mohon, Bu. Kalau ada sedikit saja. Istri saya lagi ngidam. Saya pusing dari tadi muter-muter keliling makanan itu enggak ada yang jual. Ada beberapa restoran tapi sudah habis."Davin menghela napas panjang. Sesekali menoleh pada wanita di dalam mobilnya yang tengah berharap besar padanya. "Saya tidak bohong, Pak. Serius. Saya jualnya cuman siang aja dan itu juga sudah habis. Suami saya bahkan sudah tidur sekarang. Kamu capek."Mendengar ungkapan wanita tua itu, Davin lemas seketika. Ke mana lagi ia harus mencari. Menoleh kanan kiri sambil berpikir. Jika malam ini ia tak dapat makanan itu, pasti Nayla tidak akan bisa tidur lagi."Ya udah deh, Bu, saya pamit. Makasih banyak."Davin menunduk hormat. Akan tetapi, wanita itu tampak kasihan menatap