"Davin!" Davin segera berdiri tegak. Ia membalik badan ingin segera pergi dari sana. Muak sudah menatap wajah gadis yang dahulu ia kira baik-baik dan polos itu. Ternyata benar naluri Mamanya tentang gadis itu. "Davin, tunggu! Tolong aku, Dav." "Kupikir kamu bisa bangun sendiri, Fi. Jangan mengira kalau aku bodoh! Aku tau, kau menyuruhku ke sini untuk menjebakmu, bulan? Hina sekali caramu. Kotor!" Davin segera pergi dari sana dan mengeluarkan kunci mobilnya. Ia bergegas pulang karena ingin bertemu dengan sang istri. Rasa-rasanya, sudah sangat rindu sekali. Mobil meluncur pada jalanan yang mulai basah karena hujan yang telah merata. Hawa sejuk kali ini semakin menyiksa diri kala jauh dari Nayla. Sampai di rumah, ia berencana ingin memberikan kejutan. Mobil berhenti di depan sebuah toko coklat. Pria tampan dengan jas setengah basah karena hujan itupun segera berteduh di toko seraya memesan buket berisi aneka coklat. Setelah membayar, Davin kembali ke dalam mobil. Pulang dengan per
Siang itu, tepatnya saat Davin libur kerja, dia sibuk membersihkan kolam renang. Nayla yang memerhatikannya sejak tadi tampak kasihan. Selangkah ingin membantu suaminya, tetapi gadis itu urungkan lagi. Sebab, Davin pasti tak mau dibantu. Sejak hamil, Davin seringkali melarang Nayla mengerjakan pekerjaan yang berat. Termasuk membantu suaminya sendiri. Hanya masak saja, jika ingin makan di rumah. Namun, seringnya lelaki itu mengajak makan di luar dengan alasan istrinya tak boleh lelah. "Mas Davin, minum dulu." Nayla datang dengan nampan satu gelas minuman dingin. Ia meletakkannya di atas meja taman dekat Davin berjongkok."Makasih, Nay." Lelaki dengan kaus putih dan celana selutut itupun segera duduk dan meneguk minumannya. "Mas, hari ini ada jadwal periksa kandungan." Dengan malu-malu, Nayla menyampaikan sebuah kabar. Ia khawatir kalau Davin tidak bisa mengantarnya."Oh ya? Kenapa kamu baru bilang? Sekalian kita beli baju buat dia, ya." Davin meraih kepala Nayla dan menciumnya. Mere
"Siapa dia, Mas?" Tahan Nayla menyentuh lengan Davin. Wanita cantik dengan lesung di pipi itu tampak ketakutan. Tangan dan kakinya dingin menatap mobil yang lewat di depan mereka. Tak tampak sama sekali wajah sang penghuni mobil yang sejak tadi mengejar mereka. Entah sebab takut karena mereka di area padat penduduk atau hal lain, yang jelas setelah mereka melewati ketegangan sesaat tadi, suasana kembali mencair. "Mas, apakah kita sudah aman?" tanya Nayla lagi. "Sudah Nay. Sepertinya hanya perasaan kita saja yang terlalu berlebihan. Kita kembali ke mobil saja."Mereka pulang lagi setelah mengurungkan niat yang tadinya ingin periksa kandungan sekalian berbelanja. Davin menatap langit-langit kamar teringat kejadian siang tadi. Sebenarnya, ia masih curiga dengan sosok yang tak tampak di dalam mobil itu. Satu kecurigaannya hanya tertuju pada satu wanita. Yaitu Fia. Sudah beberapa jam berlalu, pria itu tak juga bisa tidur. Ia teringat masa lalunya dengan Fia. Wanita itu mungkin tak dapa
Davin tak bisa menolak lagi. Ia tak tega dengan keadaan Fia. Gadis itu pucat sekali. Terpaksa pria beristri itu harus menginap di rumah sakit bersama mantan kekasihnya. Namun, hati tetap tak tenang karena ia teringat sang istri yang pasti sudah menunggu. Malam larut dengan cepat, Davin merebahkan diri di atas sofa. Ponsel ditekan tak kunjung keluar gambar. Baterai habis, hati makin merana. Bagaimana ia bisa mengabari Nayla. Davin terjerembab ketika Fia merintih kesakitan. Pria itu mendekati gadis berpakaian piyama biru. "Fia. Kamu kenapa?""Davin, jangan tinggalkan aku." Fia menarik tubuh pria dewasa itu ke dalam pelukanya. "Fi ....""Fia, lepaskan aku.""Fia!"Davin berusaha melepaskan, tetapi tubuh Fia teramat panas saat mereka saling bersentuhan kulit. Davin pun segera menekan tombol panggil di dekat ranjang rumah sakit. Tak lama, perawat datang bersama seorang dokter. Mereka segera memeriksa pasien. Davin diminta keluar lebih dulu. Sejenak, pria itu menatap atap depan ruangan
"Saya sudah berbaik hati dengan menemani Fia di rumah sakit, Tante. Padahal itu bukan tanggung jawa saya. Dia di sana dijagain sama suster, jadi bukan salah saya kalau saya pulang. Sekali lagi saya tekankan sama Tante, Fia bukan siapa-siapa saya."Karena penasaran dengan obrolan suami dan wanita itu, Nayla akhirnya keluar dari dalam mobil. Ia mendengar apa yang diucapkan suaminya itu barusan. Seketika jantung seperti berhenti berdetak. "Jadi semalam kamu menemani dia, Mas?" lirih Nayla dengan air mata yang hampir terjatuh. Sentuhan angin lembut merobohkan dinding pertahanan. Nayla merasa kecewa dengan pria itu. "Nay ... ini tidak seperti yang kamu kira. Nay!" Davin yang menoleh sekilas langsung mengejar istrinya yang melangkah ke belakang. Ingin kembali ke rumah. Dan, menumpahkan segala sesak di dada. "Nay, tunggu!" Davin berhasil mencegah langkah Nayla dengan tangannya. "Mas, aku sepertinya kurang enak badan. Kita tunda dulu saja periksanya. Aku mau istirahat," bohong Nayla. Seb
"Davin! Kamu ke mana aja?" Wajah Fia sendu. Tampak seperti habis menangis. "Maaf, Fia. Aku harus pergi." "Tunggu, Vin!" Fia menarik tangan Davin. Ia mengiba lagi dan lagi. "Lepaskan aku, Fia! Kita sudah tidak ada apa-apa lagi. Maafkan aku. Aku hanya ingin hidup tenang dengan istriku. Please, jangan ganggu ataupun mencoba meminta belas kasihanku."Fia tertegun mendengar penuturan Davin. Ia menatap punggung kekar berbalut kemeja biru itu hingga lenyap dari pandangan mata. Sementara perawat yang ada di belakang dengan tangan masih memegang gagang kursi roda pun menunduk, tak ingin ikut campur.Fia diantar lagi masuk ke dalam kamar setelah sebelumnya dari ruangan lain untuk keperluan pemeriksaan. Gadis itu menarik napas dalam-dalam seraya mengepalkan tangan erat-erat. Ia bersumpah dalam hati tidak akan tinggal diam setelah ini. Semua rencananya telah sia-sia belaka. Fia berubah menjadi gadis yang sangat agresif berambisi mendapatkan Davin lagi. Setelah kejadian hari itu, ia akan membu
Kedua tangan bersedekah di dada. Kedua mata penuh air mata. Sambil menyandar jendela kaca dan menatap rembulan penuh cahaya. Saat ia menyadari ada yang mendekat dari belakang, buru-buru menghindar. Nayla mulai menarik selimut dan memunggungi arah jendela tadi. Davin hanya bisa menghela napas panjang sembari mengakui kesalahannya. Ia paham Nayla baru saja pulih dari sakit akibat keguguran. Namun, sekuat tenaga ia tak akan pernah membiarkan Nayla pergi darinya. Satu pekan sudah berada di rumah, mereka berdua tak ada pembicaraan. Seperti hidup sendiri-sendiri. Meski Davin tetap memberikan nafkah lahir, setiap kali ia memulai percakapan, Nayla selalu menghindar. Seolah tak melihat keberadaan Davin di rumah itu. "Kenapa sih, Bro? Lu kayaknya murung terus dari beberapa hari ini." Seorang teman kantor datang menepuk pundak Davin yang tengah duduk di kantin. "Pusing gua," balas Davin dengan spontan. Ia menjawab dengan malas dan sekenanya saja. Andro dan Bima datang lalu ikut duduk di kur
"Jangan, Mas! Aku masih sakit. Aku enggak bisa melayani kamu.""Tapi aku lebih tak tahan lagi kalau kamu mendiamkanku. Nay, jangan membuatku ...."Davin langsung membungkam Nayla dengan kecupan saat mereka sudah berada di atas tempat tidur. Seketika kedua mata Nayla melotot. Kedua tangannya menekan dada Davin yang kekar itu. "Mas Davin, sudah! Kumohon."Davin pun segera memberi ruang. Ia menjeda keinginannya itu. "Berjanjilah padaku, kalau kau tidak akan begini lagi. Aku berani bersumpah, Nay. Aku jujur. Di hatiku hanya ada kamu."Nayla tak bisa berkata-kata. Ia tak mampu menjawab karena melihat kedua mata Davin tanpa kebohongan. Sekali lagi, ia ingin memberi kesempatan pada pria itu. "Mas, aku hanya punya satu kesempatan untukmu. Kalau kamu menyia-nyiakan lagi, atau kamu kembali dengan dengan wanita itu, maaf saja. Aku lebih baik memilih pergi. Kamu harus melepaskanku.""Aku janji, Nay. Aku tak bisa tanpamu. Aku mencintaimu."Suasana mencair seiring kepercayaan kembali dalam rumah t