"Terima kasih, Miss. Kami pergi dulu." Dave menyelesaikan pembayaran dan membuka pintu mobil untuk Indri. Mereka kembali ke jalanan yang padat. Kebetulan malam Minggu, banyak pengguna jalan yang sengaja keluar malam untuk menikmati suasana kota Jakarta.Sampai di tempat tujuan, mereka turun. Namun, saat berjalan Indri kesusahan. High heels yang ia pakai terlalu tinggi. Memang sepadan dengan tinggi badan Dave, agar mereka terlihat serasi. Berbeda menurut Indri, ini akan sangat mengganggunya."Pegang!" Dave mengulurkan tangannya. "Tapi, Pak. Kita bukan pasangan, apalagi suami istri. Saya tidak bisa berpegangan dengan anda." Dave berdecak. "Kalau kamu jatuh, siapa yang malu?" "Ya, saya sendiri. Memangnya siapa?" Indri menyincing gaunnya dan mulai masuk. "Dita!" teriak Dave. Pria itu mengejarnya. Yang dikhawatirkan Dave benar terjadi, hampir saja Indri terjungkang. Dengan sigap, tangan kekar itu menangkap pinggang ramping lalu menariknya. Mereka menjadi pusat perhatian. Sejenak bumi
Indri berlari dan memutar badannya, menghalangi pria dewasa itu dengan berpegangan pada pinggang Dave. Seseorang yang memegang gagang pisau telah menusukkan benda tajam itu hinggap mengalirkan cairan merah. Serupa dengan gaun yang baru saja melekat pada tubuh Indri."Dita," pekik Dave. Tangannya menahan tubuh Indri yang sudah tak berdaya. Pria bertopi hitam dengan jaket kulit tadi berlari dengan sangat cepat. Beberapa pengawal dan sekuriti langsung mengejar sosok misterius tadi. Orang-orang di dalam gedung mulai berhamburan melihat Indri dalam dekapan Dave. "Tolong!" Dave berteriak."Indri!" Fabian tak mau kalah. Ia membantu Dave mengangkat wanita itu dan membawanya ke dalam mobil. Ali pun yang paling panik diantara pria-pria itu segera mengejar adiknya yang sudah dibawa ke rumah sakit.Mobil-mobil hitam beriringan, melaju menerpa hujan lebat. Sang bidadari banyak kehilangan darah. Indri sudah tak berdaya lagi meski sekadar membuka mata. Bibirnya berubah putih memucat. Dave yang dud
"Maksud, Tuan?" Ali tak paham. Ia ingin mempertegas ucapan Dave. "Saya bingung, apa yang akan saya katakan nanti pada Ibu kalau tau kondisi Indri begini." Ali menunduk."Ya, jika dia memang akan kehilangan rahimnya, maka saya yang akan menerima dia apa adanya. Dia akan saya nikahi." Dengan mantap, Dave mengutarakan niatnya. Semua orang di sana terkejut. ***"Al, jangan bercanda kamu, benarkah Indri akan dioperasi? Indri sekarang gimana?" Rumi yang baru dijemput lagi itu, sudah tak kuasa menahan tangis. Mereka berjalan dengan langkah yang sangat terburu. Melewati pasien-pasien yang didorong di atas ranjang dan para dokter yang sibuk dengan urusan masing-masing."Tenang, Bu. Kalau Ibu panik, yang ada Ali juga ikut panik. Mana bisa Ali menikah sedangkan Indri dirawat begini?" Pria itu seperti tengah memakan buah simalakama. "Ada Nak Fabian dan Tuan Dave, di sana?" Rumi kembali bertanya. Sungguh, apa yang ada di dalam hatinya tak bisa lagi untuk terus ditahan.Ali mengajak Ibunya masu
Sayup-sayup bulu mata lemah terlihat bergerak. Sesekali meremas rasa nyeri dengan isyarat mata. Indri meringis karena ia tak bisa dengan mudah bergerak ke samping. Tubuhnya kaku. Saat membuka mata dengan sempurna, ia malah berbicara aneh. Seperti orang linglung, kata dokter ... itu hal biasa. Seperti pada umumnya, pasien selesai dioperasi karena pengaruh obat bius, ia menjadi tak sadar meski sudah membuka mata. Bayangan seseorang memenuhi ruangan itu hingga ia berteriak. Membuat perhatian Dave yang tadinya tertunduk mengantuk, jadi terbangun."Dita ... kau sudah bangun? Alhamdulillah, kalau sudah sadar." Menggenggam jemari lentik yang terasa dingin, Dave menggosok tangan Indri agar terasa hangat."Aku di mana?" Lemah, suara Indri terdengar lirih dan berat. Bibirnya masih pucat, menandakan betapa dia merasakan sakit yang luar biasa."Di rumah sakit. Tenang, aku ada di sini. Kau tidak sendirian." Indri tak lagi memaksakan keinginannya untuk bangkit. Ia pasrah dengan keadaan yang tenga
Indri mulai mengunyah, ia tidak banyak protes sebab tatapan Dave saja mampu membuatnya bungkam. Pria berwajah tegas itu meletakkan tempat makan yang sudah kosong. Ia menarik satu sudut bibirnya melihat Indri menjadi sangat penurut. Sesungguhnya, wanita yang seperti ini yang ia inginkan."Pak," panggil Indri. Dave yang pergi menatap jendela segera menjawab sekenanya. "Saya mau pulang sekarang aja, deh. Saya enggak betah, Pak." Indri menyandarkan punggungnya pada bantal yang ditumpuk. Ia tak tahan dengan bau obat-obatan."Saya mau bilang sesuatu, tapi saya harap kamu tidak marah nanti." Pertimbangan yang sudah matang telah dibicarakan oleh kedua belah pihak. Dave sempat ragu, hanya saja ia tak mau orang lain mendahuluinya."Bilang apa, Pak? Bapak, mau pecat saya?" Kening yang terlipat, iris mata yang mengecil karena prasangka yang ia rasakan, Indri tak ingin kehilangan pekerjaannya. Ia masih ingin mewujudkan impian tinggi. "Bukan. Bukan itu, bahkan nanti kamu akan menjadi salah satu o
Urusan kantor yang semrawut membuat Rasya malas mengerjakan tugasnya. Belum lagi mendapat teguran dari atasan kalau salah input data. Pria berkemeja putih itu semakin hari semakin lesu. Pasalnya, ia rindu dengan seseorang. "Sya, tolong berkasnya sudah ditunggu Pak Ali." Salah seorang karyawan datang."Iyaahh." Setelah menjawab, Rasya bangkit dari kursinya dan melangkah ke ruangan mantan kakak ipar. Di sana, seorang pria dengan gagahnya duduk mengetik sesuatu pada layar segi empat di meja."Ini berkasnya," ucap Rasya. Meletakkan kertas terbalut map biru di atas meja. Tak banyak bicara dan segera pergi dari sana, membuat perhatian lawan bicaranya mengerutkan dahi.Ali mendengkus kesal. Sejak pertama ia memasukkan Rasya ke dalam perusahaan itu, dia tidak melihat attitude yang baik dari mantan adik iparnya itu. Rasya semena-mena dengan adiknya, sekarang mengerjakan tugas juga sesuka hati."Hallo, kamu di mana? Aku jemput siang ini." Rasya menyandarkan tubuhnya pada dinding bercat putih d
"Apa? Bu, jangan bercanda!" Indri memegang kepalanya sendiri. Duduk di tepi ranjang dalam kamarnya yang sunyi."Maafkan kami, Ndri. Semua sudah terjadi. Bukan maksud kami menghancurkan impianmu menjadi wanita karir, tetapi Tuan Dave melakukan itu semata-mata karena jasamu yang telah menyelamatkan dia." Rumi mengayunkan tangannya pada pundak sang anak. Bermaksud memberi pengertian.Dalam kelam malam itu, Indri termenung hingga entah pukul berapa. Dia memang sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa tetapi statusnya bukan lagi janda tetapi Nyonya Dave. Sepanjang gulita menyelimuti langit Jakarta, wanita muda dengan piyama tidur itu tak bisa menutup mata. "Kalian mengambil keputusan yang tak main-main. Sangat beresiko untukku. Bagaimana jika aku akan mendapatkan hinaan dari keluarga pria itu. Kenapa juga dengan Tuan Dave, bisa-bisanya menikahiku di waktu yang tidak tepat."Indri menilik ponselnya yang menyala. Terpampang detik waktu menjelang subuh. Kebetulan hari itu, dia sedang
"Udah sana! Kasihan, tuh, dianggurin." Ali menahan tawanya ketika mendapati sang adik malah mendekam dalam kamar Ibunya. Di dalam sana, Shalsabila dan Rumi ikut menahan tawa. "Gara-gara, Mas. Aku jadi harus satu kamar dengan dia. Gimana kalau dia ...." Indri berdecak. Ia malah melingkar dalam selimut dan memunggungi semua orang di dalam sana."Ndri, kamu bukan lagi anak remaja yang malu-malu ketika dijodohkan," tambah Shalsabila. Ia berdiri dan mendekat. "Kasihan suami kamu ""Tapi, aku takut, Mbak."Semua terdiam. Rumi menatap Ali dan menantunya secara bergiliran. Ia memberi isyarat dengan kerlingan mata agar mereka keluar. Setelah semua keadaan tenang dan hanya ada ibu dan anak saja dalam kamar itu, Rumi mulai mendekat."Indri ... coba bilang sama Ibu, kenapa kamu takut menemui Tuan Dave?" Rumi ingin bicara dari hati ke hati. Wanita itu menaiki ranjang tidur di sebelah Indri."Indri belum siap, Bu. Indri rela tidak menikah sampai tua bahkan kalaupun tidak bisa punya anak lagi. Buk