"Apa? Bu, jangan bercanda!" Indri memegang kepalanya sendiri. Duduk di tepi ranjang dalam kamarnya yang sunyi."Maafkan kami, Ndri. Semua sudah terjadi. Bukan maksud kami menghancurkan impianmu menjadi wanita karir, tetapi Tuan Dave melakukan itu semata-mata karena jasamu yang telah menyelamatkan dia." Rumi mengayunkan tangannya pada pundak sang anak. Bermaksud memberi pengertian.Dalam kelam malam itu, Indri termenung hingga entah pukul berapa. Dia memang sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa tetapi statusnya bukan lagi janda tetapi Nyonya Dave. Sepanjang gulita menyelimuti langit Jakarta, wanita muda dengan piyama tidur itu tak bisa menutup mata. "Kalian mengambil keputusan yang tak main-main. Sangat beresiko untukku. Bagaimana jika aku akan mendapatkan hinaan dari keluarga pria itu. Kenapa juga dengan Tuan Dave, bisa-bisanya menikahiku di waktu yang tidak tepat."Indri menilik ponselnya yang menyala. Terpampang detik waktu menjelang subuh. Kebetulan hari itu, dia sedang
"Udah sana! Kasihan, tuh, dianggurin." Ali menahan tawanya ketika mendapati sang adik malah mendekam dalam kamar Ibunya. Di dalam sana, Shalsabila dan Rumi ikut menahan tawa. "Gara-gara, Mas. Aku jadi harus satu kamar dengan dia. Gimana kalau dia ...." Indri berdecak. Ia malah melingkar dalam selimut dan memunggungi semua orang di dalam sana."Ndri, kamu bukan lagi anak remaja yang malu-malu ketika dijodohkan," tambah Shalsabila. Ia berdiri dan mendekat. "Kasihan suami kamu ""Tapi, aku takut, Mbak."Semua terdiam. Rumi menatap Ali dan menantunya secara bergiliran. Ia memberi isyarat dengan kerlingan mata agar mereka keluar. Setelah semua keadaan tenang dan hanya ada ibu dan anak saja dalam kamar itu, Rumi mulai mendekat."Indri ... coba bilang sama Ibu, kenapa kamu takut menemui Tuan Dave?" Rumi ingin bicara dari hati ke hati. Wanita itu menaiki ranjang tidur di sebelah Indri."Indri belum siap, Bu. Indri rela tidak menikah sampai tua bahkan kalaupun tidak bisa punya anak lagi. Buk
Selesai dari sana, Indri segera menunaikan kewajiban lima waktunya. Lalu, memasak air dan berbelanja di tukang sayur depan rumah. Sebagian tetangga sudah tahu kalau Indri sudah menikah lagi."Enak kamu, Ndri." Seorang ibu-ibu menoel lengan Indri. "Dinikahi konglomerat." Datang lagi ibu-ibu lain yang langsung ikut nimbrung. "Yah, jelas, dong. Nanti Indri enggak usah kerja capek-capek lagi. Mantan suami kamu biar tau rasa, Ndri."Indri tak habis pikir. Ia hanya diam sesekali menggeleng kepalanya."Mau dimasakin apa nanti suaminya, Ndri?" Suara tawa cekikikan menyampa mentari yang mulai meninggi. Mereka melirik ke arah Dave yang tengah memperhatikan Indri berbelanja di depan rumah."Saya masih bingung juga, Bu." Indri terus memilah-milah bungkusan bahan pangan. Ia tertarik dengan buah-buahan dan sayur daun melinjo."Ah, suami kamu ganteng banget. Tuh, dia lagi liatin kamu kayaknya. Istri belanja di depan rumah aja dikawal. So sweet," lirih seorang ibu lain. Ia terlihat salah tingkah. "
"Astaghfirullah, maaf, Pak." Indri segera melepas tangannya dan mundur dua langkah. Hingga kakinya tak sengaja terkena tanah basah bekas hujan beberapa waktu lalu. Ia tampak gelisah dan menyembunyikan perubahan raut wajahnya."Kenapa berhenti? Mata saya masih perih." Dave berpura-pura mengucek matanya dan mendesis. Padahal, semut yang tadinya jatuh ke dalam mata sudah diambil."Ee-em, sebentar, Pak." Indri masuk ke dalam mengambil air dalam gayung. Ia kembali keluar dan menyuruh Dave membuka matanya di dalam air tersebut.Dave pun menurut saja. Ia membuka matanya setelah mengusap wajah. Lalu, mencari tempat duduk.Sambil menunggu pria itu beristirahat di kursi teras, Indri memunguti mangga yang berjatuhan. Ia segera membawanya ke dalam dan mencucinya. Ketika wanita muda itu telah tiada, Dave kembali normal. Ia menatap pemandangan yang asri nan hijau di depan rumah. Menikmati sejuknya hawa di sana. Beberapa tetangga yang lewat mengangguk padanya dan ia membalas dengan hal yang sama. I
Saya tidak akan masuk anginSelama angin tersebut tidak mencoba masuk Saya bisa jaga diri Asal Bapak jangan godain terus.Di dalam sana, Dave terpingkal lirih. Ada yang lain yang tiba-tiba seperti bersemi. Sejuk, melewati sela-sela relung hatinya. Ia memang sudah pernah jatuh cinta tetapi baru kali ini merasakan cinta yang natural.Kalau kamu sudah menerima saya sebagai suami,Jangan lagi panggil saya Bapak karena saya bukan Bapak kamuSelayaknya suami istri yang semestinyaDan buat suamimu bahagia malam ini.Pesan terkirim.Ketika Indri menerima pesan tersebut, hatinya mulai mengembang seperti balon. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetaran dengan seluruh pori-pori keluar keringat dingin. Jantungnya yang tak mampu diatur itu sudah semakin membuatnya lemas. Ia ingin segera masuk ke kamar Ibunya dan tidur saja.Sesaat panggilan pun tiba-tiba masuk. Indri menatap nama yang sama. Nama yang sejak tadi ia diajak bercanda dari balik pesan-pesan. "Please, jangan sekarang, Pak!"
Setelah hanya mendapat senyuman penuh misteri, Indri masih terus menunggu tetapi Dave malah memejamkan mata. Sempat terbesit pikiran aneh dalam benaknya, tetapi buru-buru wanita muda itu hilangkan. Lampu telah padam dan tersisa hanya temaram di atas nakas. Dua raga yang saling memunggungi terkesan tak dapat memejamkan mata. Dave menyunggingkan senyum ketika mengingat dua bola mata natural yang sedikit menyipit saat sang empunya kaget dengan sebuah pernyataan.Lain sisi, Indri meremas kain selimut karena takut jika tiba-tiba pria dewasa yang kini berada di belakangnya itu menerkam. Tengah malam menyapa keduanya yang mulai terkantuk-kantuk. Dalam hati Indri, dia berjanji tidak akan pernah mau disentuh oleh Dave sebelum yakin dan terbuka hatinya untuk lelaki itu.Namun, fakta berbicara lain. Di saat tak sadar dan terbang dalam mimpinya, Indri malah mengira tubuh kekar yang terdiam dalam lelap itu adalah sebuah guling. Indri mengangkat tangannya dan melingkar pada dada bidang yang terciu
Dave tak peduli dengan larangan itu. Dia maju dua langkah dan membalik tubuh Indri dengan paksa. Mencoba membenahi resleting yang memang menyangkut pada benang. Satu tarikan jemari kokoh itu telah menyempurnakan tertutupnya punggung Indri. Sejenak, tatapan mereka terpaku pada cermin dalam kamar mandi. Namun, kedipan mata yang terkesan cepat mengalihkan perhatian. Dave menghidu aroma shampo yang menguar tetapi Indri buru-buru pergi dari sana. Senyum misterius kembali terlukis. Pria gagah itu mengikuti langkah istrinya. Setiap gerakan Indri terus dalam pengawasannya. Setelah selesai dandan, Indri terkejut melihat Dave masih di sana. Duduk dengan santai dan menatapnya. "Pak ...." Mendadak bibir Indri mengatup rapat.Dave tersenyum. " Sudah?"Indri mengangguk.Mereka berjalan keluar bersamaan. Bukannya ke ruang makan, tetapi Dave segera menyalakan mesin mobilnya. Disusul Indri dengan tergopoh-gopoh setelah mengunci pintu. Indri membuka pintu mobil dan mengenyakkan bobot di jok depan."
Seorang pria dengan hati yang begitu tulus, hanya menginginkan sebuah balasan dari cintanya. Ia tengah menggeret kursi untuk wanita cantik berwajah tirus. Buku menu pun terhidang langsung, disodorkan oleh seorang waiters wanita. Keduanya segera mengulas senyuman atas sikap sopan pelayan tadi."Kamu mau makan apa? Aku ... samaan aja sama kamu." Fabian menutup kembali buku tadi dan menunggu Indri memilih salah satu dari gambar-gambar yang terpampang."Aku soto ayam aja, Mas. Kamu ... beneran sama?" Indri mendapati pria itu mengangguk. "Minumnya apa?" Sekilas, tatapan melayang pada Fabian."Es jeruk, biasanya kesukaan kamu. Biar kurus, kan?" Tawa pria dengan jas hitam itu menggema. Lepas seperti busur panah yang tepat mengenai sasaran."Ish, ngeselin. Padahal aku enggak niat diet, loh. Cuman enggak mau aja kalau berat badan nambah." Mereka tertawa puas. Tak tahu kalau di kursi yang lain, seorang lelaki tengah mengawasi mereka. Sengaja menutupi diri dengan buku menu, agar tidak terlihat.