Setelah hanya mendapat senyuman penuh misteri, Indri masih terus menunggu tetapi Dave malah memejamkan mata. Sempat terbesit pikiran aneh dalam benaknya, tetapi buru-buru wanita muda itu hilangkan. Lampu telah padam dan tersisa hanya temaram di atas nakas. Dua raga yang saling memunggungi terkesan tak dapat memejamkan mata. Dave menyunggingkan senyum ketika mengingat dua bola mata natural yang sedikit menyipit saat sang empunya kaget dengan sebuah pernyataan.Lain sisi, Indri meremas kain selimut karena takut jika tiba-tiba pria dewasa yang kini berada di belakangnya itu menerkam. Tengah malam menyapa keduanya yang mulai terkantuk-kantuk. Dalam hati Indri, dia berjanji tidak akan pernah mau disentuh oleh Dave sebelum yakin dan terbuka hatinya untuk lelaki itu.Namun, fakta berbicara lain. Di saat tak sadar dan terbang dalam mimpinya, Indri malah mengira tubuh kekar yang terdiam dalam lelap itu adalah sebuah guling. Indri mengangkat tangannya dan melingkar pada dada bidang yang terciu
Dave tak peduli dengan larangan itu. Dia maju dua langkah dan membalik tubuh Indri dengan paksa. Mencoba membenahi resleting yang memang menyangkut pada benang. Satu tarikan jemari kokoh itu telah menyempurnakan tertutupnya punggung Indri. Sejenak, tatapan mereka terpaku pada cermin dalam kamar mandi. Namun, kedipan mata yang terkesan cepat mengalihkan perhatian. Dave menghidu aroma shampo yang menguar tetapi Indri buru-buru pergi dari sana. Senyum misterius kembali terlukis. Pria gagah itu mengikuti langkah istrinya. Setiap gerakan Indri terus dalam pengawasannya. Setelah selesai dandan, Indri terkejut melihat Dave masih di sana. Duduk dengan santai dan menatapnya. "Pak ...." Mendadak bibir Indri mengatup rapat.Dave tersenyum. " Sudah?"Indri mengangguk.Mereka berjalan keluar bersamaan. Bukannya ke ruang makan, tetapi Dave segera menyalakan mesin mobilnya. Disusul Indri dengan tergopoh-gopoh setelah mengunci pintu. Indri membuka pintu mobil dan mengenyakkan bobot di jok depan."
Seorang pria dengan hati yang begitu tulus, hanya menginginkan sebuah balasan dari cintanya. Ia tengah menggeret kursi untuk wanita cantik berwajah tirus. Buku menu pun terhidang langsung, disodorkan oleh seorang waiters wanita. Keduanya segera mengulas senyuman atas sikap sopan pelayan tadi."Kamu mau makan apa? Aku ... samaan aja sama kamu." Fabian menutup kembali buku tadi dan menunggu Indri memilih salah satu dari gambar-gambar yang terpampang."Aku soto ayam aja, Mas. Kamu ... beneran sama?" Indri mendapati pria itu mengangguk. "Minumnya apa?" Sekilas, tatapan melayang pada Fabian."Es jeruk, biasanya kesukaan kamu. Biar kurus, kan?" Tawa pria dengan jas hitam itu menggema. Lepas seperti busur panah yang tepat mengenai sasaran."Ish, ngeselin. Padahal aku enggak niat diet, loh. Cuman enggak mau aja kalau berat badan nambah." Mereka tertawa puas. Tak tahu kalau di kursi yang lain, seorang lelaki tengah mengawasi mereka. Sengaja menutupi diri dengan buku menu, agar tidak terlihat.
Indri tak menolak lagi ketika Dave mengajaknya masuk ke dalam mobil. Bersama dengan putaran ban mobil, membawa ingatan Indri pada Ibunya. Hanya wanita tua itu yang menjadi penguat dirinya sejak masih berumah tangga dengan Rasya. Mana mungkin dia bakal membantah.Dave menekan pedal rem dengan mendadak. Pria dengan jambang tipis nan dingin itu menatap tajam ke arah depan. Hingga tak melihat kalau Indri yang berada di sebelahnya hampir terbentur dashboard."Ah," pekik Indri. Dave baru sadar setelah mendengar pekikan suara Indri. Dia menoleh dan melihat keadaan istrinya. "Kamu baik-baik saja? Ada masalah sedikit di depan. Aku akan urus dulu, kamu tunggu di sini." Dave keluar dari mobil. Membenahi penampilannya dan mendekati komplotan berjaket hitam yang telah menanti. Pembicaraan mereka tak begitu terdengar oleh indri. Dia hanya disuruh diam dan menunggu. Namun, rasa penasaran membuat Indri membuka sedikit kaca mobil. Siapa tahu, dia bisa mendengar percakapan mereka.Seputar hal mengena
Dengan hati panas, Rasya meninggalkan rumah yang sempat ditinggali beberapa hari. Ia tak lagi memikirkan istrinya yang memang menang cantik. Kedua kakinya berhenti tepat di depan mobil lalu masuk dan menyalakan mesin. Ia pergi dengan tujuan tak terpatri dalam benak. Yang jelas, ia hanya tak ingin lagi mendengar bahkan melihat wajah-wajah yang gemar sekali menghinanya. Sejauh puluhan kilo meter, mobil melesat dan berhenti tepat di sebuah gedung dengan deretan kendaraan berjejer. Dari luar tampak gelap, temaram lampu sengaja dibuat sedemikian rupa. Ketika ia masuk, disambut langsung dengan alunan musik mengguncang dada. Lampu kelap-kelip berwarna-warni tampak menyorot wajah-wajah lelaki dan perempuan. Ada yang duduk ada pula yang berdiri menggoyangkan tubuhnya. Gelas-gelas kaca berisi cairan kekuningan ada juga yang merah merona sekali teguk menelan ratusan juta.Rasya segera melanjutkan langkah dan berhenti menghampiri seorang lelaki botak. Lelaki yang lihai memainkan botol-botol ber
Rasya keluar rumah, bermaksud mencari hiburan. Tepat sampai di depan sebuah restoran, dia melihat mobil dengan plat sama milik Laura baru saja terparkir. Dengan tatapan siaga, terus terarah pada penghuninya. Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan high heels setinggi lima senti keluar. Namun, dia tidak sendirian. Yang membuat Rasya geram dan meninju stir mobil adalah Laura menggandengan seorang lelaki. Rasya segera keluar dari mobil dan mengejar mereka. Tiga menit mereka duduk, Rasya langsung mencekal lengan istrinya. "Mas?" Laura mendelik. Dia mencoba menghempaskan tetapi tak sekuat cengkeraman Rasya."Hei, Bro! Lepaskan dia! Jangan main kasar sama wanita!" Lelaki yang tadi menggandengan istrinya itu mengerutkan dahi serta menunjuk pada Rasya. "Laki-laki macam apa, beraninya sama wanita.""Lu, enggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue! Dia istri gue, terserah mau gue apain. Yang jelas, kalian itu yang tidak tahu malu. Bukan suami istri malah gandengan, pergi ke sini untuk
"Maaf, Pak." Indri melepas tautan pada pinggangnya. "Saya ... tidak bisa melakukan ini. Pernikahan ini terjadi hanya karena balas jasa. Kita tidak sepantasnya melakukannya tadi malam. Kita bukan suami istri sebagaimana seperti yang lain." Indri dengan gugup tertunduk. "Anggap saja tidak terjadi apapun semalam, lupakan saja. Saya ... ke bawah dulu menyiapkan sarapan." Lantas wanita dengan setelan rumahan itu keluar dan menuruni anak tangga lagi. Hatinya seperti diremas ketika kalimat permohonan agar Dave melupakan kejadian semalam itu. Meski lisan dengan lancar berucap, tetapi hati berkata lain. Tak pernah terbayang, ketika pikiran tertinggal di atas sana, jari telunjuk teriris benda tajam. Seketika Indri mengaduh dan menekan luka yang telah membuat belah dan mengalirkan cairan segar berwarna merah.Kebetulan sekali pembantu tengah keluar berbelanja di depan rumah. Indri masih mencari sesuatu untuk membersihkan lukanya. Tisu dapur yang biasanya ia pakai pun tak ada. Jika harus dicuci,
Melewati lift yang biasanya, ia sendirian di dalam. Lepas lift terbuka pada lantai dua, seorang pria gagah memasukkan tangannya ke dalam saku ikut masuk. Sementara tujuan mereka adalah sama, di lantai lima. Tak ada yang memulai percakapan, dingin, sedingin wajah pria itu yang terus menatap lurus. Ketika pintu telah terbuka, hati terasa lega. Indri berjalan lebih dulu karena Dave menyadar dinding belakang sejak di dalam lift. Ruang kerja yang sama membuatnya kembali tak nyaman. Haruskah satu ruangan dan hanya berbatas tirai tipis? Permintaan konyol sang direktur membuatnya tak bisa berkonsentrasi.Sampai di dalam ruangan, Indri menerima panggilan dari nomor yang tak dikenal. Ia segera mengangkatnya tanpa tunggu lama. Sosok yang kini duduk pada singgasananya terlihat siaga menajamkan telinga."Kita sudah tidak punya hubungan apapun lagi. Tolong, jangan ganggu aku terus. Aku menghargaimu, tolong hargai aku juga." Tanpa salam, Indri menyudahi panggilan itu. Ia mendesah pasrah pagi-pagi s