Indri tak menolak lagi ketika Dave mengajaknya masuk ke dalam mobil. Bersama dengan putaran ban mobil, membawa ingatan Indri pada Ibunya. Hanya wanita tua itu yang menjadi penguat dirinya sejak masih berumah tangga dengan Rasya. Mana mungkin dia bakal membantah.Dave menekan pedal rem dengan mendadak. Pria dengan jambang tipis nan dingin itu menatap tajam ke arah depan. Hingga tak melihat kalau Indri yang berada di sebelahnya hampir terbentur dashboard."Ah," pekik Indri. Dave baru sadar setelah mendengar pekikan suara Indri. Dia menoleh dan melihat keadaan istrinya. "Kamu baik-baik saja? Ada masalah sedikit di depan. Aku akan urus dulu, kamu tunggu di sini." Dave keluar dari mobil. Membenahi penampilannya dan mendekati komplotan berjaket hitam yang telah menanti. Pembicaraan mereka tak begitu terdengar oleh indri. Dia hanya disuruh diam dan menunggu. Namun, rasa penasaran membuat Indri membuka sedikit kaca mobil. Siapa tahu, dia bisa mendengar percakapan mereka.Seputar hal mengena
Dengan hati panas, Rasya meninggalkan rumah yang sempat ditinggali beberapa hari. Ia tak lagi memikirkan istrinya yang memang menang cantik. Kedua kakinya berhenti tepat di depan mobil lalu masuk dan menyalakan mesin. Ia pergi dengan tujuan tak terpatri dalam benak. Yang jelas, ia hanya tak ingin lagi mendengar bahkan melihat wajah-wajah yang gemar sekali menghinanya. Sejauh puluhan kilo meter, mobil melesat dan berhenti tepat di sebuah gedung dengan deretan kendaraan berjejer. Dari luar tampak gelap, temaram lampu sengaja dibuat sedemikian rupa. Ketika ia masuk, disambut langsung dengan alunan musik mengguncang dada. Lampu kelap-kelip berwarna-warni tampak menyorot wajah-wajah lelaki dan perempuan. Ada yang duduk ada pula yang berdiri menggoyangkan tubuhnya. Gelas-gelas kaca berisi cairan kekuningan ada juga yang merah merona sekali teguk menelan ratusan juta.Rasya segera melanjutkan langkah dan berhenti menghampiri seorang lelaki botak. Lelaki yang lihai memainkan botol-botol ber
Rasya keluar rumah, bermaksud mencari hiburan. Tepat sampai di depan sebuah restoran, dia melihat mobil dengan plat sama milik Laura baru saja terparkir. Dengan tatapan siaga, terus terarah pada penghuninya. Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan high heels setinggi lima senti keluar. Namun, dia tidak sendirian. Yang membuat Rasya geram dan meninju stir mobil adalah Laura menggandengan seorang lelaki. Rasya segera keluar dari mobil dan mengejar mereka. Tiga menit mereka duduk, Rasya langsung mencekal lengan istrinya. "Mas?" Laura mendelik. Dia mencoba menghempaskan tetapi tak sekuat cengkeraman Rasya."Hei, Bro! Lepaskan dia! Jangan main kasar sama wanita!" Lelaki yang tadi menggandengan istrinya itu mengerutkan dahi serta menunjuk pada Rasya. "Laki-laki macam apa, beraninya sama wanita.""Lu, enggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue! Dia istri gue, terserah mau gue apain. Yang jelas, kalian itu yang tidak tahu malu. Bukan suami istri malah gandengan, pergi ke sini untuk
"Maaf, Pak." Indri melepas tautan pada pinggangnya. "Saya ... tidak bisa melakukan ini. Pernikahan ini terjadi hanya karena balas jasa. Kita tidak sepantasnya melakukannya tadi malam. Kita bukan suami istri sebagaimana seperti yang lain." Indri dengan gugup tertunduk. "Anggap saja tidak terjadi apapun semalam, lupakan saja. Saya ... ke bawah dulu menyiapkan sarapan." Lantas wanita dengan setelan rumahan itu keluar dan menuruni anak tangga lagi. Hatinya seperti diremas ketika kalimat permohonan agar Dave melupakan kejadian semalam itu. Meski lisan dengan lancar berucap, tetapi hati berkata lain. Tak pernah terbayang, ketika pikiran tertinggal di atas sana, jari telunjuk teriris benda tajam. Seketika Indri mengaduh dan menekan luka yang telah membuat belah dan mengalirkan cairan segar berwarna merah.Kebetulan sekali pembantu tengah keluar berbelanja di depan rumah. Indri masih mencari sesuatu untuk membersihkan lukanya. Tisu dapur yang biasanya ia pakai pun tak ada. Jika harus dicuci,
Melewati lift yang biasanya, ia sendirian di dalam. Lepas lift terbuka pada lantai dua, seorang pria gagah memasukkan tangannya ke dalam saku ikut masuk. Sementara tujuan mereka adalah sama, di lantai lima. Tak ada yang memulai percakapan, dingin, sedingin wajah pria itu yang terus menatap lurus. Ketika pintu telah terbuka, hati terasa lega. Indri berjalan lebih dulu karena Dave menyadar dinding belakang sejak di dalam lift. Ruang kerja yang sama membuatnya kembali tak nyaman. Haruskah satu ruangan dan hanya berbatas tirai tipis? Permintaan konyol sang direktur membuatnya tak bisa berkonsentrasi.Sampai di dalam ruangan, Indri menerima panggilan dari nomor yang tak dikenal. Ia segera mengangkatnya tanpa tunggu lama. Sosok yang kini duduk pada singgasananya terlihat siaga menajamkan telinga."Kita sudah tidak punya hubungan apapun lagi. Tolong, jangan ganggu aku terus. Aku menghargaimu, tolong hargai aku juga." Tanpa salam, Indri menyudahi panggilan itu. Ia mendesah pasrah pagi-pagi s
Setelah mengalah dan memberi kesempatan pada mantan suaminya, Indri menerima ajakan Rasya duduk di salah satu bangku besi dengan warna cat hijau tua. Tepat memunggungi jalan raya, mereka saling memberi jarak. Tiga menit berjalan, mereka masih belum mengatakan apapun lagi. Wajah menghadap lurus pada tumbuhan yang tertanam rapi. Beraneka bunga warna-warni memenuhi lingkaran di tengah taman. Beberapa kali berhehem, Indri bermaksud agar Rasya segera memulai pertanyaan."Ndri, aku sadar. Selama ini sudah jahat sama kamu. Semua yang kulakukan setelah berpisah denganmu hancur seketika. Aku tidak mendapatkan kebahagiaan itu. Aku menyesal, maafkan aku." Rasya terlihat sangat menyedihkan. Penampilannya tidak lagi sama dengan dia yang dulu. Kini terlihat sederhana hanya dengan kemeja pendek dan celana bahan. "Mas ..." Indri mengehela napas, "Semua sudah terjadi. Kita sama-sama belajar dari kehidupan sebelumnya. Angga dan adiknya melihat kita. Mungkin mereka tengah bersedih juga ketika melihat
"Sudah, Pak!" potong Indri segera. "Saya harap ini yang terakhir. Kita menikah hanya karena Bapak merasa hutang budi. Apalagi kita sama sekali tidak memiliki rasa." Buliran bening yang keluar bersama dengan gemetar suara semakin membuat hati nelangsa. "Siapa bilang aku melakukan ini semua tanpa memiliki rasa? Bahkan kau tak sadar saja ketika aku telah menahan rasa itu sejak pertama bertemu denganmu. Aku ... mencintaimu." Dave melepas kata yang sudah lama mengikat jiwanya. Kata-kata yang didambakan setiap wanita bergelar istri."Semua itu bohong, Pak. Semua itu hanya nafsu belaka. Aku tahu, ada yang Bapak tunggu sejak lama. Dia bukan aku melainkan wanita itu. Wanita yang sempat memergoki kita di hotel Tokyo." Semakin tak bisa menahan gejolak amarahnya, Indri melepas ucapan yang selama ini menyesaki rongga dada."Dia bukan wanita setia dan sederhana sepertimu. Lagipula, kau adalah istriku. Bukan dia," balas pria itu dengan tenang, setenang malam ini. "Setelah mengetahui dia seperti it
Setiap langkah yang dinikmati berdua semakin indah kala semua mata memandang mereka. Tangan yang berkelindan erat menunjukkan betapa bahagianya mereka berdua. Kepercayaan yang dibangun di atas keikhlasan menumbuhkan istana cinta dari dalam hati si cantik jelita."Hai, Dave? Oh, kalian so sweet. Kami menunggu sejak tadi." Pelukan hangat menyentuh diri sang putra. Laila tampak terharu karena kini, putranya sudah sangat membuatnya mengembang seperti balon. Menantu yang diidamkan sejak lama akhirnya dibawanya datang."Yes, Mom. Sekarang Dave sudah mengabulkan keinginan dan harapan Mama, Papa. Dave membawanya datang." Dave mengusap wajah keriput orangtuanya yang terlapisi dengan air mata bahagia. George membentangkan tangannya siap menerima pelukan pria gagah nan berwibawa itu. Ada tawa puas dan kebahagiaan yang tak bisa diukur. Lain di Indri, ia tampak gugup hingga kedua tangannya berubah dingin dan berkeringat saat menyalami dua manusia sepuh itu."Mari duduk, Sayang!" Laila mengajak In