Rasya keluar rumah, bermaksud mencari hiburan. Tepat sampai di depan sebuah restoran, dia melihat mobil dengan plat sama milik Laura baru saja terparkir. Dengan tatapan siaga, terus terarah pada penghuninya. Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan high heels setinggi lima senti keluar. Namun, dia tidak sendirian. Yang membuat Rasya geram dan meninju stir mobil adalah Laura menggandengan seorang lelaki. Rasya segera keluar dari mobil dan mengejar mereka. Tiga menit mereka duduk, Rasya langsung mencekal lengan istrinya. "Mas?" Laura mendelik. Dia mencoba menghempaskan tetapi tak sekuat cengkeraman Rasya."Hei, Bro! Lepaskan dia! Jangan main kasar sama wanita!" Lelaki yang tadi menggandengan istrinya itu mengerutkan dahi serta menunjuk pada Rasya. "Laki-laki macam apa, beraninya sama wanita.""Lu, enggak usah ikut campur urusan rumah tangga gue! Dia istri gue, terserah mau gue apain. Yang jelas, kalian itu yang tidak tahu malu. Bukan suami istri malah gandengan, pergi ke sini untuk
"Maaf, Pak." Indri melepas tautan pada pinggangnya. "Saya ... tidak bisa melakukan ini. Pernikahan ini terjadi hanya karena balas jasa. Kita tidak sepantasnya melakukannya tadi malam. Kita bukan suami istri sebagaimana seperti yang lain." Indri dengan gugup tertunduk. "Anggap saja tidak terjadi apapun semalam, lupakan saja. Saya ... ke bawah dulu menyiapkan sarapan." Lantas wanita dengan setelan rumahan itu keluar dan menuruni anak tangga lagi. Hatinya seperti diremas ketika kalimat permohonan agar Dave melupakan kejadian semalam itu. Meski lisan dengan lancar berucap, tetapi hati berkata lain. Tak pernah terbayang, ketika pikiran tertinggal di atas sana, jari telunjuk teriris benda tajam. Seketika Indri mengaduh dan menekan luka yang telah membuat belah dan mengalirkan cairan segar berwarna merah.Kebetulan sekali pembantu tengah keluar berbelanja di depan rumah. Indri masih mencari sesuatu untuk membersihkan lukanya. Tisu dapur yang biasanya ia pakai pun tak ada. Jika harus dicuci,
Melewati lift yang biasanya, ia sendirian di dalam. Lepas lift terbuka pada lantai dua, seorang pria gagah memasukkan tangannya ke dalam saku ikut masuk. Sementara tujuan mereka adalah sama, di lantai lima. Tak ada yang memulai percakapan, dingin, sedingin wajah pria itu yang terus menatap lurus. Ketika pintu telah terbuka, hati terasa lega. Indri berjalan lebih dulu karena Dave menyadar dinding belakang sejak di dalam lift. Ruang kerja yang sama membuatnya kembali tak nyaman. Haruskah satu ruangan dan hanya berbatas tirai tipis? Permintaan konyol sang direktur membuatnya tak bisa berkonsentrasi.Sampai di dalam ruangan, Indri menerima panggilan dari nomor yang tak dikenal. Ia segera mengangkatnya tanpa tunggu lama. Sosok yang kini duduk pada singgasananya terlihat siaga menajamkan telinga."Kita sudah tidak punya hubungan apapun lagi. Tolong, jangan ganggu aku terus. Aku menghargaimu, tolong hargai aku juga." Tanpa salam, Indri menyudahi panggilan itu. Ia mendesah pasrah pagi-pagi s
Setelah mengalah dan memberi kesempatan pada mantan suaminya, Indri menerima ajakan Rasya duduk di salah satu bangku besi dengan warna cat hijau tua. Tepat memunggungi jalan raya, mereka saling memberi jarak. Tiga menit berjalan, mereka masih belum mengatakan apapun lagi. Wajah menghadap lurus pada tumbuhan yang tertanam rapi. Beraneka bunga warna-warni memenuhi lingkaran di tengah taman. Beberapa kali berhehem, Indri bermaksud agar Rasya segera memulai pertanyaan."Ndri, aku sadar. Selama ini sudah jahat sama kamu. Semua yang kulakukan setelah berpisah denganmu hancur seketika. Aku tidak mendapatkan kebahagiaan itu. Aku menyesal, maafkan aku." Rasya terlihat sangat menyedihkan. Penampilannya tidak lagi sama dengan dia yang dulu. Kini terlihat sederhana hanya dengan kemeja pendek dan celana bahan. "Mas ..." Indri mengehela napas, "Semua sudah terjadi. Kita sama-sama belajar dari kehidupan sebelumnya. Angga dan adiknya melihat kita. Mungkin mereka tengah bersedih juga ketika melihat
"Sudah, Pak!" potong Indri segera. "Saya harap ini yang terakhir. Kita menikah hanya karena Bapak merasa hutang budi. Apalagi kita sama sekali tidak memiliki rasa." Buliran bening yang keluar bersama dengan gemetar suara semakin membuat hati nelangsa. "Siapa bilang aku melakukan ini semua tanpa memiliki rasa? Bahkan kau tak sadar saja ketika aku telah menahan rasa itu sejak pertama bertemu denganmu. Aku ... mencintaimu." Dave melepas kata yang sudah lama mengikat jiwanya. Kata-kata yang didambakan setiap wanita bergelar istri."Semua itu bohong, Pak. Semua itu hanya nafsu belaka. Aku tahu, ada yang Bapak tunggu sejak lama. Dia bukan aku melainkan wanita itu. Wanita yang sempat memergoki kita di hotel Tokyo." Semakin tak bisa menahan gejolak amarahnya, Indri melepas ucapan yang selama ini menyesaki rongga dada."Dia bukan wanita setia dan sederhana sepertimu. Lagipula, kau adalah istriku. Bukan dia," balas pria itu dengan tenang, setenang malam ini. "Setelah mengetahui dia seperti it
Setiap langkah yang dinikmati berdua semakin indah kala semua mata memandang mereka. Tangan yang berkelindan erat menunjukkan betapa bahagianya mereka berdua. Kepercayaan yang dibangun di atas keikhlasan menumbuhkan istana cinta dari dalam hati si cantik jelita."Hai, Dave? Oh, kalian so sweet. Kami menunggu sejak tadi." Pelukan hangat menyentuh diri sang putra. Laila tampak terharu karena kini, putranya sudah sangat membuatnya mengembang seperti balon. Menantu yang diidamkan sejak lama akhirnya dibawanya datang."Yes, Mom. Sekarang Dave sudah mengabulkan keinginan dan harapan Mama, Papa. Dave membawanya datang." Dave mengusap wajah keriput orangtuanya yang terlapisi dengan air mata bahagia. George membentangkan tangannya siap menerima pelukan pria gagah nan berwibawa itu. Ada tawa puas dan kebahagiaan yang tak bisa diukur. Lain di Indri, ia tampak gugup hingga kedua tangannya berubah dingin dan berkeringat saat menyalami dua manusia sepuh itu."Mari duduk, Sayang!" Laila mengajak In
"Menurutku?" Satu lemparan tawa mengejek terlukis penuh misteri. "Seharusnya kamu tak perlu bertanya. Kamu pasti paham dan tahu sendiri ukuran dirimu." Meisya berdiri. Ia meninggalkan Indri setelah ungkapan itu tersampaikan. Indri kembali ke dalam lagi. Melepas udara yang tiba-tiba membuat dadanya sesak bersama langkah yang tak begitu diperhatikan. Menuju ke dapur, wanita muda dengan setelah kalem itu melihat sang mertua tengah mengaduk minuman panas. "Hai, Sayang? Kamu mau teh juga? Papamu tadi minta, ada di kamar sama Dave. Apa kamu mencarinya?" Laila tak pernah menunjukkan sikap tak enak. Wanita dengan sejuta kasih sayang itu membuat Indri nyaman."Tidak, Ma. Biarkan saja dia di sana. Saya izin pulang duluan, nanti sampaikan padanya. Ada urusan mendadak." Laila bisa melihat genangan melingkari bola mata menantunya. Namun, ia tak ingin terlalu jauh ikut campur. Bukan maksud hati tak peduli, tetapi ia paham setiap manusia memiliki privasi masing-masing. "Mama panggilkan Dave, ya?
"Kenapa? Marah?" Sekilas pria itu menoleh lalu kembali ke posisi semula. "Menggoda, karena kamu itu natural. Bukan disengaja atau tanpa adab tetapi kamu memiliki daya tarik tersendiri. Masih belum paham?" Dave tersenyum tipis. Kedua alisnya terangkat menekan sebuah pertanyaan.Indri masih diam. Ia sengaja mogok bicara karena sudah kecewa. Dikiranya, Dave adalah pria yang romantis, tetapi kenyataannya malah membuat moodnya hilang."Saya enggak pernah menggoda Bapak." Jawaban keluar terdengar ketus. Bibir mengerucut dua senti, Indri tetap memasang wajah ditekuk. Tangannya pun meremas guling, menahan marah."Memang enggak. Tapi, sikapmu yang istimewa itu dan kepribadian yang kamu punya itu telah membuatku tak bisa tidur semalaman.""Jadi, Bapak menikahi saya bukan karena balas jasa? Apa ini sudah bagian dari rencana Bapak?" Isi kepala semakin ngelantur, Indri mulai berubah seperti detektif. Jika satu kali lagi ucapan Dave membuatnya terkejut, maka dia tidak akan tinggal diam. "Kamu kena
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k