"Maaf, Pak." Indri melepas tautan pada pinggangnya. "Saya ... tidak bisa melakukan ini. Pernikahan ini terjadi hanya karena balas jasa. Kita tidak sepantasnya melakukannya tadi malam. Kita bukan suami istri sebagaimana seperti yang lain." Indri dengan gugup tertunduk. "Anggap saja tidak terjadi apapun semalam, lupakan saja. Saya ... ke bawah dulu menyiapkan sarapan." Lantas wanita dengan setelan rumahan itu keluar dan menuruni anak tangga lagi. Hatinya seperti diremas ketika kalimat permohonan agar Dave melupakan kejadian semalam itu. Meski lisan dengan lancar berucap, tetapi hati berkata lain. Tak pernah terbayang, ketika pikiran tertinggal di atas sana, jari telunjuk teriris benda tajam. Seketika Indri mengaduh dan menekan luka yang telah membuat belah dan mengalirkan cairan segar berwarna merah.Kebetulan sekali pembantu tengah keluar berbelanja di depan rumah. Indri masih mencari sesuatu untuk membersihkan lukanya. Tisu dapur yang biasanya ia pakai pun tak ada. Jika harus dicuci,
Melewati lift yang biasanya, ia sendirian di dalam. Lepas lift terbuka pada lantai dua, seorang pria gagah memasukkan tangannya ke dalam saku ikut masuk. Sementara tujuan mereka adalah sama, di lantai lima. Tak ada yang memulai percakapan, dingin, sedingin wajah pria itu yang terus menatap lurus. Ketika pintu telah terbuka, hati terasa lega. Indri berjalan lebih dulu karena Dave menyadar dinding belakang sejak di dalam lift. Ruang kerja yang sama membuatnya kembali tak nyaman. Haruskah satu ruangan dan hanya berbatas tirai tipis? Permintaan konyol sang direktur membuatnya tak bisa berkonsentrasi.Sampai di dalam ruangan, Indri menerima panggilan dari nomor yang tak dikenal. Ia segera mengangkatnya tanpa tunggu lama. Sosok yang kini duduk pada singgasananya terlihat siaga menajamkan telinga."Kita sudah tidak punya hubungan apapun lagi. Tolong, jangan ganggu aku terus. Aku menghargaimu, tolong hargai aku juga." Tanpa salam, Indri menyudahi panggilan itu. Ia mendesah pasrah pagi-pagi s
Setelah mengalah dan memberi kesempatan pada mantan suaminya, Indri menerima ajakan Rasya duduk di salah satu bangku besi dengan warna cat hijau tua. Tepat memunggungi jalan raya, mereka saling memberi jarak. Tiga menit berjalan, mereka masih belum mengatakan apapun lagi. Wajah menghadap lurus pada tumbuhan yang tertanam rapi. Beraneka bunga warna-warni memenuhi lingkaran di tengah taman. Beberapa kali berhehem, Indri bermaksud agar Rasya segera memulai pertanyaan."Ndri, aku sadar. Selama ini sudah jahat sama kamu. Semua yang kulakukan setelah berpisah denganmu hancur seketika. Aku tidak mendapatkan kebahagiaan itu. Aku menyesal, maafkan aku." Rasya terlihat sangat menyedihkan. Penampilannya tidak lagi sama dengan dia yang dulu. Kini terlihat sederhana hanya dengan kemeja pendek dan celana bahan. "Mas ..." Indri mengehela napas, "Semua sudah terjadi. Kita sama-sama belajar dari kehidupan sebelumnya. Angga dan adiknya melihat kita. Mungkin mereka tengah bersedih juga ketika melihat
"Sudah, Pak!" potong Indri segera. "Saya harap ini yang terakhir. Kita menikah hanya karena Bapak merasa hutang budi. Apalagi kita sama sekali tidak memiliki rasa." Buliran bening yang keluar bersama dengan gemetar suara semakin membuat hati nelangsa. "Siapa bilang aku melakukan ini semua tanpa memiliki rasa? Bahkan kau tak sadar saja ketika aku telah menahan rasa itu sejak pertama bertemu denganmu. Aku ... mencintaimu." Dave melepas kata yang sudah lama mengikat jiwanya. Kata-kata yang didambakan setiap wanita bergelar istri."Semua itu bohong, Pak. Semua itu hanya nafsu belaka. Aku tahu, ada yang Bapak tunggu sejak lama. Dia bukan aku melainkan wanita itu. Wanita yang sempat memergoki kita di hotel Tokyo." Semakin tak bisa menahan gejolak amarahnya, Indri melepas ucapan yang selama ini menyesaki rongga dada."Dia bukan wanita setia dan sederhana sepertimu. Lagipula, kau adalah istriku. Bukan dia," balas pria itu dengan tenang, setenang malam ini. "Setelah mengetahui dia seperti it
Setiap langkah yang dinikmati berdua semakin indah kala semua mata memandang mereka. Tangan yang berkelindan erat menunjukkan betapa bahagianya mereka berdua. Kepercayaan yang dibangun di atas keikhlasan menumbuhkan istana cinta dari dalam hati si cantik jelita."Hai, Dave? Oh, kalian so sweet. Kami menunggu sejak tadi." Pelukan hangat menyentuh diri sang putra. Laila tampak terharu karena kini, putranya sudah sangat membuatnya mengembang seperti balon. Menantu yang diidamkan sejak lama akhirnya dibawanya datang."Yes, Mom. Sekarang Dave sudah mengabulkan keinginan dan harapan Mama, Papa. Dave membawanya datang." Dave mengusap wajah keriput orangtuanya yang terlapisi dengan air mata bahagia. George membentangkan tangannya siap menerima pelukan pria gagah nan berwibawa itu. Ada tawa puas dan kebahagiaan yang tak bisa diukur. Lain di Indri, ia tampak gugup hingga kedua tangannya berubah dingin dan berkeringat saat menyalami dua manusia sepuh itu."Mari duduk, Sayang!" Laila mengajak In
"Menurutku?" Satu lemparan tawa mengejek terlukis penuh misteri. "Seharusnya kamu tak perlu bertanya. Kamu pasti paham dan tahu sendiri ukuran dirimu." Meisya berdiri. Ia meninggalkan Indri setelah ungkapan itu tersampaikan. Indri kembali ke dalam lagi. Melepas udara yang tiba-tiba membuat dadanya sesak bersama langkah yang tak begitu diperhatikan. Menuju ke dapur, wanita muda dengan setelah kalem itu melihat sang mertua tengah mengaduk minuman panas. "Hai, Sayang? Kamu mau teh juga? Papamu tadi minta, ada di kamar sama Dave. Apa kamu mencarinya?" Laila tak pernah menunjukkan sikap tak enak. Wanita dengan sejuta kasih sayang itu membuat Indri nyaman."Tidak, Ma. Biarkan saja dia di sana. Saya izin pulang duluan, nanti sampaikan padanya. Ada urusan mendadak." Laila bisa melihat genangan melingkari bola mata menantunya. Namun, ia tak ingin terlalu jauh ikut campur. Bukan maksud hati tak peduli, tetapi ia paham setiap manusia memiliki privasi masing-masing. "Mama panggilkan Dave, ya?
"Kenapa? Marah?" Sekilas pria itu menoleh lalu kembali ke posisi semula. "Menggoda, karena kamu itu natural. Bukan disengaja atau tanpa adab tetapi kamu memiliki daya tarik tersendiri. Masih belum paham?" Dave tersenyum tipis. Kedua alisnya terangkat menekan sebuah pertanyaan.Indri masih diam. Ia sengaja mogok bicara karena sudah kecewa. Dikiranya, Dave adalah pria yang romantis, tetapi kenyataannya malah membuat moodnya hilang."Saya enggak pernah menggoda Bapak." Jawaban keluar terdengar ketus. Bibir mengerucut dua senti, Indri tetap memasang wajah ditekuk. Tangannya pun meremas guling, menahan marah."Memang enggak. Tapi, sikapmu yang istimewa itu dan kepribadian yang kamu punya itu telah membuatku tak bisa tidur semalaman.""Jadi, Bapak menikahi saya bukan karena balas jasa? Apa ini sudah bagian dari rencana Bapak?" Isi kepala semakin ngelantur, Indri mulai berubah seperti detektif. Jika satu kali lagi ucapan Dave membuatnya terkejut, maka dia tidak akan tinggal diam. "Kamu kena
Setelah sampai, dokter digiring ke kamar atas. Pintu kamar ia buka dan mendapati istrinya meringkuk dengan kain kompres di kening. Dave menutupi tubuh istrinya dengan selimut kala dokter wanita berusia paruh baya itu datang.Stetoskop melekat pada dada, Indri tersentak dan kaget. "Ada apa ini?" Ia bingung."Sudah, tenang, ya, Bu. Anda akan diperiksa sebentar saja," ucap dokter keluarga itu. Ia menekan denyut nadi di tangan Indri dan merasakan sesuatu. Senyum manisnya timbul hingga mengundang tanya pada suami istri yang masih terpaku."Bagaimana, Dok?" Dave sudah tak sabar. Ia duduk di sebelah Indri dan membantunya menyandar dipan."Alhamdulillah, istri Anda tengah mengandung sekitar tujuh Minggu. Saya akan kasih resep vitamin untuk ditebus." Dokter tadi menulis di atas satu lembar kertas. Lalu, menyerahkannya pada Dave."Saya permisi dulu," lanjut dokter tadi. "Terima kasih, Dok," balas Dave seraya meletakkan kertas tadi di atas tempat tidur.Indri tergugu dalam diamnya. Masih pada p