"Menurutku?" Satu lemparan tawa mengejek terlukis penuh misteri. "Seharusnya kamu tak perlu bertanya. Kamu pasti paham dan tahu sendiri ukuran dirimu." Meisya berdiri. Ia meninggalkan Indri setelah ungkapan itu tersampaikan. Indri kembali ke dalam lagi. Melepas udara yang tiba-tiba membuat dadanya sesak bersama langkah yang tak begitu diperhatikan. Menuju ke dapur, wanita muda dengan setelah kalem itu melihat sang mertua tengah mengaduk minuman panas. "Hai, Sayang? Kamu mau teh juga? Papamu tadi minta, ada di kamar sama Dave. Apa kamu mencarinya?" Laila tak pernah menunjukkan sikap tak enak. Wanita dengan sejuta kasih sayang itu membuat Indri nyaman."Tidak, Ma. Biarkan saja dia di sana. Saya izin pulang duluan, nanti sampaikan padanya. Ada urusan mendadak." Laila bisa melihat genangan melingkari bola mata menantunya. Namun, ia tak ingin terlalu jauh ikut campur. Bukan maksud hati tak peduli, tetapi ia paham setiap manusia memiliki privasi masing-masing. "Mama panggilkan Dave, ya?
"Kenapa? Marah?" Sekilas pria itu menoleh lalu kembali ke posisi semula. "Menggoda, karena kamu itu natural. Bukan disengaja atau tanpa adab tetapi kamu memiliki daya tarik tersendiri. Masih belum paham?" Dave tersenyum tipis. Kedua alisnya terangkat menekan sebuah pertanyaan.Indri masih diam. Ia sengaja mogok bicara karena sudah kecewa. Dikiranya, Dave adalah pria yang romantis, tetapi kenyataannya malah membuat moodnya hilang."Saya enggak pernah menggoda Bapak." Jawaban keluar terdengar ketus. Bibir mengerucut dua senti, Indri tetap memasang wajah ditekuk. Tangannya pun meremas guling, menahan marah."Memang enggak. Tapi, sikapmu yang istimewa itu dan kepribadian yang kamu punya itu telah membuatku tak bisa tidur semalaman.""Jadi, Bapak menikahi saya bukan karena balas jasa? Apa ini sudah bagian dari rencana Bapak?" Isi kepala semakin ngelantur, Indri mulai berubah seperti detektif. Jika satu kali lagi ucapan Dave membuatnya terkejut, maka dia tidak akan tinggal diam. "Kamu kena
Setelah sampai, dokter digiring ke kamar atas. Pintu kamar ia buka dan mendapati istrinya meringkuk dengan kain kompres di kening. Dave menutupi tubuh istrinya dengan selimut kala dokter wanita berusia paruh baya itu datang.Stetoskop melekat pada dada, Indri tersentak dan kaget. "Ada apa ini?" Ia bingung."Sudah, tenang, ya, Bu. Anda akan diperiksa sebentar saja," ucap dokter keluarga itu. Ia menekan denyut nadi di tangan Indri dan merasakan sesuatu. Senyum manisnya timbul hingga mengundang tanya pada suami istri yang masih terpaku."Bagaimana, Dok?" Dave sudah tak sabar. Ia duduk di sebelah Indri dan membantunya menyandar dipan."Alhamdulillah, istri Anda tengah mengandung sekitar tujuh Minggu. Saya akan kasih resep vitamin untuk ditebus." Dokter tadi menulis di atas satu lembar kertas. Lalu, menyerahkannya pada Dave."Saya permisi dulu," lanjut dokter tadi. "Terima kasih, Dok," balas Dave seraya meletakkan kertas tadi di atas tempat tidur.Indri tergugu dalam diamnya. Masih pada p
"Nak, tidurlah di kamar Ali! Biar besok pagi, Ibu yang akan membujuk Indri." Rumi berdiri di dekat pria itu. Membawakan selimut yang baru saja diambil dari lemari. Lalu, menyerahkan pada Dave yang masih menatap kosong di lantai."Benar, Tuan. Kamar saya di sebelah." Ali menunjuk dengan ibu jarinya. Menunjuk sebuah kamar dengan pintu terbuka. "Kamarnya tidak terlalu besar, Tuan. Tapi, setidaknya Anda bisa memakainya malam ini. Sambil menunggu Indri lebih baik lagi."Dave mengangguk. Ia mulai berdiri dan menarik udara dalam-dalam lalu mengembusnya pelan, setelah itu menerima selimut yang diberikan oleh Rumi. "Terima kasih, Bu. Maaf, saya merepotkan." Ada wajah sendu di sana, membuat Rumi tak mampu menjawab lagi. Hanya balasan anggukan saja yang tersirat.Malam manis berubah kelam hanya dengan satu kabar mengejutkan. Sikap manis dan semu kemerah jambuan berubah muram dan tangis tak terbendung. Dave menyimpan hatinya baik-baik, tak akan pernah melepaskan. Jika ada sosok yang mendiami rahi
Cinta memang luar biasa.Mengubah segala derita menjadi pelangi senjaMengubah kerasnya hati menjadi butiran relaMemaafkan ketika dosa telah terlanjur menoreh luka"Jangan banyak pikiran, kau harus lebih bahagia dari ini. Aku janji, semampu diri akan terus di sampingmu." Ditatapnya lagi wajah sang istri. "Em, kita namain siapa nanti calon anak kita?"Indri mulai tersenyum. Ia juga lelah terus menerus mendiamkan pria itu. Ia tahu, hari ini Dave ada meeting penting tetapi hanya demi membujuknya, rela meninggalkan semua itu. Indri juga menyadari, perjuangan Dave meluluhkan hatinya berbeda dari yang lain."Pak ...." Indri mendongak."Hmm." Jarak hanya satu jengkal saja antara wajah dengan wajah. "Katakan! Apa yang ingin kau katakan." "Saya minta maaf. Saya sudah pergi dari rumah tanpa izin. Jujur, kata-kata Ibu telah menyihir pikiran saya. Saya takut mendapat laknat malaikat. Tapi, saya tidak tahan dengan sebuah kebohongan. Saya tidak mau merasakannya lagi."Dave menghela napas. Ia pan
"Apa ini?" tanya Dave. Sore itu, selepas salat Ashar, Dave melihat kertas bertuliskan rangkaian indah di atas tempat tidur. Indri yang baru saja selesai mandi pun menjawab, "Itu, undangan dari Mas Fabian. Dia mau nikah." Wanita berbadan dua itu menggosok rambutnya yang basah. Lalu beralih menata sajadah dan hendak salat juga.Mereka janjian akan berbelanja di sebuah supermarket. Membeli buah-buahan dan bahan pokok selama satu bulan. Mobil pun melaju membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Senyum keduanya terus terlukis. Dengan sebelah tangan memutar kemudi dan yang satunya lagi menggenggam tangan sang istri. Sungguh romantis, dunia serasa milik berdua saja."Sayang, aku mau cari alat cukur bulu dulu. Kamu lanjut ke depan sana tempat buah, nanti aku susul," kata Dave sambil menunjuk."Oke. Jangan lama-lama, yah?!" Nada manja itu seperti tak tahan jika lama-lama berjauhan. Seperti pengantin baru sungguhan.Indri mulai melangkah, dan mereka berpisah. Satu persatu kebutuhan dapur terp
Jantung terasa lepas dari tempatnya. Indri masih terpaku tak menoleh karena ia takut. Ia tak mau mendengar berita buruk. Ia tak ingin kemanisan yang baru saja ia teguk bersama Dave, hilang detik ini juga. Suara keras itu masih terus menggema dan orang-orang berhamburan keluar gedung. Hanya dia yang berdiri di sana. Saat Fabian datang padanya dan menyentuh pundak, Indri semakin terisak. Belum jelas siapa yang mengalami insiden tersebut, tetapi dada sudah seperti genderang bertabuh.Indri membalik tubuh dan mengangkat gaunnya yang menjuntai itu. Ia berlari tanpa bertanya siapa yang telah tak bernyawa di tengah jalan. Tangis histeris membuat langkahnya bergetar. Semua sudah jalannya, pesan-pesan dari Dave kembali berputar dalam ruang kepalanya.Sampai di tempat tujuan, kepala pria tampan dengan jambang merambat itu sudah dipenuhi dengan aliran darah segar. Tubuh Indri lemas. Ia sudah tak mampu lagi berkata-kata, hampir pingsan tetapi kedua tangannya meraih kepala sang suami dan meletakk
PERGINYA ISTRIKUSejak kepergian Dave yang kabarnya menyebar ke segala penjuru itu, Indri lebih sering menyendiri di kamar. Sesekali ke perusahaan untuk melihat kondisi di sana sekaligus mengenang sang suami. Wanita muda yang kini baru saja masuk ke dalam ruangan itu berjalan menyentuh kursi yang biasanya diduduki oleh Dave. Setiap kenangan dan tawa mereka terlintas lagi dalam ruang kepala. Sesekali mengelus perutnya yang masih rata itu. Lagi kenangan mereka pun ia putar dalam ruangan itu. "Seandainya saja kamu masih ada di sini, pasti aku tidak akan sehancur ini. Kau tinggalkan aku dengan benih ini?" Indri kembali menitikkan air matanya. Ia terduduk di kursi itu. Menatap foto mereka berdua di atas meja. Tiba-tiba sebuah ketukan pada pintu terdengar, membuat Indri segera mengusap wajahnya. "Masuk."Fabian muncul dari sana. Ia membawakan sebuah kotak makan dan tersenyum pada Indri. "Ini, buat bumil. Dihabiskan, ya?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku sudah makan tadi, Mas. Buat kamu