"Apa ini?" tanya Dave. Sore itu, selepas salat Ashar, Dave melihat kertas bertuliskan rangkaian indah di atas tempat tidur. Indri yang baru saja selesai mandi pun menjawab, "Itu, undangan dari Mas Fabian. Dia mau nikah." Wanita berbadan dua itu menggosok rambutnya yang basah. Lalu beralih menata sajadah dan hendak salat juga.Mereka janjian akan berbelanja di sebuah supermarket. Membeli buah-buahan dan bahan pokok selama satu bulan. Mobil pun melaju membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Senyum keduanya terus terlukis. Dengan sebelah tangan memutar kemudi dan yang satunya lagi menggenggam tangan sang istri. Sungguh romantis, dunia serasa milik berdua saja."Sayang, aku mau cari alat cukur bulu dulu. Kamu lanjut ke depan sana tempat buah, nanti aku susul," kata Dave sambil menunjuk."Oke. Jangan lama-lama, yah?!" Nada manja itu seperti tak tahan jika lama-lama berjauhan. Seperti pengantin baru sungguhan.Indri mulai melangkah, dan mereka berpisah. Satu persatu kebutuhan dapur terp
Jantung terasa lepas dari tempatnya. Indri masih terpaku tak menoleh karena ia takut. Ia tak mau mendengar berita buruk. Ia tak ingin kemanisan yang baru saja ia teguk bersama Dave, hilang detik ini juga. Suara keras itu masih terus menggema dan orang-orang berhamburan keluar gedung. Hanya dia yang berdiri di sana. Saat Fabian datang padanya dan menyentuh pundak, Indri semakin terisak. Belum jelas siapa yang mengalami insiden tersebut, tetapi dada sudah seperti genderang bertabuh.Indri membalik tubuh dan mengangkat gaunnya yang menjuntai itu. Ia berlari tanpa bertanya siapa yang telah tak bernyawa di tengah jalan. Tangis histeris membuat langkahnya bergetar. Semua sudah jalannya, pesan-pesan dari Dave kembali berputar dalam ruang kepalanya.Sampai di tempat tujuan, kepala pria tampan dengan jambang merambat itu sudah dipenuhi dengan aliran darah segar. Tubuh Indri lemas. Ia sudah tak mampu lagi berkata-kata, hampir pingsan tetapi kedua tangannya meraih kepala sang suami dan meletakk
PERGINYA ISTRIKUSejak kepergian Dave yang kabarnya menyebar ke segala penjuru itu, Indri lebih sering menyendiri di kamar. Sesekali ke perusahaan untuk melihat kondisi di sana sekaligus mengenang sang suami. Wanita muda yang kini baru saja masuk ke dalam ruangan itu berjalan menyentuh kursi yang biasanya diduduki oleh Dave. Setiap kenangan dan tawa mereka terlintas lagi dalam ruang kepala. Sesekali mengelus perutnya yang masih rata itu. Lagi kenangan mereka pun ia putar dalam ruangan itu. "Seandainya saja kamu masih ada di sini, pasti aku tidak akan sehancur ini. Kau tinggalkan aku dengan benih ini?" Indri kembali menitikkan air matanya. Ia terduduk di kursi itu. Menatap foto mereka berdua di atas meja. Tiba-tiba sebuah ketukan pada pintu terdengar, membuat Indri segera mengusap wajahnya. "Masuk."Fabian muncul dari sana. Ia membawakan sebuah kotak makan dan tersenyum pada Indri. "Ini, buat bumil. Dihabiskan, ya?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku sudah makan tadi, Mas. Buat kamu
"Haduh, siapa, ya, Pak? Saya takut." Indri pun tak kalah bimbang. Dadanya berdebar hebat ketika mobil hitam di depan sana tak juga terlihat siapa penghuninya. "Bagaimana ini, Nyonya? Apa kita tetap menerabas saja? Atau, menunggu orangnya keluar?" tanya sopir itu lagi. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan hijab menutup kepala keluar sambil membuka kacamata hitamnya. Indri mencoba melihat dari balik kaca mobil dan mengingat-ingat. Dirasa tidak membahayakan, ia juga keluar menemui wanita itu. Mereka bertatapan setelah jarak terpangkas dan menyisakan beberapa jengkal saja. "Kamu Indri, kan?" tanya wanita itu. "Iya, saya Indri. Siapa, ya?" Karena merasa tak mengenal, Indri lantas bertanya pula. Sejauh ingatannya, baru kali ini dia bertemu wanita itu."Aku Fitria. Wanita yang gagal dinikahi oleh Mas Fabian."Indri terkejut. Ia langsung paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Ada apa, ya? Saya harus segera pulang, maaf tadi Anda menghadang begitu saja.""Bisa kita bicar
PERGINYA ISTRIKU"Apa? Calon istriku? Dia sudah bukan lagi calon istriku, Ndri." "Tapi ....""Sudah, ya? Jangan bahas dia lagi. Aku dan dia sudah tidak terikat apapun lagi. Aku sudah minta maaf dengan keluarganya."Fabian menunduk. Menyembunyikan rasa tak enak di wajahnya. Ada aliran napas yang keluar dengan berat. "Aku tak enak dengan dia. Aku merasa menjadi duri dalam ....""Sudah, Ndri! Kumohon. Aku menikah dengan dia juga karena perjodohan. Aku takut juga menikahi dia tapi nanti malah membuatnya sedih setiap hari karena masih teringat kamu.""Aku? Jadi, benar semua itu? Alasan, Mas Fabian, membatalkan pernikahan karena aku?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku tidak bisa melupakan kamu, Ndri. Hatiku sudah tertawan oleh cinta. Tapi, cintaku padamu bukan karena nafsu semata. Aku ikhlas melihat kamu dengan yang lain. Asal kamu bahagia.""Mas, jangan sakiti hati kamu sendiri. Aku masih bisa berdiri sendiri. Kamu enggak boleh membuat siapapun sakit hati karena sikap kamu yang mendadak
"Lebih baik, sekarang kamu pergi dari sini, Mas. Aku tak ingin beradu mulut pagi-pagi begini. Bagaimanapun juga, mereka tetap menganggapku sebagai menantu. Aku tak pernah bercerai dengan suamiku. Maaf, bawa kembali saja barang bawaan kamu."Dengan hati kesal, Indri melangkah masuk lagi ke dalam. Ia segera menutup pintu itu lagi. Bukannya menyadari kesalahannya, Rasanya malah semakin berambisi memiliki Indri lagi. Tangannya mencengkram erat dan kedua alisnya saling beradu, dalam hatinya bergumam tidak akan tinggal diam.Lelaki berambut ikal itu lantas pergi dari sana. Ia melewati beberapa rumah hingga sampai pada sebuah gedung menjulang tinggi. Di sana hanya menebus obat, lalu kembali pergi menyusuri jalanan yang begitu panjang. Berakhir pada sebuah rumah dalam perkomplekan.Dua orang berjaga terlihat memberikan hormat pada Rasya. Lelaki itu tak menanggapi, terus saja berjalan menaiki anak tangga dan tibalah di sebuah kamar tertutup rapat. Di sana, tampak sosok tergeletak tak sadarkan
Awalnya, pria berkemeja biru itu mengemudi dengan santai. Hanya saja, ketika sudah sampai di jalanan yang agak menurun, Fabian langsung panik. Pedal rem tak berfungsi dengan baik. Ia mencoba tetap tenang. Namun, tetap terus mengendalikan mobil dengan mengikuti belokan serta melaju di bagian tepi. Mobil berhenti seketika saat mesin ia matikan dan berada di jalur datar. Gelap menyapa menemani Fabian yang kini, masih diberi keselamatan. Ia langsung membuka pintu mobil dan mengelus dada sambil terus melantunkan kata syukur. "Astaghfirullah, kenapa bisa blong begini, ya?" Pria itu lantas menelpon bagian bengkel. Akan tetapi, jam segini di sana sudah tutup. Kebetulan, ia memiliki teman yang ahli dalam bidang otomotif. Sekitar setengah jam dia menunggu, sebuah mobil datang menghampiri.Lain di ujung belakang sana, Rasya masih memperhatikan mereka. Ia memukul kemudi sendiri karena telah gagal membuat Fabian celaka. Juga akan menyiapkan rencana berikutnya demi menghilangkan semua saingan da
"Kamu?" Indri mengerutkan dahinya. Mood yang semula membaik, kini harus hancur kembali karena melihat wanita yang tengah dilanda kecewa karena gagal menikah.Fitria melanjutkan langkah dan ikut duduk di sebelah Indri. Ia mengulas senyum liciknya dan siap menghujani dengan beribu cacian."Ada apa? Katakan segera! Aku tidak bisa lama-lama duduk di sini." Perasaan Indri pun mendadak tak enak. Sesekali melirik pada dua wanita tua yang ada di depan sana yang masih memilah-milah pakaian bayi. "Aku cuman mau ingatkan kamu, kalau lebih baik berhati-hati karena seseorang telah mengintaimu sejak lama. Dia berusaha menghancurkan kebahagiaan yang sudah lama kamu rindukan.""Apa maksud kamu?" Napas indir terlihat naik turun. Melihat Indri tidak tenang dan tampak gelisah, dalam hati Fitria bersorak. Itulah yang wanita itu inginkan. Menghancurkan mental wanita hamil yang tak lama lagi akan menerima bayi mungil."Aku cuman ingetin aja. Kamu kira kecelakaan suami kamu itu murni karena takdir?"Indir