"Haduh, siapa, ya, Pak? Saya takut." Indri pun tak kalah bimbang. Dadanya berdebar hebat ketika mobil hitam di depan sana tak juga terlihat siapa penghuninya. "Bagaimana ini, Nyonya? Apa kita tetap menerabas saja? Atau, menunggu orangnya keluar?" tanya sopir itu lagi. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan hijab menutup kepala keluar sambil membuka kacamata hitamnya. Indri mencoba melihat dari balik kaca mobil dan mengingat-ingat. Dirasa tidak membahayakan, ia juga keluar menemui wanita itu. Mereka bertatapan setelah jarak terpangkas dan menyisakan beberapa jengkal saja. "Kamu Indri, kan?" tanya wanita itu. "Iya, saya Indri. Siapa, ya?" Karena merasa tak mengenal, Indri lantas bertanya pula. Sejauh ingatannya, baru kali ini dia bertemu wanita itu."Aku Fitria. Wanita yang gagal dinikahi oleh Mas Fabian."Indri terkejut. Ia langsung paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Ada apa, ya? Saya harus segera pulang, maaf tadi Anda menghadang begitu saja.""Bisa kita bicar
PERGINYA ISTRIKU"Apa? Calon istriku? Dia sudah bukan lagi calon istriku, Ndri." "Tapi ....""Sudah, ya? Jangan bahas dia lagi. Aku dan dia sudah tidak terikat apapun lagi. Aku sudah minta maaf dengan keluarganya."Fabian menunduk. Menyembunyikan rasa tak enak di wajahnya. Ada aliran napas yang keluar dengan berat. "Aku tak enak dengan dia. Aku merasa menjadi duri dalam ....""Sudah, Ndri! Kumohon. Aku menikah dengan dia juga karena perjodohan. Aku takut juga menikahi dia tapi nanti malah membuatnya sedih setiap hari karena masih teringat kamu.""Aku? Jadi, benar semua itu? Alasan, Mas Fabian, membatalkan pernikahan karena aku?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku tidak bisa melupakan kamu, Ndri. Hatiku sudah tertawan oleh cinta. Tapi, cintaku padamu bukan karena nafsu semata. Aku ikhlas melihat kamu dengan yang lain. Asal kamu bahagia.""Mas, jangan sakiti hati kamu sendiri. Aku masih bisa berdiri sendiri. Kamu enggak boleh membuat siapapun sakit hati karena sikap kamu yang mendadak
"Lebih baik, sekarang kamu pergi dari sini, Mas. Aku tak ingin beradu mulut pagi-pagi begini. Bagaimanapun juga, mereka tetap menganggapku sebagai menantu. Aku tak pernah bercerai dengan suamiku. Maaf, bawa kembali saja barang bawaan kamu."Dengan hati kesal, Indri melangkah masuk lagi ke dalam. Ia segera menutup pintu itu lagi. Bukannya menyadari kesalahannya, Rasanya malah semakin berambisi memiliki Indri lagi. Tangannya mencengkram erat dan kedua alisnya saling beradu, dalam hatinya bergumam tidak akan tinggal diam.Lelaki berambut ikal itu lantas pergi dari sana. Ia melewati beberapa rumah hingga sampai pada sebuah gedung menjulang tinggi. Di sana hanya menebus obat, lalu kembali pergi menyusuri jalanan yang begitu panjang. Berakhir pada sebuah rumah dalam perkomplekan.Dua orang berjaga terlihat memberikan hormat pada Rasya. Lelaki itu tak menanggapi, terus saja berjalan menaiki anak tangga dan tibalah di sebuah kamar tertutup rapat. Di sana, tampak sosok tergeletak tak sadarkan
Awalnya, pria berkemeja biru itu mengemudi dengan santai. Hanya saja, ketika sudah sampai di jalanan yang agak menurun, Fabian langsung panik. Pedal rem tak berfungsi dengan baik. Ia mencoba tetap tenang. Namun, tetap terus mengendalikan mobil dengan mengikuti belokan serta melaju di bagian tepi. Mobil berhenti seketika saat mesin ia matikan dan berada di jalur datar. Gelap menyapa menemani Fabian yang kini, masih diberi keselamatan. Ia langsung membuka pintu mobil dan mengelus dada sambil terus melantunkan kata syukur. "Astaghfirullah, kenapa bisa blong begini, ya?" Pria itu lantas menelpon bagian bengkel. Akan tetapi, jam segini di sana sudah tutup. Kebetulan, ia memiliki teman yang ahli dalam bidang otomotif. Sekitar setengah jam dia menunggu, sebuah mobil datang menghampiri.Lain di ujung belakang sana, Rasya masih memperhatikan mereka. Ia memukul kemudi sendiri karena telah gagal membuat Fabian celaka. Juga akan menyiapkan rencana berikutnya demi menghilangkan semua saingan da
"Kamu?" Indri mengerutkan dahinya. Mood yang semula membaik, kini harus hancur kembali karena melihat wanita yang tengah dilanda kecewa karena gagal menikah.Fitria melanjutkan langkah dan ikut duduk di sebelah Indri. Ia mengulas senyum liciknya dan siap menghujani dengan beribu cacian."Ada apa? Katakan segera! Aku tidak bisa lama-lama duduk di sini." Perasaan Indri pun mendadak tak enak. Sesekali melirik pada dua wanita tua yang ada di depan sana yang masih memilah-milah pakaian bayi. "Aku cuman mau ingatkan kamu, kalau lebih baik berhati-hati karena seseorang telah mengintaimu sejak lama. Dia berusaha menghancurkan kebahagiaan yang sudah lama kamu rindukan.""Apa maksud kamu?" Napas indir terlihat naik turun. Melihat Indri tidak tenang dan tampak gelisah, dalam hati Fitria bersorak. Itulah yang wanita itu inginkan. Menghancurkan mental wanita hamil yang tak lama lagi akan menerima bayi mungil."Aku cuman ingetin aja. Kamu kira kecelakaan suami kamu itu murni karena takdir?"Indir
Udara siang begitu menyengat, kala seorang wanita turun dari sebuah mobil. Wajahnya masih sangat muda dan cantik. Berkelas dan masih asing dengan daerah sana, maka dari itu sejak tadi dia agak kebingungan.Berada di tempat parkiran, dia merogoh ponsel di dalam tasnya dan melihat sebuah panggilan sudah sejak tadi rupanya tak diangkat. Fatria mendongak dan membaca lagi papan besar di pinggir jalan itu. Benar, alamat yang tadi dikirim oleh seorang pria padanya. Wanita itu segera masuk ke dalam kafe. Udara di dalam kafe langsung membuatnya nyaman. Dingin, sejuk dan pemandangannya juga bagus. Design interior tempat itu sangat cocok untuk matanya yang butuh kesegaran setelah mengalami guncangan batin yang cukup kuat.Seorang pria lantas mengulas senyum padanya. Fatria pun langsung paham dan mendekati pria itu. Mereka bersalaman dan mengawali perbincangan dengan memesan segelas minuman segar."Jadi ... apa rencana kamu?" tanya Fitria. Ia menatap lekat wajah pria berambut ikal itu. "Gue pun
"Sayang, kamu enggak usah capek-capek ke kantor lagi. Kamu harus persiapkan persalinan yang tak lama lagi ini. Banyak-banyak minum air putih dan jalan kaki. Dulu, Mama juga begitu saat mengandung suami kamu. Dave itu paling mudah. Kan, Mama sebenarnya sudah pernah melahirkan adiknya Dave, tapi enggak selamat.""Indri masih enggak percaya kalau Pak Dave pergi dengan begitu cepat. Padahal, kami baru saja menikmati manisnya pernikahan." Ada raut yang begitu sedih, tetapi sang mertua segera menghiburnya. "Kamu sabar, Nak. Setelah ini, bayi kamu akan menjadi orang hebat. Akan menyayangi Ibunya sepenuh hati. Dia akan jadi pewaris tunggal keluarga kita. Satu hal lagi pesan Mama, jangan anggap kami ini sekadar mertua, tapi kami ini adakah orangtua kamu juga. Kami hanya punya Dave dan kamu saja." Mereka berpelukan hingga tiba di parkiran rumah sakit, Indri tak begitu melihat jalannya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tak sampai menabrak Indri, tetapi kejadian itu mampu membuat in
Hari ini Indri sudah boleh pulang. Ia masuk ke dalam rumah dengan duduk di atas kursi roda. Dua mertua ikut mengantar karena mereka belum bisa berpisah dengan sang cucu mungil berbalut dengan selimut berbulu. "Ndri, Mama boleh menginap di sini semalam saja? Mama mau nungguin cucu. Besok Mama pulang." Wanita berparas ayu itu memohon pada sang menantu. Mana mungkin Indri tega, apalagi ia melihat bercak kesedihan di mata Laila. Pasti wanita tua dengan jilbab coklat itu teringat dengan putranya. "Mama kapan saja boleh menginap di sini. Menjenguk bahkan memeluk cucu Mama sepuasnya," balas Indri saat dia sudah berpindah di atas tempat tidur. Di sebelahnya, putra tampan yang baru saja diberi nama Davin itu."Benar, Nyonya. Kami sangat senang kalau Nyonya betah di sini," sahut Rumi yang baru saja datang dengan nampan berisi minuman. Di kamar Indri mendadak penuh dengan keberadaan mereka. Sementara itu, Ali tengah berbincang dengan George di depan rumah. Lalu, Shalsabila membantu memasak d