"Sayang, kamu enggak usah capek-capek ke kantor lagi. Kamu harus persiapkan persalinan yang tak lama lagi ini. Banyak-banyak minum air putih dan jalan kaki. Dulu, Mama juga begitu saat mengandung suami kamu. Dave itu paling mudah. Kan, Mama sebenarnya sudah pernah melahirkan adiknya Dave, tapi enggak selamat.""Indri masih enggak percaya kalau Pak Dave pergi dengan begitu cepat. Padahal, kami baru saja menikmati manisnya pernikahan." Ada raut yang begitu sedih, tetapi sang mertua segera menghiburnya. "Kamu sabar, Nak. Setelah ini, bayi kamu akan menjadi orang hebat. Akan menyayangi Ibunya sepenuh hati. Dia akan jadi pewaris tunggal keluarga kita. Satu hal lagi pesan Mama, jangan anggap kami ini sekadar mertua, tapi kami ini adakah orangtua kamu juga. Kami hanya punya Dave dan kamu saja." Mereka berpelukan hingga tiba di parkiran rumah sakit, Indri tak begitu melihat jalannya. Sebuah mobil melaju dengan kecepatan tinggi, tak sampai menabrak Indri, tetapi kejadian itu mampu membuat in
Hari ini Indri sudah boleh pulang. Ia masuk ke dalam rumah dengan duduk di atas kursi roda. Dua mertua ikut mengantar karena mereka belum bisa berpisah dengan sang cucu mungil berbalut dengan selimut berbulu. "Ndri, Mama boleh menginap di sini semalam saja? Mama mau nungguin cucu. Besok Mama pulang." Wanita berparas ayu itu memohon pada sang menantu. Mana mungkin Indri tega, apalagi ia melihat bercak kesedihan di mata Laila. Pasti wanita tua dengan jilbab coklat itu teringat dengan putranya. "Mama kapan saja boleh menginap di sini. Menjenguk bahkan memeluk cucu Mama sepuasnya," balas Indri saat dia sudah berpindah di atas tempat tidur. Di sebelahnya, putra tampan yang baru saja diberi nama Davin itu."Benar, Nyonya. Kami sangat senang kalau Nyonya betah di sini," sahut Rumi yang baru saja datang dengan nampan berisi minuman. Di kamar Indri mendadak penuh dengan keberadaan mereka. Sementara itu, Ali tengah berbincang dengan George di depan rumah. Lalu, Shalsabila membantu memasak d
Saat Ali ke depan dan ingin memanasi mobilnya, tak sengaja ia melihat sekelebatan orang bertopi yang sepertinya tengah memperhatikan Indri dan Shalsabila yang kini berada di gazebo. Tatapan yang tidak biasa, lalu pergi saat Ali menyadari hal itu.Pria berkemeja biru dengan dasi mengalung di leher itu tak begitu menghiraukan. Selesai memanasi mobil, ia berpamitan pada orang rumah untuk segera ke kantor.Hari menjelang panas, dua wanita yang tadinya asik mengobrol pun segera masuk lagi ke dalam rumah. Selama waktu bersilih, tetangga pun turut keluar masuk mengerjakan apa saja yang diperlukan dalam acara nanti sore. Indri juga meminta bantuan tetangga untuk membeli kambing yang akan digunakan untuk aqiqah putra kecilnya. Saat ia tertidur karena semalam banyak begadang, ada seorang wanita yang tiba-tiba masuk ke dalam kamarnya. Ia menatap bayi mungil itu dengan seringai penuh licik.Sementara di dapur keadaan begitu ramai, ia gunakan waktu dan kesempatan itu untuk bersiap-siap mengambil
Semua orang berteriak. Bayi kecil terjatuh tepat di dalam dekapan seorang lelaki dan kembali dibawa kabur. Lelaki bertopi tak peduli dengan nasib tragis wanita yang telah membantunya menculik bayi itu. Lelaki misterius yang tak lain adalah Rasya itu lantas masuk ke dalam mobil. Salah seorang anak buahnya yang duduk di bagian depan pun menekan pedal gas dan melaju di tengah keramaian kota itu. Sang pemilik mobil yang tak sengaja telah menabrak wanita itu dengan cepat meminta sopirnya untuk mengejar mobil yang membawa cucunya. Di dalam mobil itu, orangtua Dave memandu sopir agar terus mengejar mobil yang membawa bayi kecil itu hingga ke tengah kemacetan. Meskipun sudah renta dan sering memakai tongkat untuk berjalan, George membuka pintu dengan kasar setelah menelpon bodyguardnya. Ia segera turun saat semua mobil berhenti di bawah lampu merah. Pria tua yang rambutnya telah memutih rata itu melayangkan tinju pada pintu mobil Rasya hingga pecah. Sontak kejadian itu membuat perhatian s
Ada perasaan meremang dan tak percaya. Akhirnya, ia bertemu kembali dengan putra tercinta. Indri segera mendekat bersama Ibunya. "Davin ...." Dengan wajah sembab dan kondisi yang belum stabil, Indri langsung mendekati Davin kecil dari kakeknya. "Pa, makasih banyak sudah membawa Davin pulang.""Alhamdulillah, Nak. Ini adalah bantuan dari Allah. Tidak ada yang kebetulan. Papa tadi mau ke sini rencananya, tapi sampai di jalan tak sengaja sopir menabrak seorang wanita yang membawa bayi. Bayi ini terlempar dan ditangkap oleh mantan suami kamu. Karena warga berteriak itu adalah anak kamu, lalu meminta Papa untuk mengejarnya. Maka dari itu, Papa tak mau tinggal diam dan segera mengejar mobil lelaki itu."Panjang lebar lelaki tua itu bercerita, Indri ternganga saat mendengar siapa dalang di balik ini semua. "Apa? Jadi ... semua ini rencana Mas Rasya?" Beralih menatap Rumi, Indri tak habis pikir. "Acara sore itu dimulai dengan do'a, mencukur rambut bayi yang tengah diaqiqah lalu memberikan
Udara segar pagi itu, membuat Indri betah berada di bawah pohon mangga depan rumah. Ia tengah mengajak putranya berjemur dan melihat indahnya dunia. Kebetulan, Ibu dan kakak iparnya tengah keluar untuk memanen sayuran di tanah seberang jalan yang memang dibeli untuk ditanami sayuran segar. Indri hanya berdua saja dengan Davin yang kini betah dalam pangkuan. Bayi mungil itu terlihat sangat tampan dengan topi rajut dari bahan wol yang sengaja dibuatkan sendiri oleh Laila. Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti di depan pagar.Indri yang merasa tak mengenali mobil itupun, lantas berdiri. Ia khawatir ada orang jahat lagi. Namun, yang ada adalah seorang wanita cantik berkacamata hitam dengan wajah tebal makeup. Dia turun dengan penampilan fashionable dan mendekati Indri."Hai? Ternyata kamu sudah melahirkan. Selamat, ya? Boleh aku duduk di sini?" Wanita itu menunjuk dudukan dari bahan kayu di sebelah Indri. "Silakan," balas Indri dengan perasaan tak enak. Lepas duduk, wanita itu berkata,
Shalsabila sangat panik. Ia tak kuat menopang tubuh mertuanya sendirian. Rumi akhirnya ambruk ke tanah setengah basah itu. Karena gelisah, Shalsabila sampai lemas sendiri. Untung saja, ada tetangga yang melihat kejadian itu.Saat itu juga, Indri yang baru saja membuka pintu sambil menggendong bayinya pun terperanjat dan segera menghampiri."Ya Allah, Ibu kenapa, Mbak?" Tangis Indri pecah seraya meminta tolong pada tetangga yang ada. "Tolong!""Itu, Ndri ada calon istrinya Fabian yang waktu itu. Dia kasih Ibu lihat foto-foto yang mirip sama kamu." "Astaghfirullah." Indri semakin terisak hebat. Mereka tak tahu, kalau beberapa tetangga telah membicarakan mereka.Tak lama, ambulan datang membawa Rumi ke rumah sakit. Indri dan Shalsabila menunggu di depan ruangan gawat darurat. Mereka saling menguatkan tak lupa mengabari Ali yang kini masih dalam perjalanan. "Ndri, setelah ini bilang semuanya sama Fabian. Biar dia sendiri yang menasihati wanita itu. Kita enggak boleh diam saja. Kalau ben
"Maaf, keluarga Ibu Rumi?" Seorang lelaki berpakaian jas putih dengan stetoskop mengalung pada leher, menghampiri mereka. Semua orang menoleh dan mendekat. Ingin mendengar kabar bagaimana kondisi wanita tua di dalam sana. "Kami, Dok." Ali yang pertama maju. Dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar dari sang dokter berkacamata itu."Sebelumnya, kami minta maaf sebesar-besarnya. Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin." Sesaat, sang dokter menunduk. Menunjukkan wajah sedih. Semakin membuat Ali mengulang pertanyaannya lagi. "Bu Rumi, sudah menghembuskan napas terakhirnya."Seketika, tubuh mereka meremang. Indri hampir saja terjatuh pingsan, kalau tidak ditolong oleh kakak iparnya. Kondisi menggendong bayi ditambah mendengar kabar kematian Ibunya. Indri sampai sudah tak bisa menangis lagi. Air mata terasa kering dan tubuh lemah bertambah-tambah. "Bu, jangan tinggalkan Indri!" Mereka bertiga saling menguatkan. Sebisa mungkin, Indri berdiri dibantu Ali dan Shalsabila. Merek