Udara segar pagi itu, membuat Indri betah berada di bawah pohon mangga depan rumah. Ia tengah mengajak putranya berjemur dan melihat indahnya dunia. Kebetulan, Ibu dan kakak iparnya tengah keluar untuk memanen sayuran di tanah seberang jalan yang memang dibeli untuk ditanami sayuran segar. Indri hanya berdua saja dengan Davin yang kini betah dalam pangkuan. Bayi mungil itu terlihat sangat tampan dengan topi rajut dari bahan wol yang sengaja dibuatkan sendiri oleh Laila. Tak lama, sebuah mobil mewah berhenti di depan pagar.Indri yang merasa tak mengenali mobil itupun, lantas berdiri. Ia khawatir ada orang jahat lagi. Namun, yang ada adalah seorang wanita cantik berkacamata hitam dengan wajah tebal makeup. Dia turun dengan penampilan fashionable dan mendekati Indri."Hai? Ternyata kamu sudah melahirkan. Selamat, ya? Boleh aku duduk di sini?" Wanita itu menunjuk dudukan dari bahan kayu di sebelah Indri. "Silakan," balas Indri dengan perasaan tak enak. Lepas duduk, wanita itu berkata,
Shalsabila sangat panik. Ia tak kuat menopang tubuh mertuanya sendirian. Rumi akhirnya ambruk ke tanah setengah basah itu. Karena gelisah, Shalsabila sampai lemas sendiri. Untung saja, ada tetangga yang melihat kejadian itu.Saat itu juga, Indri yang baru saja membuka pintu sambil menggendong bayinya pun terperanjat dan segera menghampiri."Ya Allah, Ibu kenapa, Mbak?" Tangis Indri pecah seraya meminta tolong pada tetangga yang ada. "Tolong!""Itu, Ndri ada calon istrinya Fabian yang waktu itu. Dia kasih Ibu lihat foto-foto yang mirip sama kamu." "Astaghfirullah." Indri semakin terisak hebat. Mereka tak tahu, kalau beberapa tetangga telah membicarakan mereka.Tak lama, ambulan datang membawa Rumi ke rumah sakit. Indri dan Shalsabila menunggu di depan ruangan gawat darurat. Mereka saling menguatkan tak lupa mengabari Ali yang kini masih dalam perjalanan. "Ndri, setelah ini bilang semuanya sama Fabian. Biar dia sendiri yang menasihati wanita itu. Kita enggak boleh diam saja. Kalau ben
"Maaf, keluarga Ibu Rumi?" Seorang lelaki berpakaian jas putih dengan stetoskop mengalung pada leher, menghampiri mereka. Semua orang menoleh dan mendekat. Ingin mendengar kabar bagaimana kondisi wanita tua di dalam sana. "Kami, Dok." Ali yang pertama maju. Dia sudah tak sabar ingin mendengar kabar dari sang dokter berkacamata itu."Sebelumnya, kami minta maaf sebesar-besarnya. Pihak rumah sakit sudah berusaha semaksimal mungkin." Sesaat, sang dokter menunduk. Menunjukkan wajah sedih. Semakin membuat Ali mengulang pertanyaannya lagi. "Bu Rumi, sudah menghembuskan napas terakhirnya."Seketika, tubuh mereka meremang. Indri hampir saja terjatuh pingsan, kalau tidak ditolong oleh kakak iparnya. Kondisi menggendong bayi ditambah mendengar kabar kematian Ibunya. Indri sampai sudah tak bisa menangis lagi. Air mata terasa kering dan tubuh lemah bertambah-tambah. "Bu, jangan tinggalkan Indri!" Mereka bertiga saling menguatkan. Sebisa mungkin, Indri berdiri dibantu Ali dan Shalsabila. Merek
Malam hadir dengan cahaya bintang bertaburan. Suasana di dalam rumah telah ramai dengan bapak-bapak di ruang utama. Tak terkecuali ada juga Fabian dengan setelan hitam putih dan kopiah hitam khas. Dia duduk di sebelah Ali dengan membaca do'a sesuai urutan yang dipimpin oleh seorang ustadz di sana. Selepas acara selesai, satu persatu orang-orang mulai berpamitan. Hanya tinggal segelintir saja yang masih di dalam. Saat itu, Fabian termenung. Maju mundur ia ingin mengatakan sesuatu. Apakah sekarang sudah layak dia mengutarakan niatnya. Padahal, di sana masih dalam keadaan berduka. Niat baik itu, akhirnya ia ungkap pelan di dekat telinga Ali, lelaki yang sejak tadi menyandar dinding dengan tatapan menerawang jauh."Mas, saya ingin bicara sebentar. Bisa?" Fabian menghela napas panjang. Membuang rasa was-was dalam hatinya. "Bicara apa?" balas Ali. Ia menutup mulutnya karena menguap hingga kedua mata berembun tipis. Fabian mulai menarik napas panjang lagi. "Begitu banyak kejadian yang m
Sejauh ini, Ali masih memperhatikan dari kejauhan. Ali sangat penasaran dengan lelaki yang tengah mereka tawan. Barangkali saja ia mengenalnya. Sedikit ia menajamkan penglihatan, tetapi salah satu dari orang-orang di sana hampir saja curiga. Ali pun segera mundur lagi dan tak lama setelah itu, mereka semua telah masuk ke dalam rumah yang sepertinya sudah lama tidak ditinggali."Mungkin aku lebih baik pulang saja." Ali lantas menekan pedal gas dan meninggalkan tempat itu. .Malam menjelang tidur, pria itu masih menatap bohlam bulat memancarkan cahaya terang. Istrinya yang sudah terlelap di sampingnya, kini membentangkan tangan dan meraba-raba wajah sang suami. Menyadari sang suami belum tidur, Shalsabila membuka matanya. Ia segera memeluk pinggang Ali dan semakin memangkas jarak. "Mas, kenapa belum tidur?" Shalsabila menguap lagi. Tangannya menutup mulut."CK." Ali berdecak. "Bingung aku, Dek. Tadi siang aku lihat orang mirip banget sama almarhum Tuan Dave. Tapi, mana mungkin dia.
"Gue denger, janda depan Bu RT itu mau nikah lagi.""Eh, masa, sih?""Hooh. Mana udah ke berapa, tuh?""Ih, doyan banget kawin. Bukannya dulu sama si Rasya, ya? Yang nikahnya cuman sederhana itu?""Iya. Terus sama si Tuan kaya, malah meninggal belum lama. Jangan-jangan cuman mau hartanya doang. Astaga, wanita jaman sekarang." Indri menekan kuat-kuat rasa pedih dari dalam dadanya. Ia mendengar obrolan yang tak jauh dari rumahnya itu. Tepat di tempat tukang sayur keliling yang memang setiap pagi mangkal di pos ronda. Semakin lama, saat rasa itu ia tahan, semakin deras air mata membasahi pipinya. Shalsabila yang baru saja keluar mengiringi Ali yang siap berangkat kerja pun, terkejut melihat sang adik yang sibuk dengan air mata. Indri duduk di gazebo samping rumah. Lalu, dua kakaknya datang dan bertanya, "Kenapa kamu, Ndri? Ada apa? Jangan sedih terus, kasihan anak kamu nanti." Ali menghela napas panjang. Baru lah, saat ia melihat sendiri siapa yang menguat adiknya itu sedih, pria itu
"Ndri, kamu sudah siap?" Indri menatap Ali dengan tatapan bimbang. Sungguh, dia tak tahu apa yang akan menjadi takdirnya ke depan. Banyak yang menasihati, sebelum bertumbuh besar, anaknya juga sangat membutuhkan sosok ayah. Indri masih bimbang. Ia menggigit bibirnya dan mengatur deru napas yang kian tak tenang. Duduk sambil memangku Davin kecil, ditatapnya sekali lagi bayi mungil yang sepertinya tengah mengajak bercerita. Suara indah yang keluar dari mulut segar itu, membuat Indri pasrah. Benar apa kata mereka. Davin memang membutuhkan sosok ayah."Terserah, Mas, saja. Aku ikut apa kata kalian. Yang jelas, aku menerima dia bukan karena aku masih menyimpan rasa. Akan tetapi, semua ini demi Davin."Indri dibantu berdiri oleh Shalsabila dan mereka keluar dari kamar. Satu tatap langsung terlihat Fabian yang duduk dengan setelan jas yang rapi. Sekilas, Indri menatap kakak iparnya dengan tatapan ragu. Namun, mereka tetap meyakinkan kalau lebih baik menemui dulu."Ndri, gimana kabar kamu?
Ali mengangguk. "Aku percayakan semua padamu, Fabian. Segerakan pernikahan ini dan hiduplah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah. Jaga istri dan anakmu. Meski Davin bukan darah daging kamu, anggaplah dia sebagai anak kamu sendiri.""Tentu, Mas. Sekuat tenaga, aku akan jaga mereka berdua. Aku janji. Kuserahkan hidupku pada Allah untuk menjaga mereka." Fabian mulai mengeluarkan benda mungil berbentuk lingkaran dari kotak beludru. Dia mulai meletakkan benda itu di tengah meja. Bermaksud agar Ali memakaikannya pada jari manis Indri. Ali paham betul, jika sudah begitu. Ia segera meraihnya dan menarik tangan Indri untuk memasangkan cincin berhias berlian itu sebagai tanda ikatan sebelum pernikahan nanti."Tunggu!"Diiringi petir bergemuruh, kilatan putih itu semoat memantulkan cahaya pada wajah seorang pria dengan napas terengah-engah berdiri di depan pintu. Seketika cincin tadi terjatuh kala semua menoleh pada sumber suara. Indri hampir saja terjatuh jika tidak dipegangi oleh Ali