Sejauh ini, Ali masih memperhatikan dari kejauhan. Ali sangat penasaran dengan lelaki yang tengah mereka tawan. Barangkali saja ia mengenalnya. Sedikit ia menajamkan penglihatan, tetapi salah satu dari orang-orang di sana hampir saja curiga. Ali pun segera mundur lagi dan tak lama setelah itu, mereka semua telah masuk ke dalam rumah yang sepertinya sudah lama tidak ditinggali."Mungkin aku lebih baik pulang saja." Ali lantas menekan pedal gas dan meninggalkan tempat itu. .Malam menjelang tidur, pria itu masih menatap bohlam bulat memancarkan cahaya terang. Istrinya yang sudah terlelap di sampingnya, kini membentangkan tangan dan meraba-raba wajah sang suami. Menyadari sang suami belum tidur, Shalsabila membuka matanya. Ia segera memeluk pinggang Ali dan semakin memangkas jarak. "Mas, kenapa belum tidur?" Shalsabila menguap lagi. Tangannya menutup mulut."CK." Ali berdecak. "Bingung aku, Dek. Tadi siang aku lihat orang mirip banget sama almarhum Tuan Dave. Tapi, mana mungkin dia.
"Gue denger, janda depan Bu RT itu mau nikah lagi.""Eh, masa, sih?""Hooh. Mana udah ke berapa, tuh?""Ih, doyan banget kawin. Bukannya dulu sama si Rasya, ya? Yang nikahnya cuman sederhana itu?""Iya. Terus sama si Tuan kaya, malah meninggal belum lama. Jangan-jangan cuman mau hartanya doang. Astaga, wanita jaman sekarang." Indri menekan kuat-kuat rasa pedih dari dalam dadanya. Ia mendengar obrolan yang tak jauh dari rumahnya itu. Tepat di tempat tukang sayur keliling yang memang setiap pagi mangkal di pos ronda. Semakin lama, saat rasa itu ia tahan, semakin deras air mata membasahi pipinya. Shalsabila yang baru saja keluar mengiringi Ali yang siap berangkat kerja pun, terkejut melihat sang adik yang sibuk dengan air mata. Indri duduk di gazebo samping rumah. Lalu, dua kakaknya datang dan bertanya, "Kenapa kamu, Ndri? Ada apa? Jangan sedih terus, kasihan anak kamu nanti." Ali menghela napas panjang. Baru lah, saat ia melihat sendiri siapa yang menguat adiknya itu sedih, pria itu
"Ndri, kamu sudah siap?" Indri menatap Ali dengan tatapan bimbang. Sungguh, dia tak tahu apa yang akan menjadi takdirnya ke depan. Banyak yang menasihati, sebelum bertumbuh besar, anaknya juga sangat membutuhkan sosok ayah. Indri masih bimbang. Ia menggigit bibirnya dan mengatur deru napas yang kian tak tenang. Duduk sambil memangku Davin kecil, ditatapnya sekali lagi bayi mungil yang sepertinya tengah mengajak bercerita. Suara indah yang keluar dari mulut segar itu, membuat Indri pasrah. Benar apa kata mereka. Davin memang membutuhkan sosok ayah."Terserah, Mas, saja. Aku ikut apa kata kalian. Yang jelas, aku menerima dia bukan karena aku masih menyimpan rasa. Akan tetapi, semua ini demi Davin."Indri dibantu berdiri oleh Shalsabila dan mereka keluar dari kamar. Satu tatap langsung terlihat Fabian yang duduk dengan setelan jas yang rapi. Sekilas, Indri menatap kakak iparnya dengan tatapan ragu. Namun, mereka tetap meyakinkan kalau lebih baik menemui dulu."Ndri, gimana kabar kamu?
Ali mengangguk. "Aku percayakan semua padamu, Fabian. Segerakan pernikahan ini dan hiduplah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah. Jaga istri dan anakmu. Meski Davin bukan darah daging kamu, anggaplah dia sebagai anak kamu sendiri.""Tentu, Mas. Sekuat tenaga, aku akan jaga mereka berdua. Aku janji. Kuserahkan hidupku pada Allah untuk menjaga mereka." Fabian mulai mengeluarkan benda mungil berbentuk lingkaran dari kotak beludru. Dia mulai meletakkan benda itu di tengah meja. Bermaksud agar Ali memakaikannya pada jari manis Indri. Ali paham betul, jika sudah begitu. Ia segera meraihnya dan menarik tangan Indri untuk memasangkan cincin berhias berlian itu sebagai tanda ikatan sebelum pernikahan nanti."Tunggu!"Diiringi petir bergemuruh, kilatan putih itu semoat memantulkan cahaya pada wajah seorang pria dengan napas terengah-engah berdiri di depan pintu. Seketika cincin tadi terjatuh kala semua menoleh pada sumber suara. Indri hampir saja terjatuh jika tidak dipegangi oleh Ali
itu, pria berjambang lebat baru saja mencukur bulu yang merambat pada rahangnya. Tampak tipis lagi dan wajah putih kembali hadir dihiasi bibir kemerahan agak tipis. Tatapan elang menembus cermin bundar di depannya. Sesekali mengulas senyuman, membayangkan istrinya pangling saat melihat nanti.Masih berada di kamar mandi dan menekan kran, lalu mengusap wajahnya yang masih tersisa cream pembersih wajah, Dave bergegas menyelesaikannya. Pria berkaus hitam dengan celana bahan itu mengusap wajahnya dengan handuk kecil. Ia keluar dengan wajah berseri dan segar.Saat sudah berada di luar, ia melihat istrinya yang sudah menunggu sambil menepuk-nepuk paha putranya agar lekas tidur. Dave mendekat pelan dan menyentuh lengan sang istri. Ada senyum manis yang tersirat dari bibirnya. Ia mulai duduk di sebeMalamlah istrinya. "Apakah dia masih lama tidurnya?"Indri tersenyum. "Coba, Tuan, peluk dia. Mungkin saja dia juga rindu ingin tidur di sebelah Babanya."Dave menghela napas panjang. "Aku hampir
Indri lega pada akhirnya. Ia tersenyum lagi dan mengantar Dave keluar dari kamar. Sengaja mereka tak membawa Davin kecil karena tengah tertidur pulas. Di ruang tengah, Ali dan Shalsabila sudah menunggu mereka. Ada senyum bahagia menyambut sepasang suami istri yang tampak menciptakan senyum semringah. "Tuan, sudah siap?" tanya Ali. Ia segera meraih kunci mobilnya."Sudah. Mari kita berangkat sekarang."Indri dan Shalsabila mengantar mereka sampai di depan pagar rumah mereka. Pagar tanam yang memang sengaja dirawat sepenuh hati itu agar selalu terkenang masa-masa kedua orangtuanya masih ada."Ndri, kita masuk aja, yuk. Sekarang, keadaan masih belum benar-benar membaik. Khawatir aja anak buah Rasya mengawasi rumah ini. Seperti yang sudah-sudah."Indri mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah lagi. Saking khawatirnya, mereka mengunci semua celah. Sesekali mengintip keadaan luar sana dari balik korden putih pada jendela kaca.Tak lama setelah itu, terdengar deru mobil memasuki halaman.
"Bukan, aku bukan adiknya Mbak Indri. Aku keponakannya. Banyak yang bilang kalau kami ini mirip." Gadis itu terkekeh. "Kemarin lihat Mas Fabian pas melawat di rumah duka. Kebetulan aku kuliah di California dan tahu alamat Mas Fabian dari berbagai sumber." Gadis itu meringis kuda. "Oh ya?" Fabian merasa lucu dan membalas dengan senyuman juga. "Terus, ngapain kamu sampai di sini?""Aku dari toko buku. Dan enggak sengaja, lihat Mas Fabian di sini. Boleh, kan, kenalan? Aku di sini enggak banyak kenal orang Indo. Cuman berdua aja sama temen dan dia sekarang udah balik duluan."Fabian tersenyum lagi. Ia menatap lekat gadis berparas cantik yang mirip sekali dengan Indri itu. Lantas, mereka jalan berdua menikmati senja dan berakhir di sebuah kafe setelah Maghrib. Mengobrol banyak hal dan tentang perasaan ... pandangan pertama membawa cinta itu tumbuh kembali dengan sosok lain.Dalam gemerlap lampu jalanan, mereka berjalan hingga sampai di sebuah penginapan. "Makasih, Mas, udah ditraktir. Lai
Setelah mengatakan itu, Alma menatap ke atas dengan mata melotot. Ia memegangi dadanya dan terdengar sesak napasnya.Fabian yang panik pun lantas memanggil pembantu rumah tangga agar menelpon pihak rumah sakit untuk datang. Namun, semua sudah terlambat. Alma mengembus napas terakhir di dekat putra kesayangannya dalam keadaan membawa kekesalan. Fabian pun berteriak dengan air mata melelehi pipi. "Maaaa!" Pengumuman atas meninggalnya wanita tua itupun, lantas menggema di daerah tempat tinggal mereka. Semua berduyun-duyun untuk membantu proses pemakaman. Di atas gundukan tanah merah, lelaki berpakaian serba hitam itu masih menekan duka kepergian Ibunya. "Maafkan Bian, Ma. Belum bisa membahagiakan ataupun memberikan menantu."Fabian hanya seorang diri di sana, semua pelawat sudah pulang. Hingga mendung melambai gelap dengan aliran angin dingin yang terus merambat. Tubuhnya hampir basah kuyup, tetapi sebuah payung tiba-tiba datang menaunginya.Pria dewasa dengan mata sembab itu tersadar