Perginya istriku S2Pagi yang cerah menghangatkan dua raga yang duduk di dekat kolam renang. Dua cangkir teh hangat telah menambah kemesraan mereka meski usia sudah tak lagi muda."Ma, Pa, Davin ke kantor dulu."Pria tampan dengan setelan jas hitam itu telah siap dengan penampilan menawan, ada kacamata bening yang bertengger di atas hidung bangirnya."Hati-hati, Sayang. Mama nitip, ya?"Davin mengerutkan dahinya. Menatap Mamanya yang baru saja berdiri mendekat dan merapikan dasinya. "Nitip apa, Ma?" Indri tersenyum seraya melirik pada sang suami. "Nitip menantu. Kami sudah tak sabar melihat kamu membawa calon is ....""Halah, Mama. Itu terus yang dibahas. Davin masih ingin sendiri," balas pria itu. Dia segera cium pipi Mamanya, lalu berganti dengan Dave yang tetap santai menatap cahaya yang merambat lurus."Pa, Davin berangkat dulu." Putra pertama Dave dan Indri itu lantas berpamitan. Ia segera memasuki mobil mewahnya setelah sang sopir membukakan pintu.Sejauh perjalanan, semua tam
Davin masih terus memperhatikan sang gadis dengan tenang. Sejauh ini, gadis itu masih menunjukkan sikap sopan. Tak ada masalah baginya. Namun, sejurus itu ia punya rencana yang matang. Ada senyuman misterius yang lahir dari bibir semu merah itu. Mirip sekali dengan Papanya. Pria gagah itu terus menatap sang gadis hingga gadis sampai juga di hadapannya. Begitu saling menatap, gadis itu lantas gemetaran. Davin segera membuang wajah. Selesai dari sana, gadis itu keluar membawa debaran yang tak biasa. Lalu, ia menyandar dinding untuk menguatkan raga."Fi? Kenape, lu?" Tema Fia bertanya saat melihat sahabatnya itu seperti orang kesurupan. Sampai dua pipi chubby milik Fia ia cubit. "Duh, sakit, tau!" Fia meringis. Ia menggosok pipinya yang mendadak merah. "Habisnya, ditanyain malah melamun terus. Gua kira kesambet, lu." Alena segera menggeret tangan Fia dan mengajaknya kembali ke ruangan office girl."Len, lepasin gue!" Fia ingin berhenti. Gadis dengan kuncir kuda itu tampak lemas dan
Perginya istriku 57 S2Pria berdasi hitam itu masih memastikan setiap wajah, tampaknya ada yang baru saja datang dari belakang sana sambil berlari dan membenahi ikat rambutnya. Entah kenapa, ada perasaan aneh yang mendadak muncul dalam hati sang direktur utama."Hei, kamu! Sini!" Tangan Davin terangkat, ia menunjuk gadis yang berdiri paling belakang. Sementara sang gadis masih menoleh kanan kiri tak tahu apa-apa. Hingga beberapa karyawan membisik dan menoel lengannya agar cepat-cepat mendekat ke podium. "Hah, gue?" Masih celingukan, gadis itu tampak kesal.Meskipun begitu, dia tak punya pilihan. Akhirnya, ia maju dan menaiki anak tangga ringan dan berakhir di dekat Davin. Fia masih menunduk, ia tak mau sedetikpun menatap pria itu. "Karena kamu terlambat, maka dari itu kamu pulang telat nanti. Ada lemburan buat kamu. Jam delapan, meeting akan diadakan di kantor. Dan kamu, kebagian sift malam sampai selesai."Seketika, Dia ternganga mendengar penuturan pria itu. Namun, ia tak bisa apa
Fia semakin mempercepat langkah kakinya. Sungguh, meski ia seorang gadis mandiri, tetapi jika dihadapkan dengan kegelapan begini, jantungnya tak bisa berdetak tenang. Kini, gadis itu berlari melawan arah kendaraan-kendaraan yang lewat. Suara hentakan kaki berlari dari arah belakang sana pun, semakin nyata. Dalam hatinya terus berteriak meminta pertolongan pada yang Kuasa. Sesaat, tubuh Fia terlempar karena batu sandungan yang tak ia lihat. Ia memeluk pavingan dan menahan sakit akibat terjatuh. Saat kedua matanya melihat ke belakang, benar saja ada seorang pria bertopi yang semakin mendekat. Keringat sebiji jagung pun mulai merembes melalui pori-porinya, Dia berteriak meminta tolong. Baru saja, pria berjaket dan topi hitam itu hendak menyentuh Fia, tiba-tiba datang seorang lelaki berbadan tegap menghempaskan tangan pria misterius. Mereka pun akhirnya beradu tinju. Saling serang dan saling memukul. Fia yang ketakutan, kini bersembunyi di dekat tong sampah. Ia memperhatikan dua lelak
PERGINYA ISTRIKULelaki berwajah tampan dengan kemeja setengah lipat itu menutup pintu mobilnya. Sampai di rumah, ia disambut hangat oleh Indri yang tampaknya tengah merindukannya. "Sayang, bagaimana kerjaan kantor? Kamu tampak lelah sekali. Oh, ya, Papa sudah menunggumu di ruang kerja. Setelah Maghrib, beliau menunggumu di sana.""Memangnya, Papa mau bicara penting, Ma? Davin capek banget." Ada rona letih yang terlihat di wajahnya. "Baiklah, Sayang. Mama akan bicarakan sama Papa kamu. Bagaimana kalau setelah makan malam? Sepertinya, beliau juga ingin segera membahasnya denganmu.""Insyaallah, Ma. Davin ke kamar dulu, ya?" Indri mengangguk. Membiarkan putra semata wayangnya pergi dari hadapan. Indri segera menemui suaminya yang sejak tadi sudah di dalam ruangan kerja. Terdapat jejeran buku-buku penting di dalam sana, Dave sedang menyentuh salah satu.Saat pintu terbuka, pria matang itu membalik badannya. Ia tersenyum manis pada sang istri. Indri pun segera mendekat."Pa, Davin sudah
Dave terkekeh. Pria berkaca mata itu menatap putranya dengan heran. Membuat dua orang di depannya bingung. Davin mengendikkan bahunya mengarah pada Indri yang masih diam. "Ada yang lucu, Pa?" tanya Davin."Heran Papa. Bisa-bisanya kamu berpikir hanya sekadar kenalan saja. Bagaimana jika dia nanti menaruh banyak harapan padamu? Kalau orang tua sudah mengenalkan putra-putri mereka, berarti kami berharap ada keseriusan di antara kalian."Davin menghela napas panjang. Lemas pundaknya mendengar penuturan Dave. "Davin rasa ... Davin masih belum mampu membimbing anak orang ke jalan yang benar, Pa."Dave kembali tertawa seraya menggeleng kepala . "Davin ... Davin." Dave berdiri lagi. Ia menepuk pundak putranya lalu keluar ruangan. "Davin, kamu ngerti maksud Papa kamu?" Kali ini, Indri yang bertanya. Melihat Davin yang terpaku menatap kosong, wanita itu mendadak ingin tertawa juga. Biar saja putranya itu mulai berpikir dewasa. Ia tak mungkin terus menerus menjadi jomlo. "Tau, ah, Ma. Davin
Gadis itu meremas jemarinya sendiri. Ia ingin sekali mencubit hidung lelaki yang tengah menopang kaki di hadapannya. Lelaki nomor satu di kantor itu tampak seperti mengejek. Fia menarik napasnya pelan-pelan. "Aa--."Baru saja membuka mulut, Fia kemudian dijejali lagi dengan ucapan Davin. "Apa susahnya tinggal terima? Gaji kamu akan naik dua kali lipat. Kamu juga akan dapat barang-barang mewah seperti tas, sepatu, gaun, ponsel, dan lain-lain."Fia masih menundukkan kepalanya. Demi sang Ibu yang kini belum juga sehat, ia terpaksa menerima tawaran Bosnya. "Ya, sudah, Pak. Saya terima.""Baru saya sebutin benda-benda itu, kamu langsung terima. Ternyata, mudah sekali buat menaklukkan wanita sepertimu."Seketika bola mata Fia membulat sempurna. Napasnya tampak naik turun karena mendengar ledekan pria sok berkuasa itu. "Bapak, jangan mempermainkan saya!" "Siapa yang mempermainkan kamu? Memang kenyataannya begitu, kan?" "Ya, tapi ...."Tangan Davin terangkat. Ia tak mau lagi mendengar apa
Mobil mewah berwarna hitam itu memasuki sebuah halaman bersih dan tampak hijau. Gapura putih nan tinggi dilewati dengan penjagaan dua satpam. Davin membuka pintu mobil dan membenahi kancing jasnya. Diikuti oleh seorang gadis yang sudah disulap bak bidadari jelita. Davin mengangkat lengannya. Bermaksud agar gadis itu memegang dan melangkah bersama. Namun, yang ada Fia hanya diam saja. Gadis itu masih memasang wajah kesal dan enggan. Karena merasa Fia masih belum juga mengerti aturan yang ia buat, akhirnya Davin memutar badannya dengan perlahan."Ingat perjanjian kita! Jangan coba macam-macam." Davin kembali menegakkan badannya dan melangkah bersama Fia. Sampai di dalam, rumah tampak sepi. Davin pikir, kedua orangtuanya sudah masuk ke dalam kamar. Namun, ini belum jam makan malam. Pria tegas dengan badan proposional itu meminta Fia untuk menunggu di ruang tamu. Gadis itu mengangguk dan duduk di sana. Sementara, Davin pergi mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya."Pa, Ma?" Suara ketuk
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k