PERGINYA ISTRIKULelaki berwajah tampan dengan kemeja setengah lipat itu menutup pintu mobilnya. Sampai di rumah, ia disambut hangat oleh Indri yang tampaknya tengah merindukannya. "Sayang, bagaimana kerjaan kantor? Kamu tampak lelah sekali. Oh, ya, Papa sudah menunggumu di ruang kerja. Setelah Maghrib, beliau menunggumu di sana.""Memangnya, Papa mau bicara penting, Ma? Davin capek banget." Ada rona letih yang terlihat di wajahnya. "Baiklah, Sayang. Mama akan bicarakan sama Papa kamu. Bagaimana kalau setelah makan malam? Sepertinya, beliau juga ingin segera membahasnya denganmu.""Insyaallah, Ma. Davin ke kamar dulu, ya?" Indri mengangguk. Membiarkan putra semata wayangnya pergi dari hadapan. Indri segera menemui suaminya yang sejak tadi sudah di dalam ruangan kerja. Terdapat jejeran buku-buku penting di dalam sana, Dave sedang menyentuh salah satu.Saat pintu terbuka, pria matang itu membalik badannya. Ia tersenyum manis pada sang istri. Indri pun segera mendekat."Pa, Davin sudah
Dave terkekeh. Pria berkaca mata itu menatap putranya dengan heran. Membuat dua orang di depannya bingung. Davin mengendikkan bahunya mengarah pada Indri yang masih diam. "Ada yang lucu, Pa?" tanya Davin."Heran Papa. Bisa-bisanya kamu berpikir hanya sekadar kenalan saja. Bagaimana jika dia nanti menaruh banyak harapan padamu? Kalau orang tua sudah mengenalkan putra-putri mereka, berarti kami berharap ada keseriusan di antara kalian."Davin menghela napas panjang. Lemas pundaknya mendengar penuturan Dave. "Davin rasa ... Davin masih belum mampu membimbing anak orang ke jalan yang benar, Pa."Dave kembali tertawa seraya menggeleng kepala . "Davin ... Davin." Dave berdiri lagi. Ia menepuk pundak putranya lalu keluar ruangan. "Davin, kamu ngerti maksud Papa kamu?" Kali ini, Indri yang bertanya. Melihat Davin yang terpaku menatap kosong, wanita itu mendadak ingin tertawa juga. Biar saja putranya itu mulai berpikir dewasa. Ia tak mungkin terus menerus menjadi jomlo. "Tau, ah, Ma. Davin
Gadis itu meremas jemarinya sendiri. Ia ingin sekali mencubit hidung lelaki yang tengah menopang kaki di hadapannya. Lelaki nomor satu di kantor itu tampak seperti mengejek. Fia menarik napasnya pelan-pelan. "Aa--."Baru saja membuka mulut, Fia kemudian dijejali lagi dengan ucapan Davin. "Apa susahnya tinggal terima? Gaji kamu akan naik dua kali lipat. Kamu juga akan dapat barang-barang mewah seperti tas, sepatu, gaun, ponsel, dan lain-lain."Fia masih menundukkan kepalanya. Demi sang Ibu yang kini belum juga sehat, ia terpaksa menerima tawaran Bosnya. "Ya, sudah, Pak. Saya terima.""Baru saya sebutin benda-benda itu, kamu langsung terima. Ternyata, mudah sekali buat menaklukkan wanita sepertimu."Seketika bola mata Fia membulat sempurna. Napasnya tampak naik turun karena mendengar ledekan pria sok berkuasa itu. "Bapak, jangan mempermainkan saya!" "Siapa yang mempermainkan kamu? Memang kenyataannya begitu, kan?" "Ya, tapi ...."Tangan Davin terangkat. Ia tak mau lagi mendengar apa
Mobil mewah berwarna hitam itu memasuki sebuah halaman bersih dan tampak hijau. Gapura putih nan tinggi dilewati dengan penjagaan dua satpam. Davin membuka pintu mobil dan membenahi kancing jasnya. Diikuti oleh seorang gadis yang sudah disulap bak bidadari jelita. Davin mengangkat lengannya. Bermaksud agar gadis itu memegang dan melangkah bersama. Namun, yang ada Fia hanya diam saja. Gadis itu masih memasang wajah kesal dan enggan. Karena merasa Fia masih belum juga mengerti aturan yang ia buat, akhirnya Davin memutar badannya dengan perlahan."Ingat perjanjian kita! Jangan coba macam-macam." Davin kembali menegakkan badannya dan melangkah bersama Fia. Sampai di dalam, rumah tampak sepi. Davin pikir, kedua orangtuanya sudah masuk ke dalam kamar. Namun, ini belum jam makan malam. Pria tegas dengan badan proposional itu meminta Fia untuk menunggu di ruang tamu. Gadis itu mengangguk dan duduk di sana. Sementara, Davin pergi mengetuk pintu kamar kedua orangtuanya."Pa, Ma?" Suara ketuk
"Pak, saya turun di sini saja." Davin segera menekan rem di kakinya. Ia sendiri yang mengantar gadis bergaun indah itu sampai di dekat gang masuk rumah Fia. "Rumah kamu bukannya masih di depan sana?" tanya Davin tanpa menoleh."Saya ingin bicara sebentar, Pak. Kenapa tadi Pak Davin berbohong? Rumah saya, kan, ada di pinggiran kali begini. Mana jelek lagi. Gimana nanti kalau ....""CK, enggak usah banyak bicara! Nanti saya yang kasih kamu rumah baru di dekat rumah Oma. Bilang sama Ibu kamu kalau besok kalian akan pindah. Kalian enggak perlu lagi ngontrak di tempat sempit itu.""Enggak, Pak. Saya tidak mau bergantung sama siapapun. Saya bisa, kok, kerja sendiri dan menghasilkan buat bayar kontrakan," bantah Fia dengan wajah menatap penuh pada Davin. "Kamu orangnya selain cerewet, keras kepala banget, ya? Di dalam perjanjian yang kamu tandatangani, pihak pertama bebas mau ngasih tempat tinggal atau tidak sama pihak kedua. Dan kamu harus mematuhinya. Jangan buat saya malu di depan kedu
Sampai di depan gang tempat Fia tinggal, Davin mencoba mencari gadis itu. Setelah bertanya pada salah seorang warga, akhirnya ia menjumpai juga sebuah rumah paling pojok dengan pintu warna coklat. Masih terlihat tertutup, tetapi ia yakin ada penghuninya di sana. Ada dua pasang sandal di lantai depan pintu. Davin pun bergegas mengetuk dan memberi salam. Ada yang membuka pintu dan itu gadis yang ia cari. "Eh." Fia terkejut. Ingin menutup pintu lagi tetapi Davin segera mencegah dengan tangan dan kakinya. "Biarkan aku masuk, Fia!"Terpaksa, Fia membuka pintu lebar-lebar. Ia bertanya, "Ada apa, Pak?" Davin masih menghela napas sambil melihat seisi rumah dengan kedua bola matanya. Ruangan sempit itu terdapat satu kamar saja. "Ayo, ke kantor. Kita bareng.""Maaf, Pak, makasih banyak. Tapi, saya sudah izin mau resign. Besok saya kemasi semua barang.""Perjanjian kita belum selesai. Kamu mau kabur?" Fia mendelik. Ia makin kesal saja dengan pria itu. "Siapa yang mau kabur? Orang Ibu saya l
"Bu, gimana rasanya? Apa kepalanya masih sakit?" tanya gadis itu saat Ibunya sudah tampak membuka mata. Semua alat kesehatan masih terhubung dengan tubuh wanita tua yang telah lanjut usianya. "Sudah mendingan. Kamu kenapa bawa Ibu ke sini, Fia? Pasti mahal nanti biayanya. Ibu mau pulang saja." Wanita tua itu hendak bangun, tetapi Davin segera mencegah."Ibu istirahat saja. Tidak perlu memikirkan biaya. Semua yang akan menanggung saya." Wanita tua itu mengerutkan keningnya. Menatap Davin dengan mata menyipit. Lalu, beralih pada putrinya yang tersenyum tipis. "Fia, siapa lelaki ini?" Sambil terbatuk-batuk, wanita tua itu menatap Fia lagi. "Beliau atasan Fia, Bu. Baik sekali, kan, orangnya?" Senyum manis sang gadis membuat Davin tak mampu menatap lama-lama. Sungguh, degup jantungnya sangat kencang dan bisa membuatnya gemetaran. "Terima kasih banyak, Pak. Apakah Fia kalau di kantor sering melakukan kesalahan? Tolong maafkan dia. Dia belum banyak pengalaman," terang wanita tua itu.
"Ini rumah kamu sama Ibu kamu sekarang. Jangan protes!" Davin segera menutup mulut Fia dengan telunjuknya. Mereka telah berdiri di depan rumah minimalis modern. Tak jauh dari tempat Davin tinggal. Entah ada maksud apa, lelaki itu sejak tadi menahan senyuman."Pak, saya enggak enak jadinya." Fia yang masih berdiri di dekat mobil, kini tertinggal Davin yang sudah lebih dulu melangkah ke depan dan membuka pintu.Fia menenteng banyak plastik berisi bahan makanan dan Davin memerintahkan untuk segera memasukkan ke dalam kulkas di dapur. Seharian itu, mereka sibuk berbenah sebelum Ibunya Fia keluar dari rumah sakit.Saat hendak membuka laci atas di dapur, tak sengaja tangan mereka bersamaan. Alhasil, tertumpuk dan terlihat seperti saling berpegangan. Wajah mereka saling terpaku dan menatap penuh arti. Jadi telunjuk Davin terulur, lalu ia letakkan pada kening Fia. Detik berikutnya, kening gadis itu didorong ke belakang. "Minggir!" Fia pun terkejut dan segera menyadarkan diri. Ada kedipan d