"Ini rumah kamu sama Ibu kamu sekarang. Jangan protes!" Davin segera menutup mulut Fia dengan telunjuknya. Mereka telah berdiri di depan rumah minimalis modern. Tak jauh dari tempat Davin tinggal. Entah ada maksud apa, lelaki itu sejak tadi menahan senyuman."Pak, saya enggak enak jadinya." Fia yang masih berdiri di dekat mobil, kini tertinggal Davin yang sudah lebih dulu melangkah ke depan dan membuka pintu.Fia menenteng banyak plastik berisi bahan makanan dan Davin memerintahkan untuk segera memasukkan ke dalam kulkas di dapur. Seharian itu, mereka sibuk berbenah sebelum Ibunya Fia keluar dari rumah sakit.Saat hendak membuka laci atas di dapur, tak sengaja tangan mereka bersamaan. Alhasil, tertumpuk dan terlihat seperti saling berpegangan. Wajah mereka saling terpaku dan menatap penuh arti. Jadi telunjuk Davin terulur, lalu ia letakkan pada kening Fia. Detik berikutnya, kening gadis itu didorong ke belakang. "Minggir!" Fia pun terkejut dan segera menyadarkan diri. Ada kedipan d
"Davin, benar kamu serius dengan gadis itu? Mama mau, dong, ketemu sama keluarganya. Iya, kan, Pa?" Indri meminta persetujuan Dave saat mereka bertiga berkumpul di meja makan."Iya," jawab Dave singkat. Lantas melanjutkan makannya. Davin agak kebingungan. Ia masih mencari jawaban dan rencana ke depan. "Davin, Sayang, kamu dengar Mama?" Indri menyentuh tangan putranya. Davin yang merasa ada sentuhan lembut itupun lantas tersadar dari lamunan. Ia mengulas senyum tipis dan membalas, "Iya, Ma. Nanti Davin aja Mama ke sana." Bahkan kedua orangtua lelaki itu tak tahu kalau dirinya telah memberikan sebuah tempat tinggal pada Fia dan Ibunya.Davin telah menyelesaikan sarapannya, ia berpamitan pada mereka untuk ke kantor. Namun, saat sampai di depan pintu. Indri kembali memanggil putra kesayangannya. "Sayang, tunggu!" Davin membalik badannya lagi. "Davin, siang ini Mama tidak ada jadwal keluar. Papa juga ke kantor. Bagaimana kalau kamu jemput Mama atau kita janjian buat ke rumah gadis it
Setelah merek sampai di dekat Indri, Ibunya Fia juga tampak terkejut. Dua wanita tua itu sama-sama saling kenal. Sekian lama tak berjumpa, tak membuat mereka saling melupakan kejadian yang pernah terlewat."Fitria?" lirih Indri. Tatapannya masih lekat pada sosok lemah yang kini telah berubah rata. Wanita tua yang tangannya digandeng oleh Fia itu tetap bungkam. Ia menahan sakit yang dahulu ia rasakan selama di penjara. Dalam kegamangan itu, ia tampak masih memendam rasa yang tak mungkin bisa dihaluskan."Apakah, kalian saling kenal?" celetuk Davin. Ia membalas tatapan Fia yang juga sepertinya tak tahu apa-apa."Bu, ayo, kita duduk dulu," ajak Fia pada Ibunya. Akan tetapi, wanita tua itu tidak mau. Dia membalik badan dengan perlahan dan meninggalkan mereka semua."Sebenarnya ada apa ini, Ma?" Davin mulai tak sabar. Apalagi saat dia melihat Mamanya juga membalik badan dengan cepat dan keluar dari rumah itu. Indri memendam rasa yang tak biasa dalam dadanya. Sesaak terasa mengimpit dan m
"Davin, kamu harus ambil keputusan, Nak. Lepaskan dia, please, Mama mohon." Indri menatap sendu pada putra semata wayangnya. Sementara, Davin hanya menunduk saja. "Benar, Davin. Ikuti apa kata Mama kamu. Jangan lanjutkan hubungan dengan anak wanita itu. Nyawa kami semua taruhannya sebelum kamu ada di dunia ini." Dave menghela napas panjang. Duduk sambil menggenggam tangan sang istri yang terasa dingin. "Tapi, Ma, Pa ... itu, kan, Ibunya. Bukan Fia yang melakukan pada kalian dan semua itu masa lalu. Bisa saja Bu Fitria sudah taubat dan berubah." Davin tetap bersikeras. "Pokoknya, Davin, kamu harus putuskan dia. Kalau tidak, biar Mama saja yang temui gadis itu secara baik-baik. Masih banyak gadis lain yang jauh lebih baik. Kita tidak mau mengambil resiko, Sayang." Kali ini, Indri mendekati Davin dan mengelus pundak kekarnya. Davin berdiri sembari membuang rasa kecewa dalam hatinya. Lewat aliran napas yang begitu berat, ia meminta izin untuk memikirkan langkah selanjutnya. Jujur, tat
Davin dengan langkah panjangnya menuju ke rumah. Ia melewati kedua orangtuanya di ruang tamu tanpa menoleh sama sekali. Kakinya menghentak bumi dengan keras. Lalu, pintu kamar tertutup dengan kencang. Indir menatap suaminya. Sebagai orangtua, mereka juga pernah muda dan merasakan apa yang putranya rasakan. "Menurut kamu gimana?" Dave menyentuh tangan istrinya. "Maafkan aku. Aku terlalu trauma untuk menerima gadis itu sebagai menantu. Bagaimanapun juga, Anda pernah menjadi korban kekejaman mereka. Bahkan sekarang, kudengar dari teman kalau Mas Rasya sudah keluar dari penjara. Aku makin tak bisa tenang.""Sayang, jangan pikirkan hal-hal yang buruk. Tatap mata aku." Dave membingkai wajah istrinya. "Tidak akan terjadi apapun, oke?" Indri mengangguk."Apapun keputusan kamu, aku setuju. Pelan-pelan saja nasihatin Davin. Apalagi, dia seorang pria yang punya prinsip. Aku akan coba bicara sama dia nanti.""Makasih, Pa." Mentari menyinari dari ufuk timur, sorot mata tajam tengah menatap te
"Kita mau ke mana, sih?" Pria dengan setelan kemeja dan jas rapi itu tangannya digenggam oleh sang Mama. Indri dan Dave mengajaknya putranya itu memasuki mobil. Mereka pergi ke rumah seorang teman lama yang kini terbaring sakit. Sesampainya di depan sebuah rumah sederhana dengan nuansa setengah kayu, mereka turun dari mobil. Davin masih memerhatikan keadaan sekitar rumah itu. Rumah joglo di tengah pemukiman asri, jauh dari keramaian kota. "Di mana ini, Pa?" Davin masih mendongak. "Udah, masuk aja dulu. Ini kawasan pesantren." Dave mendahului mereka. Ia mengucapkan salam tepat di depan pintu.Tak lama setelah itu, seorang wanita dengan usia di atas Indri membuka pintu. Senyum hangat tak lepas dari bibirnya. Ada balutan gamis panjang dan mukena yang belum sempat dilepas. "Wa'alaykumsalam, eh, ada tamu besar datang. Silakan masuk, Tuan." Wanita tua itu membuka pintu lembar-lembar."Terima kasih, Nyai." Dave mengajak anak dan istrinya masuk. Mereka duduk di atas kursi kayu yang mengkil
"Naila, sekarang kamu adalah menantu kami. Jangan sungkan di sini. Anggap saja ini juga rumah kamu," ucap Indri sembari mengelus pundak gadis lugu dengan wajah ayu saat mereka baru saja memasuki rumah."Terima kasih banyak, Ma." Gadis itu membalas senyuman manis mertuanya. Namun, ia sudah tertinggal lebih dulu oleh Davin. "Naiaklah ke atas. Davin pasti sudah menunggumu." Indri tersenyum lagi. "Tapi, Ma, bagaimana kalau ....""Sudahlah, Naila. Kamu tidak perlu khawatir. Davin memang seperti itu dengan orang baru. Buat dia kembali lembut."Naila menunduk. Ada perasaan ragu dalam hatinya. Mungkinkah ia bisa membuat Davin luluh padanya. Sementara, sejak tadi hanya wajah ketus yang tercipta. Naila perlahan menaiki anak tangga. Sampai di atas, ia mengetuk pintu kamar. Karena tak segera dibuka, akhirnya ia sendiri yang langsung masuk. Ada sosok yang tadi telah mengucapkan janji suci tengah duduk di depan meja kerja. "Mas, apakah aku boleh masuk?" Wajah memelas Naila membuat Davin muak. I
PERGINYA ISTRIKU Naila masih menyusun laju napasnya. Ia takut saat melihat sorot mata pria gagah yang kini hanya mengenakan kaus santai setipis kertas. Ada sesuatu yang terasa menempel di tangan Naila. "Apa maksud kamu menyelimuti aku segala? Kamu kira aku bakalan luluh begitu aja setelah kamu berpura-pura baik dan perhatian?" "Enggak, Mas. Saya enggak ada maksud apa-apa. Sebagai istri, saya hanya bersikap baik pada suami. Menyiapkan sarapan dan lain sebagainya." Naila menjawab pertanyaan Davin dengan kening terlipat. Ia benar-benar tak berani menjawab lebih."Aku enggak suka kamu terlalu mencari perhatian di rumah ini. Terlebih padaku. Tidak usah repot-repot menyiapkan bekal dan menyelimutiku lagi. Aku muak dengan perjodohan ini. Asal kamu tau saja, aku sudah punya kekasih!"Bagai petir bagi Naila mendengar Davin bicara kasar dan menekan sebuah hubungan di antara dia dan seseorang. Patah hati pertamanya kian dimulai. Gadis itu menahan perih dalam hati. Ia terduduk lemah di tepi ra