PERGINYA ISTRIKU Naila masih menyusun laju napasnya. Ia takut saat melihat sorot mata pria gagah yang kini hanya mengenakan kaus santai setipis kertas. Ada sesuatu yang terasa menempel di tangan Naila. "Apa maksud kamu menyelimuti aku segala? Kamu kira aku bakalan luluh begitu aja setelah kamu berpura-pura baik dan perhatian?" "Enggak, Mas. Saya enggak ada maksud apa-apa. Sebagai istri, saya hanya bersikap baik pada suami. Menyiapkan sarapan dan lain sebagainya." Naila menjawab pertanyaan Davin dengan kening terlipat. Ia benar-benar tak berani menjawab lebih."Aku enggak suka kamu terlalu mencari perhatian di rumah ini. Terlebih padaku. Tidak usah repot-repot menyiapkan bekal dan menyelimutiku lagi. Aku muak dengan perjodohan ini. Asal kamu tau saja, aku sudah punya kekasih!"Bagai petir bagi Naila mendengar Davin bicara kasar dan menekan sebuah hubungan di antara dia dan seseorang. Patah hati pertamanya kian dimulai. Gadis itu menahan perih dalam hati. Ia terduduk lemah di tepi ra
Davin makan menarik tangan Naila. Mereka terlihat seperti pasangan sungguhan. Saat mobil yang membawa Fia itu berhenti, sang gadis di dalam sana keluar dan menatap dua orang di depan sana. Ada rasa kecewa, tetapi Fia tak bisa berbuat apa-apa.Kini, Fia sudah hidup lebih enak karena Ibunya dinikahi oleh seorang pengusaha. Fia terlihat sangat cantik dengan rambut bergelombang. Ia juga bekerja di perusahaan tempat ayah tirinya.Davin kembali membawa Naila masuk ke rumah. Mereka melewati Dave yang sudah siap akan ke kantor. Lelaki muda itu tak menoleh pada orangtuanya yang tampak heran menatap sang putra. "Sayang, kenapa Davin itu? Kenapa mendadak romantis begitu sama Naila?" Dave menyungging senyuman."Enggak tau. Jangan-jangan, Davin udah mulai suka sama Naila. Mereka serasi, ya, Pa?" Indri membantu suaminya itu berbenah diri. Membawakan tas kerjanya hingga ke luar dan memasuki mobil. *"Aku enggak mau kamu keluar-keluar tanpa izin dulu!" Davin segera menutup pintu kamar dan memangkas
PERGINYA ISTRIKU 66"Kenapa? Apakah kamu tersinggung?" Davin menatap wajah Fia hingga memiringkan kepalanya."Tidak. Tidak apa-apa. Cuman kaget saja." Fia lantas mengaduk makanan yang sejak tadi didiamkan. "Kamu tenang saja. Aku tidak mencintainya. Oh, ya, ini sapu tangan kamu." Davin menyerahkan selembar kain putih."Oh, ada di kamu? Makasih, ya? Aku mencarinya ke mana-mana."Davin tersenyum. Mereka kembali berpisah setelah beberapa saat bersama. Namun, setelah wanita itu pergi, di seberang sana, Davin melihat tatapan penuh amarah dari seorang lelaki yang sangat ia segani. Lelaki berjambang di sana lantas masuk ke dalam mobil. Menghilang setelah laju mobil terus menjauh. Davin sengaja pulang lebih awal karena ia harus menyiapkan berkas untuk besok. Di kamar, dia sibuk menata setiap lembar hingga sebuah sengholan dari lengan membuat beberapa berkasnya terjatuh berceceran. Kilat mengetuk jendela, tiba-tiba guntur menggelegar. Sentuhan lembut merayap mengumpulkan semua kertas-kertas
"Eh, Ma." Davin langsung menutup laptopnya. Ia berdiri dengan segera karena merasa sesuatu akan terjadi. "Boleh enggak, Mama, bicara sebentar sama kamu?" Indri telah sampai di dekat putranya. Ia menghela napas berat dan mata sedikit mengantuk sebenarnya. "Tentu boleh lah, Ma. Enggak perlu izin segala. Memangnya ada apa, Ma?" Davin mengajak Mamanya untuk duduk di tepi ranjang yang telah bersih dan rapi. Aroma wangi membuat raga ingin segera tergeletak di sana."Jujur saja sama Mama, Vin. Siang tadi kamu ketemu sama gadis itu? Kamu makan berdua?" Indri bertanya dengan nada datar. Membuat Davin tak berkutik sama sekali. "Jawab, Mama, Vin!" Indri kembali menekan ucapannya. Baginya, anak lelaki harus bertanggung jawab atas apa yang sudah ia setujui. "Saat Mama tanya sore itu, kamu mengiyakan saja. Perjodohan antara kamu dan Nayla sudah pernah Mama bahas. Sekarang Mama tidak mau lagi mendengar kabar itu terulang lagi. Atau terlihat oleh mata siapapun. Jaga hati istri kamu kalah kamu tida
PERGINYA ISTRIKUDavin mencegah tangan Nayla yang hendak menarik resleting kopernya. Sorot matanya mampu menembus relung terdalam sana. Namun, Nayla tak peduli dan terus menarik resleting hingga sempurna menutup. "Saya tidak diinginkan di sini, Mas. Saya akan katakan pada semua orang kalau keputusan ini memang saya sendiri yang ambil. Saya sendiri yang menginginkannya." Nayla mengangguk dengan wajah biasa. Namun, Davin tetap tidak mengizinkannya. "Kasih aku waktu untuk bicara sama mereka. Bahwa sebenarnya kita tidak menginginkan pernikahan ini. Tidak ada kecocokan di antara kita. Setelah itu, terserah kamu saja.""Berapa lama, Mas? Jangan sampai ada pihak yang dirugikan atas pernikahan ini.""Satu bulan. Bulan depan kau boleh pulang. Aku tidak akan mencegahmu lagi."Nayla mengangguk. "Maaf, sejatinya pernikahan yang diridhoi Allah itu adalah pernikahan tanpa kedekatan dua insan sebelumnya. Mereka tak pernah bertemu tetapi tetap bersatu dan menerima satu sama lain. Meski cinta itu be
Dua anak manusia di dalam sana sama-sama menoleh. Mereka segera memberi jarak karen sebelumnya sedekat itu. Davin pun sempat memerhatikan wajah gadis itu dengan lekat. Namun, terlalu naif mengakui segala kelebihan Nayla. Nayla bangkit dan segera membuk pintu. Ia tersenyum pada mertunya. "Mas Davin tadi sempat terjatuh di bawah, Pa, Ma. Jadi, kakinya terkilir. Nayla sudah urut barusan.""Kamu bisa urut? Bagus, deh, kalau begitu. Enggak perlu ke rumah sakit atau tukang urut." Dave mencoba masuk lebih dulu. Ia. Langsung melihat kaki putranya yang sudah terbalut perban elastis. "Papa memang enggak kasihan sama Davin. Kenapa malah seneng kalau diurut sama dia? Di memangnya punya sertifikat? Gimana kalau kaki Davin malah semakin bengkak?"Dave tertawa lepas. Ia menepuk atas kasur dengan ringan. Sementara dua wanita di depan pintu mendekati mereka."Buat apa ke rumah sakit? Nayla udah jago urut sepertinya. Oh, ya, Mama sendiri yang lihat di kamarnya banyak piagam dan sertifikat. Iya, kan,
PERGINYA ISTRIKU 68Ada debaran lain yang kemudian menyusup ke dalam hati keduanya. Mereka terpaksa diam dan memendam perasaan itu. Saat sampai di depan kamar mandi, Davin masuk sendiri dengan memegang dinding. Tak lupa ia berpesan pada Nayla agar menunggunya di luar. Nayla mengambilkan pakaian ganti juga dan handuk sekalian. "Mas Davin, pakaiannya ini taruh mana?" Masih terdengar guyuran air dari dalam sana. Davin menjawab, "Masuk aja, deh. Aku tutup, kok, pintu bathtub-nya."Nayla mengangguk. Dengan sangat pelan, gadis itu masuk. Ia segera meletakkan perlengkapan pria itu di atas meja berbahan marmer dengan pantulan kaca pada dindingnya. Saat hendak keluar, Davin memanggilnya lagi. "Nay, udah?" Kedua bola mata Nayla membulat sempurna. Maksud hati ingin segera keluar, tetapi mata tiba-tiba melirik ke samping. Ada pintu kaca blur yang terlihat remang-remang tubuh tinggi tegap Davin memunggungi tanpa balutan. Nayla menelan ludah susah payah. Terasa tercekat pada tenggorokannya. Hi
"Loh, Nay. Ngapain sendirian di situ?" Indri muncul dengan tiba-tiba. Ia sudah berdiri di belakang sana lebih dari dua menit. Memerhatikan gerak-gerik sang menantu yang terkesan memendam sesuatu. Indri melanjutkan langkahnya dan duduk di sebelah Nayla. "Ma." Nayla memaksa bibirnya tersenyum. Ia kembali menatap kekosongan. "Ma, boleh tidak kalau Nay pulang ke pesantren? Di sana, mungkin Nay bisa kembali aktivitas membantu warga dan anak-anak santri.""Nay, Sayang, apa kamu tidak betah tinggal di sini? Kamu enggak mau bantu kami buat menyadarkan Davin? Kami tau, kalau Davin masih belum bisa melupakan gadis itu. Tapi, kami juga sangat membutuhkan bantuan kamu. Bagaimanapun, dia suami kamu. Buat dia jatuh cinta padamu.""Bagaimana Nay bisa, Ma? Mereka sekarang ada di kamar.""Apa?"Indri begitu terkejut saat mendengar ucapan menantunya. Ia segera berdiri dan pergi dari hadapan Nayla untuk menemui putranya di kamar. Berjalan dengan dada naik turun, Indri geram dengan perasaan menggebu.
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k