Dua anak manusia di dalam sana sama-sama menoleh. Mereka segera memberi jarak karen sebelumnya sedekat itu. Davin pun sempat memerhatikan wajah gadis itu dengan lekat. Namun, terlalu naif mengakui segala kelebihan Nayla. Nayla bangkit dan segera membuk pintu. Ia tersenyum pada mertunya. "Mas Davin tadi sempat terjatuh di bawah, Pa, Ma. Jadi, kakinya terkilir. Nayla sudah urut barusan.""Kamu bisa urut? Bagus, deh, kalau begitu. Enggak perlu ke rumah sakit atau tukang urut." Dave mencoba masuk lebih dulu. Ia. Langsung melihat kaki putranya yang sudah terbalut perban elastis. "Papa memang enggak kasihan sama Davin. Kenapa malah seneng kalau diurut sama dia? Di memangnya punya sertifikat? Gimana kalau kaki Davin malah semakin bengkak?"Dave tertawa lepas. Ia menepuk atas kasur dengan ringan. Sementara dua wanita di depan pintu mendekati mereka."Buat apa ke rumah sakit? Nayla udah jago urut sepertinya. Oh, ya, Mama sendiri yang lihat di kamarnya banyak piagam dan sertifikat. Iya, kan,
PERGINYA ISTRIKU 68Ada debaran lain yang kemudian menyusup ke dalam hati keduanya. Mereka terpaksa diam dan memendam perasaan itu. Saat sampai di depan kamar mandi, Davin masuk sendiri dengan memegang dinding. Tak lupa ia berpesan pada Nayla agar menunggunya di luar. Nayla mengambilkan pakaian ganti juga dan handuk sekalian. "Mas Davin, pakaiannya ini taruh mana?" Masih terdengar guyuran air dari dalam sana. Davin menjawab, "Masuk aja, deh. Aku tutup, kok, pintu bathtub-nya."Nayla mengangguk. Dengan sangat pelan, gadis itu masuk. Ia segera meletakkan perlengkapan pria itu di atas meja berbahan marmer dengan pantulan kaca pada dindingnya. Saat hendak keluar, Davin memanggilnya lagi. "Nay, udah?" Kedua bola mata Nayla membulat sempurna. Maksud hati ingin segera keluar, tetapi mata tiba-tiba melirik ke samping. Ada pintu kaca blur yang terlihat remang-remang tubuh tinggi tegap Davin memunggungi tanpa balutan. Nayla menelan ludah susah payah. Terasa tercekat pada tenggorokannya. Hi
"Loh, Nay. Ngapain sendirian di situ?" Indri muncul dengan tiba-tiba. Ia sudah berdiri di belakang sana lebih dari dua menit. Memerhatikan gerak-gerik sang menantu yang terkesan memendam sesuatu. Indri melanjutkan langkahnya dan duduk di sebelah Nayla. "Ma." Nayla memaksa bibirnya tersenyum. Ia kembali menatap kekosongan. "Ma, boleh tidak kalau Nay pulang ke pesantren? Di sana, mungkin Nay bisa kembali aktivitas membantu warga dan anak-anak santri.""Nay, Sayang, apa kamu tidak betah tinggal di sini? Kamu enggak mau bantu kami buat menyadarkan Davin? Kami tau, kalau Davin masih belum bisa melupakan gadis itu. Tapi, kami juga sangat membutuhkan bantuan kamu. Bagaimanapun, dia suami kamu. Buat dia jatuh cinta padamu.""Bagaimana Nay bisa, Ma? Mereka sekarang ada di kamar.""Apa?"Indri begitu terkejut saat mendengar ucapan menantunya. Ia segera berdiri dan pergi dari hadapan Nayla untuk menemui putranya di kamar. Berjalan dengan dada naik turun, Indri geram dengan perasaan menggebu.
"Mama?" Bola mata Davin membulat. Lelaki bertubuh atletis itu sudah siap dengan hantaman kecerewetan Mamanya. "Jadi begini, kelakuan kamu sama istri kamu? Oke, besok pagi temui Mama di kamar. Ada hal penting yang ingin Mama sampaikan pada kamu. Ingat, Vin ... siapkan mental kamu untuk mendengar ultimatum dari Mama dan Papa!" "Ma, ini tidak seperti yang Mama lihat. Davin cuman ....""Mama tidak mau dengar lagi, Vin. Mama udah capek. Mama akan ambil tindakan, Davin."Indri beralih pada menantunya yang terdiam tak berani mendongak sama sekali. Ia tahu, perbuatannya itu salah. Namun, ia juga tak tahan harus sekamar dengan lelaki yang hatinya terisi oleh wanita lain. "Nayla, kembali ke kamar suamimu. Mama harap, kalian berdua besok bisa menyelesaikan perkara ini."Indri membalik badan dan keluar dari kamar itu. Sementara Davin yang hendak melangkah dengan kaki pincang sebelah tiba-tiba hampir terjatuh. Sontak, tangan Nayla refleks menangkap tubuh pria itu. Davin pun melakukan hal yang
Malam itu, keduanya sama-sama terdiam. Saling memunggungi satu sama lain. Bagi Nayla, dirinya tidak akan pernah mendapat kesempatan mencintai Davin. Untuk apa harus berjuang. Apalagi, saat teringat tatapan Davin pada wanita bernama Fia. Sungguh, menyayat hati.Lain halnya dengan Davin. Lelaki dengan jambang tipis dan lengan berotot itu memikirkan hari esok. Hal apa yang akan disampaikan oleh Mamanya. Ia sangat khawatir sampai tak bisa menikmati tidur malam ini. Takdir menggariskan mereka berdua. Saat Nayla membalik badan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, begitu pula dengan Davin. Mereka sama-sama terkejut. Namun, saat Nayla hendak kembali memiringkan tubuh lagi, tangan Davin mencegah. "Tunggu! Sepertinya kita harus bicara."Nayla menarik napas dalam-dalam. "Bicara apa, Mas? Tinggal menghitung hari Mas Davin melepaskan, bukan? Tenang saja, Mas. Aku tidak lupa.""Bukan itu." "Lantas?" Sejenak, Davin hanya ingin mengajak Nayla mengobrol saja. Bukan berdebar atau beradu arg
"Em. Enggak apa-apa, Ma. Nayla ini cuman sungkan aja. Enggak udah didengar omongannya." Davin kembali menurunkan tangannya. "Kalau sampai kamu masih bertemu lagi dengan gadis itu, maaf Davin, sebagian harta ini tidak bisa menjadi milik kamu.""Maksud, Mama?" Pemuda itu mendelik. Memastikan lagi bahwa apa yang ia dengar tidak salah. "Kamu harus kasih kami cucu. Yah, itu menurut Mama gampang. Kalian tidak boleh berpisah. Pernikahan bukan buat mainan. Jadi, apa saja alasan kalian untuk berpisah, maaf Mama tidak bisa mengabulkan.""Ma, tapi saya juga tidak bisa hidup dengan lelaki yang mencintai wanita lain." Akhirnya, Nayla membuka suara. Ia sudah terlampau menahan rasa sakitnya. "Saya bukan wanita yang diinginkan Mas Davin. Buat apa ini semua dilanjutkan, Ma? Bukan begitu, Mas Davin?" Kedua mata Nayla merah. Ada garis-garis yang memenuhi warna aputih dalam kelopak matanya. Wajah Nayla kini tertunduk tak berani menatap sang mertua yang masih tercengang atas kalimat yang keluar dari mu
Redup senja menuai sinar jingga yang sangat indah. Dari samping rumah dengan tanaman berbagai bunga dan daun hias, Nayla menatap ke arah barat. Berdiri dengan kegamangan."Abah, Nyai. Nayla ingin hidup sederhana saja. Nay ingin kembali bersama kalian. Bersama anak-anak pesantren dan berbaur dengan masyarakat di sana," gumamnya sendiri. Gadis itu tak tahu kalau ada yang berdiri di belakangnya mendengar semua beban yang baru saja ia keluarkan. "Tiga hari lagi memasuki bulan baru, aku harus mempersiapkan diri. Aku tak peduli dengan kabar buruk yang akan menimpaku. Gadis yang sudah menikah dan bercerai dalam waktu singkat pasti rugi. Rugi segalanya, setelah mendapat hinaan itu, aku tetap tak akan patah semangat. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri sampai ada yang datang sebagai yang tulus menerima segala kekurangan."Nayla menghirup udara sore itu dengan mata terpejam. Ia benar-benar tak mengindahkan keadaan di sampingnya. Rupanya, mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Na
Setelah melewati pertimbangan yang panjang, akhirnya Davin dan Nayla berpamitan pada Indri dan Dave. Pagi itu, mereka membawa koper besar dan barang-barang untuk pindahan. Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Nayla tidak pernah lagi membuka bicara. Ia mengikuti apa kata Davin untuk waktu yang tinggal dua hari lagi.Mobil membelok melewati pagar besi dengan halaman hijau berumput. Mereka membuka pintu mobil dan mengeluarkan barang-barang dibantu oleh sopir. Sekilas, Davin sudah merasa sejak dari rumah tadi bahwa Nayla sedang tidak baik-baik saja. Namun, lelaki itu tidak peduli. Mereka masuk ke dalam. Davin langsung masuk ke dalam kamar utama untuk membawa kopernya, sementara Nayla masih menatap sekeliling rumah itu. Rumah yang tampak nyaman dalam batinnya jika dilihat dari sudut pandang tanpa Davin di dalamnya. Nayla menggeret kopernya lagi menuju kamar di mana Davin masuk tadi. Akan tetapi, setelah sampai di depan pintu kamar yang terbuka, ia mengurungkan niatnya. Langkah mundur kem