Redup senja menuai sinar jingga yang sangat indah. Dari samping rumah dengan tanaman berbagai bunga dan daun hias, Nayla menatap ke arah barat. Berdiri dengan kegamangan."Abah, Nyai. Nayla ingin hidup sederhana saja. Nay ingin kembali bersama kalian. Bersama anak-anak pesantren dan berbaur dengan masyarakat di sana," gumamnya sendiri. Gadis itu tak tahu kalau ada yang berdiri di belakangnya mendengar semua beban yang baru saja ia keluarkan. "Tiga hari lagi memasuki bulan baru, aku harus mempersiapkan diri. Aku tak peduli dengan kabar buruk yang akan menimpaku. Gadis yang sudah menikah dan bercerai dalam waktu singkat pasti rugi. Rugi segalanya, setelah mendapat hinaan itu, aku tetap tak akan patah semangat. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri sampai ada yang datang sebagai yang tulus menerima segala kekurangan."Nayla menghirup udara sore itu dengan mata terpejam. Ia benar-benar tak mengindahkan keadaan di sampingnya. Rupanya, mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Na
Setelah melewati pertimbangan yang panjang, akhirnya Davin dan Nayla berpamitan pada Indri dan Dave. Pagi itu, mereka membawa koper besar dan barang-barang untuk pindahan. Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Nayla tidak pernah lagi membuka bicara. Ia mengikuti apa kata Davin untuk waktu yang tinggal dua hari lagi.Mobil membelok melewati pagar besi dengan halaman hijau berumput. Mereka membuka pintu mobil dan mengeluarkan barang-barang dibantu oleh sopir. Sekilas, Davin sudah merasa sejak dari rumah tadi bahwa Nayla sedang tidak baik-baik saja. Namun, lelaki itu tidak peduli. Mereka masuk ke dalam. Davin langsung masuk ke dalam kamar utama untuk membawa kopernya, sementara Nayla masih menatap sekeliling rumah itu. Rumah yang tampak nyaman dalam batinnya jika dilihat dari sudut pandang tanpa Davin di dalamnya. Nayla menggeret kopernya lagi menuju kamar di mana Davin masuk tadi. Akan tetapi, setelah sampai di depan pintu kamar yang terbuka, ia mengurungkan niatnya. Langkah mundur kem
Gadis itu langsung berpaling dan menyembunyikan matanya. Melihat hal itu, Davin tertarik untuk menggodanya. Pria bertubuh atletis dengan dada dipenuhi oleh rambut itu menekan pinggang Nayla. Sehingga sang gadis pun terlonjak dan menjauh seketika. "Mas Davin!" Kedua mata Nayla melotot. Sementara Davin tertawa karena melihat tingkah Nayla yang menggemaskan menurutnya. Davin kembali mendekat dan tak henti-hentinya menggoda Nayla. Mereka tak sadar keadaan telah membuat keduanya semakin dekat. "Mas Davin, sudah!" teriak Nayla dan mengatupkan kedua tangan sebagai tanda permohonan."Udah apa? Belum juga dimulai, enggak jelas kamu, Nay." Davin kembali menggelitik pinggan gadis itu sehingga mereka berdua terjatuh di atas tempat tidur. Ada napas yang tersengal-sengal yang keluar dari mulut mereka. Akibat kelelahan bercanda dengan Davin, Nayla tak kuasa menahan kantuknya. Ia terpejam dan tertidur pulas. Saat Davin menoleh, ia tersenyum melihat Nayla dengan wajah polos. Semakin lama, pemuda i
"Kalau kamu mau pulang, biar aku antar. Tunggu bentar, ya!"Nayla terpaksa berhenti di depan lift. Menatap Davin yang berlari ke dalam ruangannya lagi. Pria itu melewati Fia yang tergugu manatapnya melangkah cepat-cepat. Setelah mendapatkan kunci mobil, Davin menarik tangan Nayla dan mengajaknya turun ke lantai dasar. Nayla merasa sikap Davin sedikit berbeda. Dalam hati bertanya-tanya, apakah itu karena sebentar lagi mereka akan berpisah?Tak hanya itu, Nayla kembali dikejutkan saat Davin membukakan pintu mobil untuknya. Dengan ragu, gadis itu memasukinya. Davin segera menyakan mesin mobil. Mobil pun kembali memenuhi jalanan yang ramai. Pria itu membawa Nayla ke sebuah mall dan setelah sampai di sana. Mereka masuk bersama. Nayla bertanya tentang tujuan, tetapi Davin tetap mengajaknya melangkah lebih panjang.Mereka sampai di sebuah kedai dan Davin segera memesan dua gelas minuman. Tak lupa bekal makan siang yang tadi dibawakan Nayla, kini ia buka. "Nay, ayo makan!" Davin mulai meny
***Malam itu, suasana canggung mendadak merubah segalanya. Nayla terkejut saat ia terbangun. Semua tampak gelap. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Pria yang wajahnya terlihat lewat semburat kilatan putih yang menembus jendela kaca itu terlihat membuka pakaiannya. Nayla mendengar bisikan manis yang keluar dari mulut Davin. "Kamu istriku."Nayla terdiam seketika saat lelaki itu semakin mendekat. Malam itu, adalah malam berharga yang membuat hatinya bimbang. Setelah lelaki itu tuntas memberikan nafkah batin pada istrinya, Davin bagai ikan yang baru saja keluar dari air tawar. Menggelepar dan terpejam rapat kedua matanya. "Mas Davin ...." lirih Nayla seraya sibuk menutup dirinya dengan selimut. Davin tak menyahut karena ia sudah terbang ke alam mimpi. Nayla memutuskan untuk ke kamar mandi setelah itu. Lepas dari sana, ia kembali memunguti pakaiannya yang sempat terhempas di lantai. Nayla kembali ke atas tempat tidur dan merebahkan dirinya di sebelah Davin hingga menjelang pagi. S
"Fia!" Sebuah teriakan membuat kedua wanita itu menoleh cepat. Namun, sebelah pipi Nayla sudah terlanjur panas dan merah. Ada aliran bening yang membasahinya. Davin yang ternyata kembali lagi untuk mengambil barang yang ketinggalan pun lantas menghampiri mereka. Ia menarik pinggang Nayla dan bertanya, "Kamu enggak apa-apa, Nay?" Pipi mulus itu kini dalam sentuhan jemari kokoh. "Sakit," lirih Nayla seraya terus memegangi pipinya. Davin beralih pada gadis yang kini terlihat ketakutan. Wajah Fia berubah pucat dan bibir bergetar akibat dari perbuatannya yang terekam oleh kedua mata Davin. Pria berwajah tegas itu lantas menaikkan nada bicaranya. "Aku tidak mau sekali lagi kau berbuat kasar dengan Nayla, Fi! Dia ini istriku. Kenapa kamu menamparnya, hah!"Kedua lutut Fia bergetar. Terasa seperti patah hati yang kedua kali. Kali ini, dari mulut Davin sendiri yang membuatnya patah. Air matanya mulai menganak sungai. Gadis itu tak tahan lagi lalu pergi memasuki mobilnya lagi. "Nay, kita ma
Jam tangan di sebelah kiri menunjuk pukul dua siang, lelaki itu setelah menghabiskan makanannya satu jam yang lalu. Bolak-balik mengecek ponsel, ia berharap akan mendapat notifikasi dari istrinya di rumah. Pria itu menahan senyuman dan segera berdiri. Semua kegiatan hari ini telah ia selesaikan. Davin mulai melangkah maju dan meninggalkan ruangan. Saat ia ditanya karyawannya, pria itu menjawab hanya ingin pulang cepat. Davin menghirup udara segar setelah keluar dari ruangan ber-AC. Mobil segera ia masuki dan pergi dari sana. Saat di jalan, tak lupa ia mampir membeli buket bunga. Melihat kecantikan mawar merah itu, ia teringat sosok yang ada di rumah. Mobil sampai di depan rumah, Davin bergegas masuk ke dalam dengan langkahnya yang panjang. Ia membuka pintu rumah dengan keras karena sudah tak sabar lagi. Lelaki itu merenggangkan dasinya dan tangannya mulai meraih gagang pintu kamar. Davin melihat sang istri tengah terbaring dengan tubuh miring. Langkah pria itu sangat pelan dan ber
"Ada apa, Pak Bakhtiar ke sini? Tumben sekali. Apakah karena diminta oleh Mama?" tanya Davin pada lelaki yang kini duduk dengan tenang di sofa."Benar, Mas Davin. Bu Indri dan Tuan Dave memercayakan pesan ini pada saya. Untuk disampaikan kepada anak dan menantunya."Lelaki berjas hitam itu dipersilakan untuk meneguk minumannya terlebih dahulu. Setelah menghela napas lagi, dia mulai membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah berkas dengan map berwarna kuning muda. "Begini, Mas Davin. Sesuai dengan perintah kedua orangtua Mas Davin, separuh harta akan Anda miliki setelah memiliki keturunan. Namun, untuk sementara ini Mas Davin hanya akan menggunakan fasilitas mobil saja dari kantor. Selebihnya, akan digaji sesuai posisi Mas Davin di kantor," terang lelaki itu. Mendengar keterangan lelaki kepercayaan keluarga otu, dada Davin mendadak sempit. Oksigen yang masuk sepertinya sangat sedikit. Bisa-bisanya Mama sama Papanya membuat peraturan seperti itu. Bisa-bisanya mereka tega dengan anak send