***Malam itu, suasana canggung mendadak merubah segalanya. Nayla terkejut saat ia terbangun. Semua tampak gelap. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Pria yang wajahnya terlihat lewat semburat kilatan putih yang menembus jendela kaca itu terlihat membuka pakaiannya. Nayla mendengar bisikan manis yang keluar dari mulut Davin. "Kamu istriku."Nayla terdiam seketika saat lelaki itu semakin mendekat. Malam itu, adalah malam berharga yang membuat hatinya bimbang. Setelah lelaki itu tuntas memberikan nafkah batin pada istrinya, Davin bagai ikan yang baru saja keluar dari air tawar. Menggelepar dan terpejam rapat kedua matanya. "Mas Davin ...." lirih Nayla seraya sibuk menutup dirinya dengan selimut. Davin tak menyahut karena ia sudah terbang ke alam mimpi. Nayla memutuskan untuk ke kamar mandi setelah itu. Lepas dari sana, ia kembali memunguti pakaiannya yang sempat terhempas di lantai. Nayla kembali ke atas tempat tidur dan merebahkan dirinya di sebelah Davin hingga menjelang pagi. S
"Fia!" Sebuah teriakan membuat kedua wanita itu menoleh cepat. Namun, sebelah pipi Nayla sudah terlanjur panas dan merah. Ada aliran bening yang membasahinya. Davin yang ternyata kembali lagi untuk mengambil barang yang ketinggalan pun lantas menghampiri mereka. Ia menarik pinggang Nayla dan bertanya, "Kamu enggak apa-apa, Nay?" Pipi mulus itu kini dalam sentuhan jemari kokoh. "Sakit," lirih Nayla seraya terus memegangi pipinya. Davin beralih pada gadis yang kini terlihat ketakutan. Wajah Fia berubah pucat dan bibir bergetar akibat dari perbuatannya yang terekam oleh kedua mata Davin. Pria berwajah tegas itu lantas menaikkan nada bicaranya. "Aku tidak mau sekali lagi kau berbuat kasar dengan Nayla, Fi! Dia ini istriku. Kenapa kamu menamparnya, hah!"Kedua lutut Fia bergetar. Terasa seperti patah hati yang kedua kali. Kali ini, dari mulut Davin sendiri yang membuatnya patah. Air matanya mulai menganak sungai. Gadis itu tak tahan lagi lalu pergi memasuki mobilnya lagi. "Nay, kita ma
Jam tangan di sebelah kiri menunjuk pukul dua siang, lelaki itu setelah menghabiskan makanannya satu jam yang lalu. Bolak-balik mengecek ponsel, ia berharap akan mendapat notifikasi dari istrinya di rumah. Pria itu menahan senyuman dan segera berdiri. Semua kegiatan hari ini telah ia selesaikan. Davin mulai melangkah maju dan meninggalkan ruangan. Saat ia ditanya karyawannya, pria itu menjawab hanya ingin pulang cepat. Davin menghirup udara segar setelah keluar dari ruangan ber-AC. Mobil segera ia masuki dan pergi dari sana. Saat di jalan, tak lupa ia mampir membeli buket bunga. Melihat kecantikan mawar merah itu, ia teringat sosok yang ada di rumah. Mobil sampai di depan rumah, Davin bergegas masuk ke dalam dengan langkahnya yang panjang. Ia membuka pintu rumah dengan keras karena sudah tak sabar lagi. Lelaki itu merenggangkan dasinya dan tangannya mulai meraih gagang pintu kamar. Davin melihat sang istri tengah terbaring dengan tubuh miring. Langkah pria itu sangat pelan dan ber
"Ada apa, Pak Bakhtiar ke sini? Tumben sekali. Apakah karena diminta oleh Mama?" tanya Davin pada lelaki yang kini duduk dengan tenang di sofa."Benar, Mas Davin. Bu Indri dan Tuan Dave memercayakan pesan ini pada saya. Untuk disampaikan kepada anak dan menantunya."Lelaki berjas hitam itu dipersilakan untuk meneguk minumannya terlebih dahulu. Setelah menghela napas lagi, dia mulai membuka tasnya. Dia mengeluarkan sebuah berkas dengan map berwarna kuning muda. "Begini, Mas Davin. Sesuai dengan perintah kedua orangtua Mas Davin, separuh harta akan Anda miliki setelah memiliki keturunan. Namun, untuk sementara ini Mas Davin hanya akan menggunakan fasilitas mobil saja dari kantor. Selebihnya, akan digaji sesuai posisi Mas Davin di kantor," terang lelaki itu. Mendengar keterangan lelaki kepercayaan keluarga otu, dada Davin mendadak sempit. Oksigen yang masuk sepertinya sangat sedikit. Bisa-bisanya Mama sama Papanya membuat peraturan seperti itu. Bisa-bisanya mereka tega dengan anak send
Semalam suntuk, pria itu memeluk sang istri. Sebelum itu, ia tak pernah seperti itu. Bahkan, saat kedua orangtuanya sakit, Davin tak pernah seperhatian ini. Di mana ia sampai terkantuk-kantuk demi menjaga Nayla yang belum juga reda demamnya. Nayla belum bisa bangkit dari tempat tidur. Sementara Davin, dia merenggangkan kedua tangan lalu keluar kamar untuk membuat sarapan. Pria itu mulai membuka kulkas dan mengeluarkan roti tawar serta daging yang sudah diolah. Setelah kompor menyala dan teflon dipanaskan, Davin meraih margarin dan memanggang daging tadi. Ia berniat membuat sandwich dengan toping sayuran. Di tengah memasak, Davin mendengar suara ketukan di depan pintu. Ia segera menangguhkan pekerjaannya.Lelaki berkaus putih itu segera melangkah keluar dari dapur dan membuka pintu. Betapa terkejut, ia melihat Fia datang dengan rantang di tangannya. "Fia?""Iya, Vin. Maaf. Aku datang tanpa memberitahu kamu dulu. Aku bawakan makanan." Gadis itu mengulurkan rantang tadi pada Davin. R
Nayla terdiam di pojok ruangan dengan tangan di kusen jendela. Ia menatap ke keluar yang udaranya sejuk. Rindu akan tempatnya tumbuh kembang lagi. Rindu dengan keluarga yang membesarkannya.Davin baru saja masuk. Dengan membawa segelas susu dan roti isi yang ia buat sendiri, lelaki itu menghampiri Nayla. "Nay, sarapan dulu." Davin mengulurkan apa yang ada di tangannya. "Makasih, Mas Davin." Nayla menerimanya. Akan tetapi, saat Davin mundur dua langkah untuk duduk di tepi ranjang, Nayla berdiri dan meletakkan piring serta gelas itu ke atas meja rias. Nayla memutuskan untuk keluar kamar, tetapi Davin mencegahnya. "Kenapa, Nay? Kenapa kamu tidak memakannya? Apakah kamu masih marah?" "Maaf, Mas Davin. Untuk apa saya marah? Tidak ada alasan untuk saya marah. Saya hanya ingin sendiri."Gadis itu menghela napas. Pergi bersama hatinya yang berkecamuk. Davin tak pernah menjelaskan tentang perasaannya. Namun, begitu melihat lelaki itu berpelukan dengan Fia, perih sekali. Nayla ingin melupaka
Pria berkemeja putih itu mengusap kepala istrinya. Di atas tempat tidur, Davin mematung tatapannya. Ia menunggu istrinya yang belum juga membuka mata. Saat Nayla mulai menggerakkan jemarinya dan menarik tangan dari genggaman Davin, pria itu terkesiap. Ia menegakkan lagi punggungnya dan menarik napas dalam-dalam. "Nay ...."Nayla membuka mata. Ia melihat Davin di sampingnya tengah menatap dengan seksama. Gadis itu terkejut dan segera bangkit. Namun, kepalanya masih terasa sangat sakit. Nayla meringis dan menekan kening."Jangan bangun dulu. Istirahat saja. Aku akan menemanimu," kata Davin seraya meminta Nayla tiduran lagi."Saya kenapa, Mas?" tanya Nayla dengan perasaan bimbang. Ia bingung melihat ekspresi wajah suaminya yang aneh."Kamu pingsan tadi." Davin menunduk sejenak. Ia ragu ingin melanjutkan ucapannya. "Nay, aku mau tanya sesuatu padamu. Tolong jawab jujur."Nayla menatap Davin dengan penuh tanya. "Tanya apa, Mas?""Nay, aku menemukan tespek di kamar mandi." Seketika kedua
Pagi itu, Davin sudah siap dengan setelan kantornya. Namun, Nayla tak kunjung menemuinya. Wanita muda itu entah ke mana. Rumah sepi dan tak ada suara apapun. Saat Davin mencarinya ke samping dan ke semua sudut ruangan, ia tak juga menemukan istrinya.Namun, di meja makan sudah terdapat sarapan dan bekal. Kening Davin berkerut. Ia mulai menduga-duga. Bekal makan dalam kotak plastik itu segera ia masukkan ke dalam tas. Lalu, keluar dan membuka gerbang. Sebuah pemandangan yang mengejutkan saat pintu besi itu ia geser. Nayla duduk di bangku depan rumah dengan wajah melamun. Gadis itu menarik sesuatu dalam hidungnya. Akan tetapi, ia tak menoleh saat suara pintu gerbang terdorong. Davin dengan langkah pelan mulai mendekat. Lalu, duduk di sebelah istrinya. "Kenapa malah di sini? Aku cari kamu ke mana-mana." Davin menatap tanah berpaving lalu kembali ke depan."Enggak apa-apa, Mas. Cuman mau liat mobil lewat," balas Nayla tanpa menatap."Ayo, masuk!" Davin menggeret tangan Nayla dengan tanp