Malam itu, keduanya sama-sama terdiam. Saling memunggungi satu sama lain. Bagi Nayla, dirinya tidak akan pernah mendapat kesempatan mencintai Davin. Untuk apa harus berjuang. Apalagi, saat teringat tatapan Davin pada wanita bernama Fia. Sungguh, menyayat hati.Lain halnya dengan Davin. Lelaki dengan jambang tipis dan lengan berotot itu memikirkan hari esok. Hal apa yang akan disampaikan oleh Mamanya. Ia sangat khawatir sampai tak bisa menikmati tidur malam ini. Takdir menggariskan mereka berdua. Saat Nayla membalik badan mengubah posisi tidurnya menjadi terlentang, begitu pula dengan Davin. Mereka sama-sama terkejut. Namun, saat Nayla hendak kembali memiringkan tubuh lagi, tangan Davin mencegah. "Tunggu! Sepertinya kita harus bicara."Nayla menarik napas dalam-dalam. "Bicara apa, Mas? Tinggal menghitung hari Mas Davin melepaskan, bukan? Tenang saja, Mas. Aku tidak lupa.""Bukan itu." "Lantas?" Sejenak, Davin hanya ingin mengajak Nayla mengobrol saja. Bukan berdebar atau beradu arg
"Em. Enggak apa-apa, Ma. Nayla ini cuman sungkan aja. Enggak udah didengar omongannya." Davin kembali menurunkan tangannya. "Kalau sampai kamu masih bertemu lagi dengan gadis itu, maaf Davin, sebagian harta ini tidak bisa menjadi milik kamu.""Maksud, Mama?" Pemuda itu mendelik. Memastikan lagi bahwa apa yang ia dengar tidak salah. "Kamu harus kasih kami cucu. Yah, itu menurut Mama gampang. Kalian tidak boleh berpisah. Pernikahan bukan buat mainan. Jadi, apa saja alasan kalian untuk berpisah, maaf Mama tidak bisa mengabulkan.""Ma, tapi saya juga tidak bisa hidup dengan lelaki yang mencintai wanita lain." Akhirnya, Nayla membuka suara. Ia sudah terlampau menahan rasa sakitnya. "Saya bukan wanita yang diinginkan Mas Davin. Buat apa ini semua dilanjutkan, Ma? Bukan begitu, Mas Davin?" Kedua mata Nayla merah. Ada garis-garis yang memenuhi warna aputih dalam kelopak matanya. Wajah Nayla kini tertunduk tak berani menatap sang mertua yang masih tercengang atas kalimat yang keluar dari mu
Redup senja menuai sinar jingga yang sangat indah. Dari samping rumah dengan tanaman berbagai bunga dan daun hias, Nayla menatap ke arah barat. Berdiri dengan kegamangan."Abah, Nyai. Nayla ingin hidup sederhana saja. Nay ingin kembali bersama kalian. Bersama anak-anak pesantren dan berbaur dengan masyarakat di sana," gumamnya sendiri. Gadis itu tak tahu kalau ada yang berdiri di belakangnya mendengar semua beban yang baru saja ia keluarkan. "Tiga hari lagi memasuki bulan baru, aku harus mempersiapkan diri. Aku tak peduli dengan kabar buruk yang akan menimpaku. Gadis yang sudah menikah dan bercerai dalam waktu singkat pasti rugi. Rugi segalanya, setelah mendapat hinaan itu, aku tetap tak akan patah semangat. Aku akan tetap menjadi diriku sendiri sampai ada yang datang sebagai yang tulus menerima segala kekurangan."Nayla menghirup udara sore itu dengan mata terpejam. Ia benar-benar tak mengindahkan keadaan di sampingnya. Rupanya, mendengar kalimat yang baru saja keluar dari mulut Na
Setelah melewati pertimbangan yang panjang, akhirnya Davin dan Nayla berpamitan pada Indri dan Dave. Pagi itu, mereka membawa koper besar dan barang-barang untuk pindahan. Setelah mereka masuk ke dalam mobil, Nayla tidak pernah lagi membuka bicara. Ia mengikuti apa kata Davin untuk waktu yang tinggal dua hari lagi.Mobil membelok melewati pagar besi dengan halaman hijau berumput. Mereka membuka pintu mobil dan mengeluarkan barang-barang dibantu oleh sopir. Sekilas, Davin sudah merasa sejak dari rumah tadi bahwa Nayla sedang tidak baik-baik saja. Namun, lelaki itu tidak peduli. Mereka masuk ke dalam. Davin langsung masuk ke dalam kamar utama untuk membawa kopernya, sementara Nayla masih menatap sekeliling rumah itu. Rumah yang tampak nyaman dalam batinnya jika dilihat dari sudut pandang tanpa Davin di dalamnya. Nayla menggeret kopernya lagi menuju kamar di mana Davin masuk tadi. Akan tetapi, setelah sampai di depan pintu kamar yang terbuka, ia mengurungkan niatnya. Langkah mundur kem
Gadis itu langsung berpaling dan menyembunyikan matanya. Melihat hal itu, Davin tertarik untuk menggodanya. Pria bertubuh atletis dengan dada dipenuhi oleh rambut itu menekan pinggang Nayla. Sehingga sang gadis pun terlonjak dan menjauh seketika. "Mas Davin!" Kedua mata Nayla melotot. Sementara Davin tertawa karena melihat tingkah Nayla yang menggemaskan menurutnya. Davin kembali mendekat dan tak henti-hentinya menggoda Nayla. Mereka tak sadar keadaan telah membuat keduanya semakin dekat. "Mas Davin, sudah!" teriak Nayla dan mengatupkan kedua tangan sebagai tanda permohonan."Udah apa? Belum juga dimulai, enggak jelas kamu, Nay." Davin kembali menggelitik pinggan gadis itu sehingga mereka berdua terjatuh di atas tempat tidur. Ada napas yang tersengal-sengal yang keluar dari mulut mereka. Akibat kelelahan bercanda dengan Davin, Nayla tak kuasa menahan kantuknya. Ia terpejam dan tertidur pulas. Saat Davin menoleh, ia tersenyum melihat Nayla dengan wajah polos. Semakin lama, pemuda i
"Kalau kamu mau pulang, biar aku antar. Tunggu bentar, ya!"Nayla terpaksa berhenti di depan lift. Menatap Davin yang berlari ke dalam ruangannya lagi. Pria itu melewati Fia yang tergugu manatapnya melangkah cepat-cepat. Setelah mendapatkan kunci mobil, Davin menarik tangan Nayla dan mengajaknya turun ke lantai dasar. Nayla merasa sikap Davin sedikit berbeda. Dalam hati bertanya-tanya, apakah itu karena sebentar lagi mereka akan berpisah?Tak hanya itu, Nayla kembali dikejutkan saat Davin membukakan pintu mobil untuknya. Dengan ragu, gadis itu memasukinya. Davin segera menyakan mesin mobil. Mobil pun kembali memenuhi jalanan yang ramai. Pria itu membawa Nayla ke sebuah mall dan setelah sampai di sana. Mereka masuk bersama. Nayla bertanya tentang tujuan, tetapi Davin tetap mengajaknya melangkah lebih panjang.Mereka sampai di sebuah kedai dan Davin segera memesan dua gelas minuman. Tak lupa bekal makan siang yang tadi dibawakan Nayla, kini ia buka. "Nay, ayo makan!" Davin mulai meny
***Malam itu, suasana canggung mendadak merubah segalanya. Nayla terkejut saat ia terbangun. Semua tampak gelap. Namun, ada yang aneh dengan pria itu. Pria yang wajahnya terlihat lewat semburat kilatan putih yang menembus jendela kaca itu terlihat membuka pakaiannya. Nayla mendengar bisikan manis yang keluar dari mulut Davin. "Kamu istriku."Nayla terdiam seketika saat lelaki itu semakin mendekat. Malam itu, adalah malam berharga yang membuat hatinya bimbang. Setelah lelaki itu tuntas memberikan nafkah batin pada istrinya, Davin bagai ikan yang baru saja keluar dari air tawar. Menggelepar dan terpejam rapat kedua matanya. "Mas Davin ...." lirih Nayla seraya sibuk menutup dirinya dengan selimut. Davin tak menyahut karena ia sudah terbang ke alam mimpi. Nayla memutuskan untuk ke kamar mandi setelah itu. Lepas dari sana, ia kembali memunguti pakaiannya yang sempat terhempas di lantai. Nayla kembali ke atas tempat tidur dan merebahkan dirinya di sebelah Davin hingga menjelang pagi. S
"Fia!" Sebuah teriakan membuat kedua wanita itu menoleh cepat. Namun, sebelah pipi Nayla sudah terlanjur panas dan merah. Ada aliran bening yang membasahinya. Davin yang ternyata kembali lagi untuk mengambil barang yang ketinggalan pun lantas menghampiri mereka. Ia menarik pinggang Nayla dan bertanya, "Kamu enggak apa-apa, Nay?" Pipi mulus itu kini dalam sentuhan jemari kokoh. "Sakit," lirih Nayla seraya terus memegangi pipinya. Davin beralih pada gadis yang kini terlihat ketakutan. Wajah Fia berubah pucat dan bibir bergetar akibat dari perbuatannya yang terekam oleh kedua mata Davin. Pria berwajah tegas itu lantas menaikkan nada bicaranya. "Aku tidak mau sekali lagi kau berbuat kasar dengan Nayla, Fi! Dia ini istriku. Kenapa kamu menamparnya, hah!"Kedua lutut Fia bergetar. Terasa seperti patah hati yang kedua kali. Kali ini, dari mulut Davin sendiri yang membuatnya patah. Air matanya mulai menganak sungai. Gadis itu tak tahan lagi lalu pergi memasuki mobilnya lagi. "Nay, kita ma