"Ndri, kamu sudah siap?" Indri menatap Ali dengan tatapan bimbang. Sungguh, dia tak tahu apa yang akan menjadi takdirnya ke depan. Banyak yang menasihati, sebelum bertumbuh besar, anaknya juga sangat membutuhkan sosok ayah. Indri masih bimbang. Ia menggigit bibirnya dan mengatur deru napas yang kian tak tenang. Duduk sambil memangku Davin kecil, ditatapnya sekali lagi bayi mungil yang sepertinya tengah mengajak bercerita. Suara indah yang keluar dari mulut segar itu, membuat Indri pasrah. Benar apa kata mereka. Davin memang membutuhkan sosok ayah."Terserah, Mas, saja. Aku ikut apa kata kalian. Yang jelas, aku menerima dia bukan karena aku masih menyimpan rasa. Akan tetapi, semua ini demi Davin."Indri dibantu berdiri oleh Shalsabila dan mereka keluar dari kamar. Satu tatap langsung terlihat Fabian yang duduk dengan setelan jas yang rapi. Sekilas, Indri menatap kakak iparnya dengan tatapan ragu. Namun, mereka tetap meyakinkan kalau lebih baik menemui dulu."Ndri, gimana kabar kamu?
Ali mengangguk. "Aku percayakan semua padamu, Fabian. Segerakan pernikahan ini dan hiduplah sebagaimana yang telah ditetapkan oleh Allah. Jaga istri dan anakmu. Meski Davin bukan darah daging kamu, anggaplah dia sebagai anak kamu sendiri.""Tentu, Mas. Sekuat tenaga, aku akan jaga mereka berdua. Aku janji. Kuserahkan hidupku pada Allah untuk menjaga mereka." Fabian mulai mengeluarkan benda mungil berbentuk lingkaran dari kotak beludru. Dia mulai meletakkan benda itu di tengah meja. Bermaksud agar Ali memakaikannya pada jari manis Indri. Ali paham betul, jika sudah begitu. Ia segera meraihnya dan menarik tangan Indri untuk memasangkan cincin berhias berlian itu sebagai tanda ikatan sebelum pernikahan nanti."Tunggu!"Diiringi petir bergemuruh, kilatan putih itu semoat memantulkan cahaya pada wajah seorang pria dengan napas terengah-engah berdiri di depan pintu. Seketika cincin tadi terjatuh kala semua menoleh pada sumber suara. Indri hampir saja terjatuh jika tidak dipegangi oleh Ali
itu, pria berjambang lebat baru saja mencukur bulu yang merambat pada rahangnya. Tampak tipis lagi dan wajah putih kembali hadir dihiasi bibir kemerahan agak tipis. Tatapan elang menembus cermin bundar di depannya. Sesekali mengulas senyuman, membayangkan istrinya pangling saat melihat nanti.Masih berada di kamar mandi dan menekan kran, lalu mengusap wajahnya yang masih tersisa cream pembersih wajah, Dave bergegas menyelesaikannya. Pria berkaus hitam dengan celana bahan itu mengusap wajahnya dengan handuk kecil. Ia keluar dengan wajah berseri dan segar.Saat sudah berada di luar, ia melihat istrinya yang sudah menunggu sambil menepuk-nepuk paha putranya agar lekas tidur. Dave mendekat pelan dan menyentuh lengan sang istri. Ada senyum manis yang tersirat dari bibirnya. Ia mulai duduk di sebeMalamlah istrinya. "Apakah dia masih lama tidurnya?"Indri tersenyum. "Coba, Tuan, peluk dia. Mungkin saja dia juga rindu ingin tidur di sebelah Babanya."Dave menghela napas panjang. "Aku hampir
Indri lega pada akhirnya. Ia tersenyum lagi dan mengantar Dave keluar dari kamar. Sengaja mereka tak membawa Davin kecil karena tengah tertidur pulas. Di ruang tengah, Ali dan Shalsabila sudah menunggu mereka. Ada senyum bahagia menyambut sepasang suami istri yang tampak menciptakan senyum semringah. "Tuan, sudah siap?" tanya Ali. Ia segera meraih kunci mobilnya."Sudah. Mari kita berangkat sekarang."Indri dan Shalsabila mengantar mereka sampai di depan pagar rumah mereka. Pagar tanam yang memang sengaja dirawat sepenuh hati itu agar selalu terkenang masa-masa kedua orangtuanya masih ada."Ndri, kita masuk aja, yuk. Sekarang, keadaan masih belum benar-benar membaik. Khawatir aja anak buah Rasya mengawasi rumah ini. Seperti yang sudah-sudah."Indri mengangguk dan segera masuk ke dalam rumah lagi. Saking khawatirnya, mereka mengunci semua celah. Sesekali mengintip keadaan luar sana dari balik korden putih pada jendela kaca.Tak lama setelah itu, terdengar deru mobil memasuki halaman.
"Bukan, aku bukan adiknya Mbak Indri. Aku keponakannya. Banyak yang bilang kalau kami ini mirip." Gadis itu terkekeh. "Kemarin lihat Mas Fabian pas melawat di rumah duka. Kebetulan aku kuliah di California dan tahu alamat Mas Fabian dari berbagai sumber." Gadis itu meringis kuda. "Oh ya?" Fabian merasa lucu dan membalas dengan senyuman juga. "Terus, ngapain kamu sampai di sini?""Aku dari toko buku. Dan enggak sengaja, lihat Mas Fabian di sini. Boleh, kan, kenalan? Aku di sini enggak banyak kenal orang Indo. Cuman berdua aja sama temen dan dia sekarang udah balik duluan."Fabian tersenyum lagi. Ia menatap lekat gadis berparas cantik yang mirip sekali dengan Indri itu. Lantas, mereka jalan berdua menikmati senja dan berakhir di sebuah kafe setelah Maghrib. Mengobrol banyak hal dan tentang perasaan ... pandangan pertama membawa cinta itu tumbuh kembali dengan sosok lain.Dalam gemerlap lampu jalanan, mereka berjalan hingga sampai di sebuah penginapan. "Makasih, Mas, udah ditraktir. Lai
Setelah mengatakan itu, Alma menatap ke atas dengan mata melotot. Ia memegangi dadanya dan terdengar sesak napasnya.Fabian yang panik pun lantas memanggil pembantu rumah tangga agar menelpon pihak rumah sakit untuk datang. Namun, semua sudah terlambat. Alma mengembus napas terakhir di dekat putra kesayangannya dalam keadaan membawa kekesalan. Fabian pun berteriak dengan air mata melelehi pipi. "Maaaa!" Pengumuman atas meninggalnya wanita tua itupun, lantas menggema di daerah tempat tinggal mereka. Semua berduyun-duyun untuk membantu proses pemakaman. Di atas gundukan tanah merah, lelaki berpakaian serba hitam itu masih menekan duka kepergian Ibunya. "Maafkan Bian, Ma. Belum bisa membahagiakan ataupun memberikan menantu."Fabian hanya seorang diri di sana, semua pelawat sudah pulang. Hingga mendung melambai gelap dengan aliran angin dingin yang terus merambat. Tubuhnya hampir basah kuyup, tetapi sebuah payung tiba-tiba datang menaunginya.Pria dewasa dengan mata sembab itu tersadar
Perginya istriku S2Pagi yang cerah menghangatkan dua raga yang duduk di dekat kolam renang. Dua cangkir teh hangat telah menambah kemesraan mereka meski usia sudah tak lagi muda."Ma, Pa, Davin ke kantor dulu."Pria tampan dengan setelan jas hitam itu telah siap dengan penampilan menawan, ada kacamata bening yang bertengger di atas hidung bangirnya."Hati-hati, Sayang. Mama nitip, ya?"Davin mengerutkan dahinya. Menatap Mamanya yang baru saja berdiri mendekat dan merapikan dasinya. "Nitip apa, Ma?" Indri tersenyum seraya melirik pada sang suami. "Nitip menantu. Kami sudah tak sabar melihat kamu membawa calon is ....""Halah, Mama. Itu terus yang dibahas. Davin masih ingin sendiri," balas pria itu. Dia segera cium pipi Mamanya, lalu berganti dengan Dave yang tetap santai menatap cahaya yang merambat lurus."Pa, Davin berangkat dulu." Putra pertama Dave dan Indri itu lantas berpamitan. Ia segera memasuki mobil mewahnya setelah sang sopir membukakan pintu.Sejauh perjalanan, semua tam
Davin masih terus memperhatikan sang gadis dengan tenang. Sejauh ini, gadis itu masih menunjukkan sikap sopan. Tak ada masalah baginya. Namun, sejurus itu ia punya rencana yang matang. Ada senyuman misterius yang lahir dari bibir semu merah itu. Mirip sekali dengan Papanya. Pria gagah itu terus menatap sang gadis hingga gadis sampai juga di hadapannya. Begitu saling menatap, gadis itu lantas gemetaran. Davin segera membuang wajah. Selesai dari sana, gadis itu keluar membawa debaran yang tak biasa. Lalu, ia menyandar dinding untuk menguatkan raga."Fi? Kenape, lu?" Tema Fia bertanya saat melihat sahabatnya itu seperti orang kesurupan. Sampai dua pipi chubby milik Fia ia cubit. "Duh, sakit, tau!" Fia meringis. Ia menggosok pipinya yang mendadak merah. "Habisnya, ditanyain malah melamun terus. Gua kira kesambet, lu." Alena segera menggeret tangan Fia dan mengajaknya kembali ke ruangan office girl."Len, lepasin gue!" Fia ingin berhenti. Gadis dengan kuncir kuda itu tampak lemas dan
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k