Setelah sampai, dokter digiring ke kamar atas. Pintu kamar ia buka dan mendapati istrinya meringkuk dengan kain kompres di kening. Dave menutupi tubuh istrinya dengan selimut kala dokter wanita berusia paruh baya itu datang.Stetoskop melekat pada dada, Indri tersentak dan kaget. "Ada apa ini?" Ia bingung."Sudah, tenang, ya, Bu. Anda akan diperiksa sebentar saja," ucap dokter keluarga itu. Ia menekan denyut nadi di tangan Indri dan merasakan sesuatu. Senyum manisnya timbul hingga mengundang tanya pada suami istri yang masih terpaku."Bagaimana, Dok?" Dave sudah tak sabar. Ia duduk di sebelah Indri dan membantunya menyandar dipan."Alhamdulillah, istri Anda tengah mengandung sekitar tujuh Minggu. Saya akan kasih resep vitamin untuk ditebus." Dokter tadi menulis di atas satu lembar kertas. Lalu, menyerahkannya pada Dave."Saya permisi dulu," lanjut dokter tadi. "Terima kasih, Dok," balas Dave seraya meletakkan kertas tadi di atas tempat tidur.Indri tergugu dalam diamnya. Masih pada p
"Nak, tidurlah di kamar Ali! Biar besok pagi, Ibu yang akan membujuk Indri." Rumi berdiri di dekat pria itu. Membawakan selimut yang baru saja diambil dari lemari. Lalu, menyerahkan pada Dave yang masih menatap kosong di lantai."Benar, Tuan. Kamar saya di sebelah." Ali menunjuk dengan ibu jarinya. Menunjuk sebuah kamar dengan pintu terbuka. "Kamarnya tidak terlalu besar, Tuan. Tapi, setidaknya Anda bisa memakainya malam ini. Sambil menunggu Indri lebih baik lagi."Dave mengangguk. Ia mulai berdiri dan menarik udara dalam-dalam lalu mengembusnya pelan, setelah itu menerima selimut yang diberikan oleh Rumi. "Terima kasih, Bu. Maaf, saya merepotkan." Ada wajah sendu di sana, membuat Rumi tak mampu menjawab lagi. Hanya balasan anggukan saja yang tersirat.Malam manis berubah kelam hanya dengan satu kabar mengejutkan. Sikap manis dan semu kemerah jambuan berubah muram dan tangis tak terbendung. Dave menyimpan hatinya baik-baik, tak akan pernah melepaskan. Jika ada sosok yang mendiami rahi
Cinta memang luar biasa.Mengubah segala derita menjadi pelangi senjaMengubah kerasnya hati menjadi butiran relaMemaafkan ketika dosa telah terlanjur menoreh luka"Jangan banyak pikiran, kau harus lebih bahagia dari ini. Aku janji, semampu diri akan terus di sampingmu." Ditatapnya lagi wajah sang istri. "Em, kita namain siapa nanti calon anak kita?"Indri mulai tersenyum. Ia juga lelah terus menerus mendiamkan pria itu. Ia tahu, hari ini Dave ada meeting penting tetapi hanya demi membujuknya, rela meninggalkan semua itu. Indri juga menyadari, perjuangan Dave meluluhkan hatinya berbeda dari yang lain."Pak ...." Indri mendongak."Hmm." Jarak hanya satu jengkal saja antara wajah dengan wajah. "Katakan! Apa yang ingin kau katakan." "Saya minta maaf. Saya sudah pergi dari rumah tanpa izin. Jujur, kata-kata Ibu telah menyihir pikiran saya. Saya takut mendapat laknat malaikat. Tapi, saya tidak tahan dengan sebuah kebohongan. Saya tidak mau merasakannya lagi."Dave menghela napas. Ia pan
"Apa ini?" tanya Dave. Sore itu, selepas salat Ashar, Dave melihat kertas bertuliskan rangkaian indah di atas tempat tidur. Indri yang baru saja selesai mandi pun menjawab, "Itu, undangan dari Mas Fabian. Dia mau nikah." Wanita berbadan dua itu menggosok rambutnya yang basah. Lalu beralih menata sajadah dan hendak salat juga.Mereka janjian akan berbelanja di sebuah supermarket. Membeli buah-buahan dan bahan pokok selama satu bulan. Mobil pun melaju membelah jalanan yang tidak terlalu ramai. Senyum keduanya terus terlukis. Dengan sebelah tangan memutar kemudi dan yang satunya lagi menggenggam tangan sang istri. Sungguh romantis, dunia serasa milik berdua saja."Sayang, aku mau cari alat cukur bulu dulu. Kamu lanjut ke depan sana tempat buah, nanti aku susul," kata Dave sambil menunjuk."Oke. Jangan lama-lama, yah?!" Nada manja itu seperti tak tahan jika lama-lama berjauhan. Seperti pengantin baru sungguhan.Indri mulai melangkah, dan mereka berpisah. Satu persatu kebutuhan dapur terp
Jantung terasa lepas dari tempatnya. Indri masih terpaku tak menoleh karena ia takut. Ia tak mau mendengar berita buruk. Ia tak ingin kemanisan yang baru saja ia teguk bersama Dave, hilang detik ini juga. Suara keras itu masih terus menggema dan orang-orang berhamburan keluar gedung. Hanya dia yang berdiri di sana. Saat Fabian datang padanya dan menyentuh pundak, Indri semakin terisak. Belum jelas siapa yang mengalami insiden tersebut, tetapi dada sudah seperti genderang bertabuh.Indri membalik tubuh dan mengangkat gaunnya yang menjuntai itu. Ia berlari tanpa bertanya siapa yang telah tak bernyawa di tengah jalan. Tangis histeris membuat langkahnya bergetar. Semua sudah jalannya, pesan-pesan dari Dave kembali berputar dalam ruang kepalanya.Sampai di tempat tujuan, kepala pria tampan dengan jambang merambat itu sudah dipenuhi dengan aliran darah segar. Tubuh Indri lemas. Ia sudah tak mampu lagi berkata-kata, hampir pingsan tetapi kedua tangannya meraih kepala sang suami dan meletakk
PERGINYA ISTRIKUSejak kepergian Dave yang kabarnya menyebar ke segala penjuru itu, Indri lebih sering menyendiri di kamar. Sesekali ke perusahaan untuk melihat kondisi di sana sekaligus mengenang sang suami. Wanita muda yang kini baru saja masuk ke dalam ruangan itu berjalan menyentuh kursi yang biasanya diduduki oleh Dave. Setiap kenangan dan tawa mereka terlintas lagi dalam ruang kepala. Sesekali mengelus perutnya yang masih rata itu. Lagi kenangan mereka pun ia putar dalam ruangan itu. "Seandainya saja kamu masih ada di sini, pasti aku tidak akan sehancur ini. Kau tinggalkan aku dengan benih ini?" Indri kembali menitikkan air matanya. Ia terduduk di kursi itu. Menatap foto mereka berdua di atas meja. Tiba-tiba sebuah ketukan pada pintu terdengar, membuat Indri segera mengusap wajahnya. "Masuk."Fabian muncul dari sana. Ia membawakan sebuah kotak makan dan tersenyum pada Indri. "Ini, buat bumil. Dihabiskan, ya?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku sudah makan tadi, Mas. Buat kamu
"Haduh, siapa, ya, Pak? Saya takut." Indri pun tak kalah bimbang. Dadanya berdebar hebat ketika mobil hitam di depan sana tak juga terlihat siapa penghuninya. "Bagaimana ini, Nyonya? Apa kita tetap menerabas saja? Atau, menunggu orangnya keluar?" tanya sopir itu lagi. Selang beberapa menit kemudian, seorang wanita dengan hijab menutup kepala keluar sambil membuka kacamata hitamnya. Indri mencoba melihat dari balik kaca mobil dan mengingat-ingat. Dirasa tidak membahayakan, ia juga keluar menemui wanita itu. Mereka bertatapan setelah jarak terpangkas dan menyisakan beberapa jengkal saja. "Kamu Indri, kan?" tanya wanita itu. "Iya, saya Indri. Siapa, ya?" Karena merasa tak mengenal, Indri lantas bertanya pula. Sejauh ingatannya, baru kali ini dia bertemu wanita itu."Aku Fitria. Wanita yang gagal dinikahi oleh Mas Fabian."Indri terkejut. Ia langsung paham ke mana arah pembicaraan mereka. "Ada apa, ya? Saya harus segera pulang, maaf tadi Anda menghadang begitu saja.""Bisa kita bicar
PERGINYA ISTRIKU"Apa? Calon istriku? Dia sudah bukan lagi calon istriku, Ndri." "Tapi ....""Sudah, ya? Jangan bahas dia lagi. Aku dan dia sudah tidak terikat apapun lagi. Aku sudah minta maaf dengan keluarganya."Fabian menunduk. Menyembunyikan rasa tak enak di wajahnya. Ada aliran napas yang keluar dengan berat. "Aku tak enak dengan dia. Aku merasa menjadi duri dalam ....""Sudah, Ndri! Kumohon. Aku menikah dengan dia juga karena perjodohan. Aku takut juga menikahi dia tapi nanti malah membuatnya sedih setiap hari karena masih teringat kamu.""Aku? Jadi, benar semua itu? Alasan, Mas Fabian, membatalkan pernikahan karena aku?" Indri menggeleng kepalanya. "Aku tidak bisa melupakan kamu, Ndri. Hatiku sudah tertawan oleh cinta. Tapi, cintaku padamu bukan karena nafsu semata. Aku ikhlas melihat kamu dengan yang lain. Asal kamu bahagia.""Mas, jangan sakiti hati kamu sendiri. Aku masih bisa berdiri sendiri. Kamu enggak boleh membuat siapapun sakit hati karena sikap kamu yang mendadak