"Udah sana! Kasihan, tuh, dianggurin." Ali menahan tawanya ketika mendapati sang adik malah mendekam dalam kamar Ibunya. Di dalam sana, Shalsabila dan Rumi ikut menahan tawa. "Gara-gara, Mas. Aku jadi harus satu kamar dengan dia. Gimana kalau dia ...." Indri berdecak. Ia malah melingkar dalam selimut dan memunggungi semua orang di dalam sana."Ndri, kamu bukan lagi anak remaja yang malu-malu ketika dijodohkan," tambah Shalsabila. Ia berdiri dan mendekat. "Kasihan suami kamu ""Tapi, aku takut, Mbak."Semua terdiam. Rumi menatap Ali dan menantunya secara bergiliran. Ia memberi isyarat dengan kerlingan mata agar mereka keluar. Setelah semua keadaan tenang dan hanya ada ibu dan anak saja dalam kamar itu, Rumi mulai mendekat."Indri ... coba bilang sama Ibu, kenapa kamu takut menemui Tuan Dave?" Rumi ingin bicara dari hati ke hati. Wanita itu menaiki ranjang tidur di sebelah Indri."Indri belum siap, Bu. Indri rela tidak menikah sampai tua bahkan kalaupun tidak bisa punya anak lagi. Buk
Selesai dari sana, Indri segera menunaikan kewajiban lima waktunya. Lalu, memasak air dan berbelanja di tukang sayur depan rumah. Sebagian tetangga sudah tahu kalau Indri sudah menikah lagi."Enak kamu, Ndri." Seorang ibu-ibu menoel lengan Indri. "Dinikahi konglomerat." Datang lagi ibu-ibu lain yang langsung ikut nimbrung. "Yah, jelas, dong. Nanti Indri enggak usah kerja capek-capek lagi. Mantan suami kamu biar tau rasa, Ndri."Indri tak habis pikir. Ia hanya diam sesekali menggeleng kepalanya."Mau dimasakin apa nanti suaminya, Ndri?" Suara tawa cekikikan menyampa mentari yang mulai meninggi. Mereka melirik ke arah Dave yang tengah memperhatikan Indri berbelanja di depan rumah."Saya masih bingung juga, Bu." Indri terus memilah-milah bungkusan bahan pangan. Ia tertarik dengan buah-buahan dan sayur daun melinjo."Ah, suami kamu ganteng banget. Tuh, dia lagi liatin kamu kayaknya. Istri belanja di depan rumah aja dikawal. So sweet," lirih seorang ibu lain. Ia terlihat salah tingkah. "
"Astaghfirullah, maaf, Pak." Indri segera melepas tangannya dan mundur dua langkah. Hingga kakinya tak sengaja terkena tanah basah bekas hujan beberapa waktu lalu. Ia tampak gelisah dan menyembunyikan perubahan raut wajahnya."Kenapa berhenti? Mata saya masih perih." Dave berpura-pura mengucek matanya dan mendesis. Padahal, semut yang tadinya jatuh ke dalam mata sudah diambil."Ee-em, sebentar, Pak." Indri masuk ke dalam mengambil air dalam gayung. Ia kembali keluar dan menyuruh Dave membuka matanya di dalam air tersebut.Dave pun menurut saja. Ia membuka matanya setelah mengusap wajah. Lalu, mencari tempat duduk.Sambil menunggu pria itu beristirahat di kursi teras, Indri memunguti mangga yang berjatuhan. Ia segera membawanya ke dalam dan mencucinya. Ketika wanita muda itu telah tiada, Dave kembali normal. Ia menatap pemandangan yang asri nan hijau di depan rumah. Menikmati sejuknya hawa di sana. Beberapa tetangga yang lewat mengangguk padanya dan ia membalas dengan hal yang sama. I
Saya tidak akan masuk anginSelama angin tersebut tidak mencoba masuk Saya bisa jaga diri Asal Bapak jangan godain terus.Di dalam sana, Dave terpingkal lirih. Ada yang lain yang tiba-tiba seperti bersemi. Sejuk, melewati sela-sela relung hatinya. Ia memang sudah pernah jatuh cinta tetapi baru kali ini merasakan cinta yang natural.Kalau kamu sudah menerima saya sebagai suami,Jangan lagi panggil saya Bapak karena saya bukan Bapak kamuSelayaknya suami istri yang semestinyaDan buat suamimu bahagia malam ini.Pesan terkirim.Ketika Indri menerima pesan tersebut, hatinya mulai mengembang seperti balon. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetaran dengan seluruh pori-pori keluar keringat dingin. Jantungnya yang tak mampu diatur itu sudah semakin membuatnya lemas. Ia ingin segera masuk ke kamar Ibunya dan tidur saja.Sesaat panggilan pun tiba-tiba masuk. Indri menatap nama yang sama. Nama yang sejak tadi ia diajak bercanda dari balik pesan-pesan. "Please, jangan sekarang, Pak!"
Setelah hanya mendapat senyuman penuh misteri, Indri masih terus menunggu tetapi Dave malah memejamkan mata. Sempat terbesit pikiran aneh dalam benaknya, tetapi buru-buru wanita muda itu hilangkan. Lampu telah padam dan tersisa hanya temaram di atas nakas. Dua raga yang saling memunggungi terkesan tak dapat memejamkan mata. Dave menyunggingkan senyum ketika mengingat dua bola mata natural yang sedikit menyipit saat sang empunya kaget dengan sebuah pernyataan.Lain sisi, Indri meremas kain selimut karena takut jika tiba-tiba pria dewasa yang kini berada di belakangnya itu menerkam. Tengah malam menyapa keduanya yang mulai terkantuk-kantuk. Dalam hati Indri, dia berjanji tidak akan pernah mau disentuh oleh Dave sebelum yakin dan terbuka hatinya untuk lelaki itu.Namun, fakta berbicara lain. Di saat tak sadar dan terbang dalam mimpinya, Indri malah mengira tubuh kekar yang terdiam dalam lelap itu adalah sebuah guling. Indri mengangkat tangannya dan melingkar pada dada bidang yang terciu
Dave tak peduli dengan larangan itu. Dia maju dua langkah dan membalik tubuh Indri dengan paksa. Mencoba membenahi resleting yang memang menyangkut pada benang. Satu tarikan jemari kokoh itu telah menyempurnakan tertutupnya punggung Indri. Sejenak, tatapan mereka terpaku pada cermin dalam kamar mandi. Namun, kedipan mata yang terkesan cepat mengalihkan perhatian. Dave menghidu aroma shampo yang menguar tetapi Indri buru-buru pergi dari sana. Senyum misterius kembali terlukis. Pria gagah itu mengikuti langkah istrinya. Setiap gerakan Indri terus dalam pengawasannya. Setelah selesai dandan, Indri terkejut melihat Dave masih di sana. Duduk dengan santai dan menatapnya. "Pak ...." Mendadak bibir Indri mengatup rapat.Dave tersenyum. " Sudah?"Indri mengangguk.Mereka berjalan keluar bersamaan. Bukannya ke ruang makan, tetapi Dave segera menyalakan mesin mobilnya. Disusul Indri dengan tergopoh-gopoh setelah mengunci pintu. Indri membuka pintu mobil dan mengenyakkan bobot di jok depan."
Seorang pria dengan hati yang begitu tulus, hanya menginginkan sebuah balasan dari cintanya. Ia tengah menggeret kursi untuk wanita cantik berwajah tirus. Buku menu pun terhidang langsung, disodorkan oleh seorang waiters wanita. Keduanya segera mengulas senyuman atas sikap sopan pelayan tadi."Kamu mau makan apa? Aku ... samaan aja sama kamu." Fabian menutup kembali buku tadi dan menunggu Indri memilih salah satu dari gambar-gambar yang terpampang."Aku soto ayam aja, Mas. Kamu ... beneran sama?" Indri mendapati pria itu mengangguk. "Minumnya apa?" Sekilas, tatapan melayang pada Fabian."Es jeruk, biasanya kesukaan kamu. Biar kurus, kan?" Tawa pria dengan jas hitam itu menggema. Lepas seperti busur panah yang tepat mengenai sasaran."Ish, ngeselin. Padahal aku enggak niat diet, loh. Cuman enggak mau aja kalau berat badan nambah." Mereka tertawa puas. Tak tahu kalau di kursi yang lain, seorang lelaki tengah mengawasi mereka. Sengaja menutupi diri dengan buku menu, agar tidak terlihat.
Indri tak menolak lagi ketika Dave mengajaknya masuk ke dalam mobil. Bersama dengan putaran ban mobil, membawa ingatan Indri pada Ibunya. Hanya wanita tua itu yang menjadi penguat dirinya sejak masih berumah tangga dengan Rasya. Mana mungkin dia bakal membantah.Dave menekan pedal rem dengan mendadak. Pria dengan jambang tipis nan dingin itu menatap tajam ke arah depan. Hingga tak melihat kalau Indri yang berada di sebelahnya hampir terbentur dashboard."Ah," pekik Indri. Dave baru sadar setelah mendengar pekikan suara Indri. Dia menoleh dan melihat keadaan istrinya. "Kamu baik-baik saja? Ada masalah sedikit di depan. Aku akan urus dulu, kamu tunggu di sini." Dave keluar dari mobil. Membenahi penampilannya dan mendekati komplotan berjaket hitam yang telah menanti. Pembicaraan mereka tak begitu terdengar oleh indri. Dia hanya disuruh diam dan menunggu. Namun, rasa penasaran membuat Indri membuka sedikit kaca mobil. Siapa tahu, dia bisa mendengar percakapan mereka.Seputar hal mengena
"Tapi nggak siang bolong begini juga Mas, nggak enak dengan tamu undangan juga keluarga yang lain. Pak penghulu aja belum pulang lo," elak Anggi beralasan yang sebenarnya dirinya masih grogi dan malu harus sekamar kembali dengan Reno."Berarti kalau sudah nggak siang boleh dong," goda Reno sambil menaik turunkan kedua alisnya."Ish ... Apaan sih, minggir mau keluar." Anggi menggeser tubuh tegap suaminya."Cium dulu," pinta Reno sambil mendekatkan bibirnya yang sengaja dimonyongkan."Mas ... Jangan ngadi-ngadi deh, minggir mau keluar dulu." Anggi kembali mendorong dada sang suami yang semakin mendekat pada dirinya."Cium dulu sekali ajaz habis itu kita keluar bareng, biar enak kalau keluarnya bareng," jawab Reno sambil tersenyum manis."Mesum ....""Eh, siapa ya mesum, kamu kali yang pikirannya udah traveling ke mana-mana. Maksudku kalau kita keluar kamar bareng kan enak dilihatnya. Masak pengantin baru keluar kamar sendiri-sendiri, apa kata mereka coba?" Reno menyentil ujung hi
"Terima kasih sudah mau menerimaku kembali, juga sudah memberikan Rea, hingga hidupku kembali berwarna." Ungkapan tulus Reno begitu tangannya menyambut tangan Anggi untuk diajak duduk di bangku sebelahnya.Rea yang tak mau lepas dari papanya malah memeluk leher Reno dengan posesif. Mau tidak mau, acara penyematan cincin nikah yang dilanjutkan penandatanganan buku nikah, dilakukan dengan Rea tetap di gendongan sang papa. Tamu undangan, keluarga juga semua yang menyaksikan merasa terharu juga geli, baru kali ini menyaksikan acara ijab qobul dengan membawa anak mereka. Apapun keadaan mempelai, yang pasti doa restu terucap tulus dari setiap hati yang hadir dan menyaksikan bersatunya kembali orang tua Rea tersebut.Cincin berlian berwarna pink sengaja dipesan khusus oleh Reno untuk Anggi. Eternal pink, berlian langka dan termahal di dunia, menjadi simbol bersatunya kembali rumah tangga Reno dan Anggi. Cincin dengan harga lebih dari lima puluh milyar itu tersemat dengan cantik di jari Mas
"Iya Mbak, tanpa pakai make up berlebih, wajah Mbak Anggi sudah tampak cantik dan mangglingi ," jawab perias yang masih menyapukan kuas di wajah Anggi.Rea menatap mamanya dari balik pintu. Gadis kecil yang baru sempurna berjalan sendiri itu menatap takjub pada wanita yang melahirkannya, entah apa yang dipikirkan anak anak sekecil itu. Kepalanya beberapa kali juga menoleh, memperhatikan lalu lalang orang yang mempersiapkan acara akad nikah kedua orang tuanya. Rumah yang biasanya sepi, kini terasa ramai. Anggi yang sempat melirik bayangan putri kecilnya langsung meminta perias menghentikan aktivitasnya, lalu dirinya beranjak menghampiri malaikat kecil yang garis wajahnya seperti pinang dibelah dua dengan Reno."Sayang, kenapa di sini? Nenek mana?" Anggi mengangkat tubuh Rea dalam gendongannya lalu membawanya masuk ke dalam kamar."Mbak, maaf sambil pangku anak saya nggak pa-pa kan?" Anggi meminta izin pada perias yang akan melanjutkan pekerjaannya."Nggak pa-pa Mbak, yang penting a
Anggi yang biasanya cuek, jutek, wajahnya menghangat dan terlihat memerah. Dia tahu kalau ayah dari anaknya itu memang lelaki romantis tapi, tidak pernah menyangkan kalau akan diperlakukan seromantis ini, ya walau hanya dalam butik, bukan di suasanya makan malam yang sangat romantis tapi, cukuplan untuk bisa membuat hati Anggi semakin berbunga-bunga.Pemilik juga karyawan butik sampai menutup mulut mereka, takjub dengan keromantisan calon pengantin pria. Baru kali ini mendapatkan klien yang unik dan cukup menarik. Seorang pegawai butik, mungkin bagian marketing langsung merekam agedan tanpa rencana itu. "Jangan sembarangan rekam, nanti kalau mereka tahu bisa runyam urusannya," tergur pemilik butik sambil berbisik."Yang penting rekam dulu Bu, nanti baru minta izin pada mereka. Kalau diizinkan lumayan buat konten marketing butik. Kalau nggak diizinkan ya simpan saja dulu. Siapa tahu lain waktu mereka berubah pikiran," balas si pegawai sambil terus melanjutkan aksinya."Semoga saja
"Sayang, aku sudah di jalan. Kamu berangkat sendiri atau sekalian aku jemput?" Reno menghubungi Anggi begitu selesai meting dengan klien. Hari ini keduanya ada janji untuk fithing baju pengantin."Aku sudah di butik, baru saja sampai," balas Anggi dengan senyum menghias wajahn cantiknya.Semenjak Anggi jujur pada Reno kalau Rea adalah darah daging mantan suaminya. Akhirnya mereka memutuskan untuk rujuk kembali, mungkin sebuah alasan klise demi anak tapi, jika ditelisik lebih dalam lagi. Orang tua Rea sebenarnya masih saling menyimpan rasa, hanya mereka masih mengedepankan ego tanpa mempertimbangkan perasaan juga kebutuhan kasih sayang putri kecil mereka.Dan di sinilah mereka, berada di butik yang dulu juga pernah membuatkan baju pengantin untuk Reno da Anggi di pernikahan sebelumnya. Pemilik butik juga pegawai butik hanya mengulum senyum ketika Anggi menceritakan secara singkat perjalan pernikahannya dengan sang mantan suami."Mbak Anggi mau pakai baju dengan model yang bagaimana
Saat Anggi muncul dari toilet, ia melihat Mamanya sudah duduk bersama putri dan mantan suaminya. Meski sudah dua tahun lamanya, Anggi masih ingat jelas wajah itu. Wajah yang masih sangat melekat di hatinya. "Rea, ayo ikut Mama." Anggi tiba-tiba menyerobot meraih putrinya dari pangkuan Reno. "Tunggu, Anggi." Reno berdiri menyamai wanita cantik itu. Anggi terlihat tampak lebih segar dari yang dahulu. Tampak lebih bersinar setelah bercerai dengan suaminya."Aku tidak bisa lama-lama di sini. Putriku harus tidur. Juga besok aku harus kerja." Anggi masang wajah ketus. "Nak, jangan bilang begitu. Jujurlah pada Reno. Siapa Rea sebenarnya." Mama Anggi ikut berdiri. Namun, ia tak ingin mencampuri urusan mereka. "Mama ke sana dulu. Kalian bicaralah berdua. Jangan ada yang mengedepankan ego. Belajarlah kalian untuk bersikap dewasa dan tidak mengikuti hawa nafsu sendiri." Wanita tua itu lantas pergi. Meninggalkan mereka bertiga saja. Karena tak bisa mencegah lelaki itu melarangnya, maka Anggi
"Hai, Bro!" Seorang lelaki tampan datang dari balik pintu. Ia mengulas senyuman pada Reno yang terkejut akan kehadirannya. "Wah, elu." Mereka berpelukan karena sudah lama tak bertemu. Reno menepuk punggung lelaki itu berkali-kali. Lalu, menyuruhnya untuk duduk. "Wah, udah sukses nih ceritanya." Dian tertawa. "Sukses apaan? Ya, gini-gini aja dari dulu." Reno menghela napas panjang. Mereka lantas duduk di sofa dalam ruangan itu. "Udah move on belum? Masa iya masih aja menghukum diri sendiri?" Lelaki sahabat Reno sejak masa kuliah itu memang senang sekali menyindir. Ia akan membuat lelaki di sebelahnya itu mengakhiri masa lajangnya. "Gue udah mati rasa. Cuman Anggi yang masih di dalam hati gua. Lu mau nyomblangin sama siapa aja, kagak bakal mempan." Reno tertawa. "Mending lu ikut gue. Nanti malam ada acara peresmian di gedung sebelah. Bukan sebelah elu. Sebelah kantor gue. Di sana, lu bisa pilih siapa pun yang lu mau." Dian tertawa. "Tapi, jangan harap ada Anggi di sana."Dari san
Tak lama polisi datang beserta ambulan. Zia langsung dinyatakan meninggal dunia di tempat itu juga. Sempat warga melihat gadis itu keluar dari rumah Reno. Namun, Reno tak menanggapi apa pun. Pria itu diam saja selain mengakuo bahwa Zia hanya tetangga saja. Reno sudah tak ingin tahu lagi urusan mengenai Zia. Kematian yang tragis akibat menggoda suami orang, membuatnya binasa dengan cara menyedihkan. Reno menutup rapat semua kejadian pagi itu. Ia tahu semua itu salah dia juga, tetapi karena sudah lelah, maka pria itu hanya bisa menyesali semuanya. Pagi itu, penampilan Reno tampak rapi. Bukan ingin ke kantor, melainkan ingin pergi menemui Anggi di rumah kedua orang tuanya. Orang tua Anggi tak ingin ikut campur dalam rumah tangga anaknya. Mama Anggi menyuruh Reno masuk ke dalam. Reno duduk di sofa dengan satu gelas cangkir teh hangat yang baru saja dihidangkan oleh pembantu rumah orang tua Anggi. "Ang, temui dia. Dia masih suami kamu." Anggi dibujuk oleh Mamanya. Namun, dia tetap tak
Tak lama, saat mereka masih berdebar, tiba-tiba terdengar suara tepuk tangan dari balik dinding. "Hallo, Mas. Kamu udah datang?" Anggi tiba-tiba muncul saat dua orang itu tengah berdebat.Kedua mata Reno pun terbelalak. "Ang, kenapa dia ada di sini?" tanya Reno penuh rasa penasaran. "Kenapa memangnya? Bukannya kalian sering ketemuan di belakang aku?" Bagai tersambar petir, tubuh Reno gemetaran. Kepalanya mendadak berdenyut nyeri dan sudah dipastikan akan terjadi perang di ruang itu. "Ang, aku bisa jelasin. Kamu pasti salah paham." Reno mencoba menjelaskan. "Ini enggak seperti yang kamu kira.""Maaf, Mas. Aku udah tau semuanya. Aku kecewa sama kamu. Dia sendiri yang mengaku dan menunjukkan bukti padaku. Kalian memang benar-benar pasangan yang enggak punya malu." Anggi menggeleng kepalanya. Reno melangkah mendekati sang istri. Ia segera mendekap tubuh ramping Anggi tak ingin melepasnya. "Lepaskan aku, Mas. Kalian sudah berhasil membuatku mati rasa. Hatiku sudah hancur. Untuk yang k