Sayup-sayup bulu mata lemah terlihat bergerak. Sesekali meremas rasa nyeri dengan isyarat mata. Indri meringis karena ia tak bisa dengan mudah bergerak ke samping. Tubuhnya kaku. Saat membuka mata dengan sempurna, ia malah berbicara aneh. Seperti orang linglung, kata dokter ... itu hal biasa. Seperti pada umumnya, pasien selesai dioperasi karena pengaruh obat bius, ia menjadi tak sadar meski sudah membuka mata. Bayangan seseorang memenuhi ruangan itu hingga ia berteriak. Membuat perhatian Dave yang tadinya tertunduk mengantuk, jadi terbangun."Dita ... kau sudah bangun? Alhamdulillah, kalau sudah sadar." Menggenggam jemari lentik yang terasa dingin, Dave menggosok tangan Indri agar terasa hangat."Aku di mana?" Lemah, suara Indri terdengar lirih dan berat. Bibirnya masih pucat, menandakan betapa dia merasakan sakit yang luar biasa."Di rumah sakit. Tenang, aku ada di sini. Kau tidak sendirian." Indri tak lagi memaksakan keinginannya untuk bangkit. Ia pasrah dengan keadaan yang tenga
Indri mulai mengunyah, ia tidak banyak protes sebab tatapan Dave saja mampu membuatnya bungkam. Pria berwajah tegas itu meletakkan tempat makan yang sudah kosong. Ia menarik satu sudut bibirnya melihat Indri menjadi sangat penurut. Sesungguhnya, wanita yang seperti ini yang ia inginkan."Pak," panggil Indri. Dave yang pergi menatap jendela segera menjawab sekenanya. "Saya mau pulang sekarang aja, deh. Saya enggak betah, Pak." Indri menyandarkan punggungnya pada bantal yang ditumpuk. Ia tak tahan dengan bau obat-obatan."Saya mau bilang sesuatu, tapi saya harap kamu tidak marah nanti." Pertimbangan yang sudah matang telah dibicarakan oleh kedua belah pihak. Dave sempat ragu, hanya saja ia tak mau orang lain mendahuluinya."Bilang apa, Pak? Bapak, mau pecat saya?" Kening yang terlipat, iris mata yang mengecil karena prasangka yang ia rasakan, Indri tak ingin kehilangan pekerjaannya. Ia masih ingin mewujudkan impian tinggi. "Bukan. Bukan itu, bahkan nanti kamu akan menjadi salah satu o
Urusan kantor yang semrawut membuat Rasya malas mengerjakan tugasnya. Belum lagi mendapat teguran dari atasan kalau salah input data. Pria berkemeja putih itu semakin hari semakin lesu. Pasalnya, ia rindu dengan seseorang. "Sya, tolong berkasnya sudah ditunggu Pak Ali." Salah seorang karyawan datang."Iyaahh." Setelah menjawab, Rasya bangkit dari kursinya dan melangkah ke ruangan mantan kakak ipar. Di sana, seorang pria dengan gagahnya duduk mengetik sesuatu pada layar segi empat di meja."Ini berkasnya," ucap Rasya. Meletakkan kertas terbalut map biru di atas meja. Tak banyak bicara dan segera pergi dari sana, membuat perhatian lawan bicaranya mengerutkan dahi.Ali mendengkus kesal. Sejak pertama ia memasukkan Rasya ke dalam perusahaan itu, dia tidak melihat attitude yang baik dari mantan adik iparnya itu. Rasya semena-mena dengan adiknya, sekarang mengerjakan tugas juga sesuka hati."Hallo, kamu di mana? Aku jemput siang ini." Rasya menyandarkan tubuhnya pada dinding bercat putih d
"Apa? Bu, jangan bercanda!" Indri memegang kepalanya sendiri. Duduk di tepi ranjang dalam kamarnya yang sunyi."Maafkan kami, Ndri. Semua sudah terjadi. Bukan maksud kami menghancurkan impianmu menjadi wanita karir, tetapi Tuan Dave melakukan itu semata-mata karena jasamu yang telah menyelamatkan dia." Rumi mengayunkan tangannya pada pundak sang anak. Bermaksud memberi pengertian.Dalam kelam malam itu, Indri termenung hingga entah pukul berapa. Dia memang sudah sehat dan bisa beraktivitas seperti biasa tetapi statusnya bukan lagi janda tetapi Nyonya Dave. Sepanjang gulita menyelimuti langit Jakarta, wanita muda dengan piyama tidur itu tak bisa menutup mata. "Kalian mengambil keputusan yang tak main-main. Sangat beresiko untukku. Bagaimana jika aku akan mendapatkan hinaan dari keluarga pria itu. Kenapa juga dengan Tuan Dave, bisa-bisanya menikahiku di waktu yang tidak tepat."Indri menilik ponselnya yang menyala. Terpampang detik waktu menjelang subuh. Kebetulan hari itu, dia sedang
"Udah sana! Kasihan, tuh, dianggurin." Ali menahan tawanya ketika mendapati sang adik malah mendekam dalam kamar Ibunya. Di dalam sana, Shalsabila dan Rumi ikut menahan tawa. "Gara-gara, Mas. Aku jadi harus satu kamar dengan dia. Gimana kalau dia ...." Indri berdecak. Ia malah melingkar dalam selimut dan memunggungi semua orang di dalam sana."Ndri, kamu bukan lagi anak remaja yang malu-malu ketika dijodohkan," tambah Shalsabila. Ia berdiri dan mendekat. "Kasihan suami kamu ""Tapi, aku takut, Mbak."Semua terdiam. Rumi menatap Ali dan menantunya secara bergiliran. Ia memberi isyarat dengan kerlingan mata agar mereka keluar. Setelah semua keadaan tenang dan hanya ada ibu dan anak saja dalam kamar itu, Rumi mulai mendekat."Indri ... coba bilang sama Ibu, kenapa kamu takut menemui Tuan Dave?" Rumi ingin bicara dari hati ke hati. Wanita itu menaiki ranjang tidur di sebelah Indri."Indri belum siap, Bu. Indri rela tidak menikah sampai tua bahkan kalaupun tidak bisa punya anak lagi. Buk
Selesai dari sana, Indri segera menunaikan kewajiban lima waktunya. Lalu, memasak air dan berbelanja di tukang sayur depan rumah. Sebagian tetangga sudah tahu kalau Indri sudah menikah lagi."Enak kamu, Ndri." Seorang ibu-ibu menoel lengan Indri. "Dinikahi konglomerat." Datang lagi ibu-ibu lain yang langsung ikut nimbrung. "Yah, jelas, dong. Nanti Indri enggak usah kerja capek-capek lagi. Mantan suami kamu biar tau rasa, Ndri."Indri tak habis pikir. Ia hanya diam sesekali menggeleng kepalanya."Mau dimasakin apa nanti suaminya, Ndri?" Suara tawa cekikikan menyampa mentari yang mulai meninggi. Mereka melirik ke arah Dave yang tengah memperhatikan Indri berbelanja di depan rumah."Saya masih bingung juga, Bu." Indri terus memilah-milah bungkusan bahan pangan. Ia tertarik dengan buah-buahan dan sayur daun melinjo."Ah, suami kamu ganteng banget. Tuh, dia lagi liatin kamu kayaknya. Istri belanja di depan rumah aja dikawal. So sweet," lirih seorang ibu lain. Ia terlihat salah tingkah. "
"Astaghfirullah, maaf, Pak." Indri segera melepas tangannya dan mundur dua langkah. Hingga kakinya tak sengaja terkena tanah basah bekas hujan beberapa waktu lalu. Ia tampak gelisah dan menyembunyikan perubahan raut wajahnya."Kenapa berhenti? Mata saya masih perih." Dave berpura-pura mengucek matanya dan mendesis. Padahal, semut yang tadinya jatuh ke dalam mata sudah diambil."Ee-em, sebentar, Pak." Indri masuk ke dalam mengambil air dalam gayung. Ia kembali keluar dan menyuruh Dave membuka matanya di dalam air tersebut.Dave pun menurut saja. Ia membuka matanya setelah mengusap wajah. Lalu, mencari tempat duduk.Sambil menunggu pria itu beristirahat di kursi teras, Indri memunguti mangga yang berjatuhan. Ia segera membawanya ke dalam dan mencucinya. Ketika wanita muda itu telah tiada, Dave kembali normal. Ia menatap pemandangan yang asri nan hijau di depan rumah. Menikmati sejuknya hawa di sana. Beberapa tetangga yang lewat mengangguk padanya dan ia membalas dengan hal yang sama. I
Saya tidak akan masuk anginSelama angin tersebut tidak mencoba masuk Saya bisa jaga diri Asal Bapak jangan godain terus.Di dalam sana, Dave terpingkal lirih. Ada yang lain yang tiba-tiba seperti bersemi. Sejuk, melewati sela-sela relung hatinya. Ia memang sudah pernah jatuh cinta tetapi baru kali ini merasakan cinta yang natural.Kalau kamu sudah menerima saya sebagai suami,Jangan lagi panggil saya Bapak karena saya bukan Bapak kamuSelayaknya suami istri yang semestinyaDan buat suamimu bahagia malam ini.Pesan terkirim.Ketika Indri menerima pesan tersebut, hatinya mulai mengembang seperti balon. Ia tak mampu berkata-kata lagi. Tubuhnya gemetaran dengan seluruh pori-pori keluar keringat dingin. Jantungnya yang tak mampu diatur itu sudah semakin membuatnya lemas. Ia ingin segera masuk ke kamar Ibunya dan tidur saja.Sesaat panggilan pun tiba-tiba masuk. Indri menatap nama yang sama. Nama yang sejak tadi ia diajak bercanda dari balik pesan-pesan. "Please, jangan sekarang, Pak!"