Indri didorong hingga terjungkal menabrak muncung mobil, tangisnya sudah tak berharga lagi. Namun, semua orang di sana tiba-tiba panik karena sebuah mobil datang dan seorang lelaki keluar dari mobil menatap mereka penuh kemarahan."Lepaskan dia!" Indri mendelik melihat Dave datang. Ia seperti merasakan angin sejuk menembus dada. Sayang, semua itu lenyap karena rasa khawatir pasal Dave seorang diri. Bagaimana dia akan melawan begitu banyak penjahat dengan tangan hampa."Anda siapa? Jangan ikut campur urusan saya!" balas bos besar mereka.Dave langsung mendapat serangan dari mereka. Lelaki itu meladeni satu persatu hingga beberapa kali mendapat tonjokan. Indri berteriak tetapi mulutnya masih dilakban. Ia tak tega melihat lagi, badannya luruh berjongkok.Tak lama kemudian bunyi sirine mobil polisi memenuhi jalanan mereka kabur dengan tergopoh-gopoh. Polisi terus mengejar mobil mereka yang baru saja pergi. "Kamu tidak apa-apa?" Dave dengan lebam di sudut bibir mendekati Indri yang masih
"Maafkan Papa, Dave. Sudah berburuk sangka denganmu. Kau perlu jaga dia, Dave." George menatap wanita muda yang belum juga membuka mata.Dave menghela napas panjang. Ia meninggalkan mereka semua di sana. Lelaki berpiyama tidur itu menuruni anak tangga. Berakhir pada ruang makan, lelaki itu meneguk air putih dalam gelas. Dari atas, Papa dan Mamanya turun. Karena tak tega melihat George berjalan dengan sangat pelan, akhirnya Dave berdiri dan membantu memegangi tangan keriput itu."Dave, Papa sudah tua. Kau, menikahlah. Mumpung ada wanita sebaik Dita." Dave melepas tangan Papanya setelah duduk di sofa. Ia duduk di sofa lain lalu menyalakan televisi. Tangannya mengusap wajah, tatapannya mengarah pada layar lebar tetapi hatinya tertinggal pada kalimat terakhir George."Sayang, dengarkan kata Papa! Kita semua menginginkan kamu membina rumah tangga yang bahagia. Dengan hadirkan anak-anak yang lucu-lucu. Tapi, satu hal yang harus kamu ingat yaitu jangan pernah mendekati wanita itu lagi. Wanit
"Mimpi dulu enggak apa-apa kali, Ndri. Orang mimpi baik kalau terwujud itu namanya rezeki." Rumi tersenyum."Tuh, apa aku bilang. Sekarang, semua keputusan ada di kamu. Seandainya, Tuan Dave benar-benar menyatakan hatinya padamu, apa kau akan menerimanya?" Ali menunggu jawaban dengan penasaran."Em, aku ... tidak mungkin itu, Mas." Wanita dengan napas berat itu tertawa. "Kita tidak usah mengharap yang tidak pasti. Kita harus tahu diri.""Halah, kalau jawaban kamu begitu, aku jadi curiga." Ali berdiri dan menggeliat hingga bunyi gemerutuk tulangnya terdengar oleh Ibu dan adiknya."Maksudnya apa, sih?" Indri masih terus menjawab. Rumi yang menyaksikan mereka beradu argumentasi hanya bisa menggeleng kepalanya. Mereka masih sama seperti anak-anaknya yang masih suka bertengkar. Terkadang, tak menyangka waktu bergulir begitu cepat. Rumi teringat sang suami yang sudah mendahuluinya. Rindu tak terkira, wanita tua itu juga membayangkan bagaimana jika mereka nanti berumah tangga semua. Ia past
Pagi yang dihiasi dengan embun menembus lubang hidung lelaki itu. Ia tidak mengatakan sepatah katapun melihat dua insan yang tengah menciptakan senyuman. Indri terdiam seketika begitu juga dengan Fabian yang menoleh dengan sungkan. Lelaki nomor satu di kantornya itu masih bergeming dengan menyandar kusen pintu kamar Indri."Pak," ucap Indri dengan spontan. "Kalian teruskan saja, aku akan ngobrol sama Ibu di luar." Kali ini, Dave tidak seketus biasanya. Dua orang di dalam kamar itupun terkejut lagi. Kenapa bisa sikap lelaki kaku itu berubah lain.Fabian membalik tubuhnya lagi setelah Dave keluar. "Ndri, aku kayaknya berangkat dulu, deh. Kamu baik-baik di rumah. Semoga cepat sembuh dan bisa ngantor lagi." Indri mengangguk seraya mengulas senyuman. "Mas, hati-hati di jalan. Makasih banyak sudah dijenguk." Fabian mundur dua langkah dan keluar dari kamar. Ia berpapasan dengan Dave yang duduk di ruang tamu bersama dengan Rumi. Kakak dari Rasya itu berpamitan pada dua orang yang saling m
"Ndri, kamu serius cuman berdua sama Tuan Dave? Apa kamu tidak takut? Ke luar negeri, loh, Ndri." Ali tampak khawatir. Ia duduk di pinggir tempat tidur saat Indri menata baju-bajunya ke dalam koper. Datang pula Rumi yang membawakan sarapan roti bakar untuk mereka berdua. "Ibu juga khawatir, Ndri. Apa Tuan Dave tidak mengatakan kalau dia juga bersama karyawan yang lain?" "Ibu sama Mas Ali tenang saja. Tuan Dave tidak mungkin ke mana-mana sendirian. Selalu dengan ajudannya. Maksudnya cuman Indri saja itu, yang bakal menemani saat meeting." Wanita muda yang telah siap dengan pakaian rapi itu terus menata barang yang ia butuhkan selama kepergian.Ali bergeming sendiri. Kalau ia temani, bagaimana dengan Ibunya. Tidak mungkin sendirian. Ali meneguk air putih yang baru saja Rumi ulurkan. "Ndri, coba kamu minta Tuan Dave bawa karyawati lain buat menemanimu. Aku tidak izinkan kalau kamu pergi tanpa mahram." Indri menghentikan gerakan tangannya. Sejenak ia berpikir lalu detik selanjutnya ia
Dave menurunkan tangannya dari pinggang wanita itu. Ia sampai tak sadar jika sejak tadi Indri bersamanya. Ia menoleh ke belakang pada wanita yang terlihat masam. "Maaf, Risa. Aku harus ke Tokyo pagi ini. Tunggu kabar dariku lagi, oke?" Dave dan wanita itu melakukan kontak fisik pipi bertemu pipi lagi. "Hati-hati, Dave. Kamu berdua saja dengan wanita itu? Sayang banget, aku tidak bisa ikut. Padahal aku baru saja mendarat ke Jakarta untuk bertemu denganmu lagi." Wanita itu tampak kecewa dengan napas yang terhembus kasar."Aku usahakan tidak akan lama. Kamu hati-hati juga." Dave melambai pada wanita bernama Risa. Wanita yang sejak pertama tidak mendapat restu dari kedua orangtua Dave itu segera meninggalkan bandara."Ayo!" Dave bermaksud mengajak Indri meneruskan langkah. Akan tetapi, saat dia menoleh lagi, Indri sudah tidak ada di sana. Semua sudut ia pastikan, tetapi Indri tidak ada hingga sebuah pengumuman keberangkatan pesawat yang akan membawanya pergi telah terdengar. Dave langsu
Mereka berjalan beriringan selesai meeting. Indri menoleh kanan kiri yang berjejer toko-toko aneka kue dan buah. Kedai minuman khas dan masih banyak lagi yang buka. "Dit, kamu tahu kenapa aku memilih jalan kaki di malam begini?" Pria itu memperpelan langkah kakinya."Tau. Biar saya semakin kelelahan," ketus Indri. Saat sedang haid, dia memang sangat sensitif.Dave mengehela napas. Sekarang sudah pukul sebelas malam. Untungnya hari ini semua pekerjaan selesai tinggal satu hari mereka di sana. "Dari tadi pagi kamu galak terus. Sama bos kamu aja dibentak-bentak." Pria itu berkata tanpa menoleh.Indri diam. Dia berhenti di depan toko aneka aksesoris. Padahal Dave sudah jalan lebih dulu. Saat pria itu berbicara sendiri, ia baru sadar yang dia ajak bicara masih tertinggal di belakang sana. Pria itu menoleh dan kembali."Kamu mau masuk?" tanya pria itu pada Indri yang masih terpaku. "Masuk aja, aku tunggu di sini.""Enggak, Pak. Lagian ...." Indri melanjutkan jalannya tetapi pria itu mencek
menganga. Ia segera mengalihkan tatapannya ke lain arah. Berbeda dengan tamu yang tak diundang itu. Wanita yang sama kemarin lusa sekarang berdiri di ambang pintu. Dave terlihat bingung. Ia tak tahu harus menjelaskan apa.Indri"Siapa dia, Dave? Aku seperti pernah melihatnya." Wanita dengan mantel tebal itu menerobos sosok tinggi tegap yang menghadangnya. Meskipun Dave sudah berusaha mencegah langkah wanita itu, ia tetap saja memaksa masuk."Risa, hentikan!" teriak Dave. Ia hanya berusaha menjaga privasi Indri apalagi sedang tidak enak badan. Wanita itupun berhenti tetapi keburu melihat Indri yang terbungkus selimut."Hah." Risa menutup mulutnya. Ia sangat terkejut. "Dave ...." Risa hanya menunjuk Indri dengan tatapan tajamnya. "Kau telah mengkhianatiku." Adegan tangis yang dibuat-buat pun terjadi.Indri tak bisa menjelaskan juga. Ia tak bisa bangkit karena kepalanya berdenyut nyeri. Indri semakin pusing karena ocehan wanita itu."Dave, suruh dia pergi! Wanita berhijab tapi modal ray